Saat sedang mencari-cari informasi
terkait The Assistant, saya menemukan
salah satu ulasan negatif dari penonton yang menarik perhatian saya. Dia
menulis, “In this movie you always think
something will happen. But nothing happens”. Pernyataan itu kurang tepat,
karena sesungguhnya terjadi banyak hal dalam film ini, hanya saja tak langsung
di depan mata. Kejadian tersebut bisa diketahui dari obrolan karakter atau
petunjuk subtil. The Assistant tak bertutur
secara gamblang, tapi kita dapat dengan mudah menarik kesimpulan. Artinya, isu
yang diangkat, termasuk tanda-tandanya, sudah sedemikian familiar.
Protagonis kita bernama Jane (Julia
Garner), seorang asisten junior yang baru bekerja selama lima minggu di sebuah
rumah produksi film yang terletak di New York. Begitu sibuk aktvitiasnya, Jane
datang pertama sebelum matahari terbit. Apa saja tugas Jane? Antara lain
membuat kopi, mencetak dokumen, membersihkan ruangan meski kantornya memiliki
petugas kebersihan, melakukan beberapa panggilan, hingga menyusun jadwal sang
bos.
Apakah itu bentuk diskriminasi
gender? Bukankah mungkin saja memang seperti itu jobdesc-nya? Lalu dua rekannya, sesama asisten, tiba. Keduanya
pria. Mereka tampak segar karena baru menikmati libur akhir minggu, yang mana
tidak Jane dapatkan. Apakah itu bentuk diskriminasi gender? Mungkin saja itu
dikarenakan Jane masih baru, bukan?
Di tengah kesibukan, mendadak istri
bos menelepon, meluapkan amarah kepada Jane akibat suaminya memblokir kartu
kredit. Beberapa waktu berselang, giliran si bos menghubungi Jane, menuduhnya mempengaruhi sang istri, sebelum berkata bahwa sebaiknya Jane
melakukan bakatnya saja: memesan salad. Masih merasa tidak ada seksisme?
Secara khusus, sekuen tersebut jadi
salah satu yang paling membuktikan kapasitas penyutradaraan Kitty Green— yang sebelumnya
melahirkan dokumenter bergaya unik, Casting
JonBenet (2017) —dalam memvisualisasikan tekanan mental Jane. Suara
berat nan intimidatif si bos terdengar, semenntara kita melihat reaksi
kecemasannya, juga perilaku rekan kerja prianya yang seolah menikmati kesialan
Jane. Semua terjalin dalam nuansa kacau yang tetap rapi berkat kehandalan
departemen penyuntingan, yang juga dipegang Green bersama Blair McClendon.
Oh, saya lupa menyebut kalau wajah
si bos tak pernah terlihat. Cuma perut ke bawah yang nampak sekilas, sambil
beberapa kali suaranya terdengar. Green mendesain ini guna menggambarkan dua
poin: 1) Betapa misterius dan tak terjamahnya sosok movie mogul; dan 2) Membuat karakternya universal, mewakili seluruh movie
mogul, sebab memunculkan wajah berisiko memancing asosiasi terhadap satu sosok
tertentu.
Kita sudah diyakinkan terkait
bagaimana Jane menerima diskriminasi. Atau anda merasa belum cukup? Kalau
begitu coba simak situasi, kala si bos menelepon dua asisten prianya sambil
bercanda tawa. Tentu saja baik oleh bos maupun rekan kerjanya, Jane tak diajak
ikut serta di pembicaraan santai itu. Kemudian datanglah permasalahan
berikutnya, yakni pelecehan seksual.
Jane mencurigai bosnya memanfaatkan
seorang gadis muda bernama Sienna (Kristine Froseth) dengan iming-iming
pekerjaan sebagai asisten, meski ia tanpa pengalaman, mengingat pekerjaan
sebelumnya adalah waitress. Jane
tertegun, tapi tidak teman-teman prianya. Pun saat karyawan lain mengetahui si
bos membawa Sienna ke hotel, mereka hanya bergumam, “Aaaah”, sebelum secara
kasual membicarakan kejadian-kejadian serupa di masa lalu, di tengah kunjungan ke
berbagai festival film di beragam negara.
Di sini Green menuturkan perihal
para enabler. Mereka yang membiarkan,
atau lebih parah lagi, memaklumi. The
Assistant turut menjawab pertanyaan yang kerap dicuatkan publik, soal, “Kalau
si karyawan wanita tahu, kenapa cuma diam saja?”. Alasannya adalah ancaman
ditambah manipulasi. Pikiran Jane (dan korban-korban lain di dunia nyata)
dimanipulasi, digiring menuju pemikiran bahwa ia beruntung bisa mendapatkan
pekerjaan yang diincar ratusan pelamar, dan jangan sampai kesempatan tersebut
dibuang. Dan nantinya anda akan melihat metode lain diterapkan oleh si bos.
Metode yang lebih licik untuk memanipulasi psikis karyawan wanita.
Julia Garner menghadirkan akting subtil
mumpuni. Jane cenderung diam, tapi menatap wajah dan gerak-gerik Garner, kita
bisa merasakan betapa batinnya bergejolak, dikuasai pikiran-pikiran kompleks,
ketakutan, kegelisahan, dilema, bahkan rasa bersalah (yang seharusnya
dirasakan si pelaku), sebelum kemudian pelan-pelan remuk.
Sekitar 90% film ini mengambil
latar di dalam kantor yang cukup sempit, hanya beberapa menit sempat berpindah
ke kursi penumpang di sebuah mobil, dan area di luar kantor yang dihiasi langit
mendung juga salju yang mulai turun. Baik iringan musik dan gerak kamera nyaris
absen sepenuhnya, menyokong tujuan Green menciptakan tontonan raw. The Assistant minim (dan bukan)
dramatisasi, bukan pula harapan mengenai dunia ideal, melainkan jendela realita.
Dan seperti ditampilkan di konklusi, realitanya, kasus semacam ini bakal
tenggelam, meninggalkan korbannya di ketidakberdayaan.
Available on HULU
Maap tontonan raw tuh maksudnya gimana ya.. ��
BalasHapus