Selain membintangi, Tom Hanks juga menulis naskah Greyhound, yang didasari novel The Good Shepherd (1955) karya C. S.
Forester. Sudah dasarnya seorang aktor hebat, merangkai sendiri tiap kata
membuat Hanks mampu memberi bobot emosi kala mengucapkan istilah-istilah teknis
yang karakternya pakai guna berkomunikasi di atas kapal. Ada semangat, ada
ketakutan, ada kecemasan, ada perasaan bersalah yang menggerogoti hati sang
Komandan, tiap menyadari ia takkan mampu menyelamatkan semua nyawa.
Berlatar tahun 1942 di tengah Pertempuran Atlantik, Hanks
memerankan Komandan Ernest Krause, yang baru menerima penugasan pertamanya di
Perang Dunia II. Misinya adalah memimpin kapal USS Keeling dengan kode nama
Greyhound, yang bersama kapal-kapal lain dari Inggris dan Kanada, bertugas
mengawal konvoi 37 kapal Sekutu yang membawa berbagai suplai. Lawannya adalah
barisan kapal selam milik Jerman, U-boats.
Tiga hari sebelum mencapai tujuan di Liverpool, U-boats mulai
melancarkan serangan. Penyutradaraan Aaron Schneider (Get Low) berhasil membangun ketegangan serta aroma bahaya sejak kali pertama radar Greyhound
mendeteksi keberadaan musuh. Musik bombastis Blake Neely (King Kong, The Da Vinci Code, Love, Simon) berpadu dengan raungan
alarm mencipakan sense of urgency. Timbul
kekacauan yang ditata rapi oleh permainan dinamika Schneider, yang memahami
kapan mesti menginstruksikan aktornya untuk berteriak atau berbisik, dan kapan
sebuah banter harus tersaji cepat atau lambat.
Singkatnya, Greyhound berhasil menghancurkan kapal selam
Jerman. Semua kru bersorak. Salah satunya memberi selamat pada Krause atas
kesuksesan menghabisi nyawa 50 pasukan lawan. Krause tak terkesan, lalu
menjawab singkat, “50 nyawa manusia”. Dari sinilah letak fokus naskah Hanks
mulai terlihat. Penonton diajak memahami seberat apa beban di pundak seorang
pemimpin kapal perang. Khususnya dilema perihal hidup dan mati. Haruskah dia
mengutamakan misi atau menyelamatkan nyawa sebisanya?
Sepanjang pertempuran tanpa henti selama tiga hari, Krause
tidak beristirahat, tidak makan, kakinya berdarah-darah akibat terus berdiri
beralaskan sepatu. Tidak ada sedetik pun waktu bersantai, sebab setelah satu
kemenangan, anak-anak buahnya sudah menanti instruksi berikutnya. Dan sewaktu
kesalahan diperbuatnya, Krause dihantui perasaan bersalah.
Pilihan shot Schneider,
dibantu penyuntingan dengan timing sempurna,
membantu menyiratkan isi hati sang protagonis tanpa memerlukan tuturan verbal.
Kamera akan menyorot raut wajah si Komandan, lalu berpindah ke ekspresi
bawahannya, yang seolah menghakimi Krause. Entah benar atau tidak, tapi itu
yang ia rasakan. Dan penampilan Hanks merealisasikan pergulatan batin tersebut
secara nyata, memberi kesan humanis di saat usaha menambah sentuhan personal
lewat sekilas informasi mengenai kehidupan romansa Krause berakhir hanya
sebagai pernak-pernik sambil lalu, yang sebenarnya tidak perlu.
Greyhound bergulir cukup singkat. Cuma 91
menit. Tidak ada ruang bagi drama di luar peperangan, dan filmnya sendiri tidak
ingin berpura-pura menjadi lebih dari itu. Penyuntingan cekatan ditambah permainan
pacing mumpuni dari sutradara dalam
mengemas pertempuran bombastis di tengah Samudera Atlantik, memadatkan dinamika
Greyhound yang memang didesain
sebagai suatu sajian singkat tanpa basa-basi. Walau butuh perhatian lebih agar
tak tersesat di tengah istilah-istilah asing yang datang silih berganti begitu
cepat.
Available on APPLE TV+
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar