Romance Doll adalah contoh ketika budaya seksisme, khususnya
perihal objektifikasi tubuh wanita terlanjur mengakar terlalu kuat. Sangat
berbahaya, sampai karya seniman wanita yang ditujukan untuk melawan hal itu
malah berujung melestarikannya. Berniat memerdekakan seksualitas wanita dari
ketabuan-ketabuan, sutradara-penulis naskah Yuki Tanada, yang mengadaptasi
novel berjudul sama buatannya sendiri, malah seperti menjustifikasi fantasi
nakal para pria.
Padahal filmnya diawali secara
menarik. Tetsuo (Issey Takahashi) adalah lulusan sekolah seni, yang akibat
tuntutan finansial, terpaksa bekerja di parik boneka seks. Di bawah bimbingan
seniornya, Kinji (Kitaro), ia dituntut membuat boneka yang terlihat dan terasa layaknya
manusia asli. Menarik, sebab tak ada perversion,
di mana boneka-boneka itu diposisikan sebagai karya seni, atau setidaknya,
produk industri. Mengambil perspektif pembuatnya, bukan hasrat seksual yang
muncul, melainkan hasrat menciptakan karya sesempurna mungkin.
Keterampilan sang artis
dikedepankan, pun pada paruh awal, Tanada membangun nuansa witty lewat pemakaian iringan musik ceria, tempo penceritaan cepat,
serta sentuhan komedi. Kejenakaan itu pula yang membawa karakternya pada
keputusan nyeleneh. Demi menciptakan payudara yang realistis, Tetsuo dan Kinji merasa
perlu memakai model manusia. Mereka pun memasang iklan palsu, berpura-pura
menjadi dokter yang membuat payudara prostetik untuk kepentingan medis.
Lalu datanglah si “korban”. Sonoko
(Yu Aoi) namanya. Entah bagaimana, Sonoko sama sekali tidak curiga. Padahal ia
tiba di lokasi mencurigakan (pabrik kumuh alih-alih klinik atau laboratorium), bertemu
dua dokter gadungan yang bersikap mencurigakan, termasuk saat Kinji meminta
Sonoko agar memperbolehkan Tetsuo memegang payudaranya, dengan alasan, “Tidak
mungkin membuat tiruan berkualitas tinggi tanpa memegang yang asli”.
Baiklah. Mungkin Sonoko bukan bodoh
atau terlalu polos, melainkan berpikiran positif. Tapi selepas proses selesai,
Tetsuo, yang baru beberapa menit lalu memegang dada Sonoko, langsung menyatakan
cinta pada Sonoko, dan mengajaknya berkencan. Sonoko bersedia, karena
sesungguhnya, ia pun sudah mencintai Tetsuo, sejak si pria creepy nan mesum itu menyentuh dadanya sambil malu-malu. Bahkan
mereka akhirnya menikah.
Romance Doll mulai berubah lebih serius, khususnya pasca nasib
sebuah kematian, juga seiring konflik di rumah tangga protagonisnya. Tetsuo
masih berbohong soal pekerjaannya, selalu pulang larut, bahkan tertidur di
tengah seks. Tapi Sonoko tetap bersabar, selalu berusaha terjaga menunggu sang
suami pulang, dan setia membuatkan makan malam. Kondisi ini berlangsung selama
empat tahun!
Saya bertanya-tanya, “Bagaimana
bisa seorang sineas wanita menghasilkan karakter istri submisif macam ini?”. Sampai
Sonoko melakukan sesuatu yang mengubah persepsi saya atas Romance Doll, di mana alih-alih sebuah enabler terhadap toxic
masculinity, filmnya mengkritisi praktek itu secara halus (tapi tetap
menusuk), dengan menempatkan si pria pada posisi si wanita. Poinnya adalah,
ketika pasangan sama-sama “berdosa”, kecenderungannya, tekanan lebih besar
bakal diterima wanita, bahkan bukan mustahil, pihak pria akan menyalahkan
wanita, meski dia melakukan dosa yang sama, atau malah lebih buruk.
Walau berhasil mengubah persepsi,
tetap saja, sebagai film mengenai pasangan romantis, Romance Doll lalai membuat penonton memedulikan pasangannya. Sukar
memahami alasan Sonoko begitu jatuh hati, mengingat tiada kapasitas positif
yang dipunyai Tetsuo. Hubungan mereka sama dangkalnya dengan karakter
masing-masing. Selalu ada sekat di antara kedua karakter. Mereka bak orang
asing, baik bagi satu sama lain, maupun penonton.
Mungkin keterasingan itu merupakan
kesengajaan selaku wujud sentilan Tanada kepada romansa impulsif, namun tak
mengubah fakta jika pendekatan tersebut menyulitkan terjalinnya ikatan
emosional penonton dengan karakter. Akibatnya, dampak kemunculan twist selepas paruh kedua jadi tak
maksimal. Twist tersebut berfungsi
(sekali lagi) mengubah jalur film, kali ini menuju ranah tearjerker klise; memperdalam
tuturan tentang neglectance serta
kurangnya komunikasi dalam rumah tangga; menambahkan ironi terkait kebohongan
Tetsuo seputar pekerjaannya sebagai pembuat payudara prostetik untuk keperluan
medis.
Lalu muncul masalah baru. Well, tidak sepenuhnya baru. Lebih
tepatnya, masalah lama mengenai dinamika gender mencuat lagi. Babak akhirnya
ingin mempresentasikan soal proses merekam memori melalui sentuhan fisik yang
mengabadikan cinta, pula membebaskan wanita dari kekangan-kekangan norma
terkait seksualitasnya. Tapi yang timbul justru objektifikasi tubuh wanita,
yang bak sebatas alat bagi ambisi seniman pria menyempurnakan karya sekaligus
melampiaskan hasrat seksual tak tersalurkan miliknya. Terlebih saat Tetsuo
mendeskripsikan Sonoko sebagai “horny”
di penutup filmnya. It’s not a liberation for female. It’s merely a
male fantasy.
Available on NETFLIX
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar