25/07/20

REVIEW - ROMANCE DOLL

0 View
Romance Doll adalah contoh ketika budaya seksisme, khususnya perihal objektifikasi tubuh wanita terlanjur mengakar terlalu kuat. Sangat berbahaya, sampai karya seniman wanita yang ditujukan untuk melawan hal itu malah berujung melestarikannya. Berniat memerdekakan seksualitas wanita dari ketabuan-ketabuan, sutradara-penulis naskah Yuki Tanada, yang mengadaptasi novel berjudul sama buatannya sendiri, malah seperti menjustifikasi fantasi nakal para pria.

Padahal filmnya diawali secara menarik. Tetsuo (Issey Takahashi) adalah lulusan sekolah seni, yang akibat tuntutan finansial, terpaksa bekerja di parik boneka seks. Di bawah bimbingan seniornya, Kinji (Kitaro), ia dituntut membuat boneka yang terlihat dan terasa layaknya manusia asli. Menarik, sebab tak ada perversion, di mana boneka-boneka itu diposisikan sebagai karya seni, atau setidaknya, produk industri. Mengambil perspektif pembuatnya, bukan hasrat seksual yang muncul, melainkan hasrat menciptakan karya sesempurna mungkin.

Keterampilan sang artis dikedepankan, pun pada paruh awal, Tanada membangun nuansa witty lewat pemakaian iringan musik ceria, tempo penceritaan cepat, serta sentuhan komedi. Kejenakaan itu pula yang membawa karakternya pada keputusan nyeleneh. Demi menciptakan payudara yang realistis, Tetsuo dan Kinji merasa perlu memakai model manusia. Mereka pun memasang iklan palsu, berpura-pura menjadi dokter yang membuat payudara prostetik untuk kepentingan medis.

Lalu datanglah si “korban”. Sonoko (Yu Aoi) namanya. Entah bagaimana, Sonoko sama sekali tidak curiga. Padahal ia tiba di lokasi mencurigakan (pabrik kumuh alih-alih klinik atau laboratorium), bertemu dua dokter gadungan yang bersikap mencurigakan, termasuk saat Kinji meminta Sonoko agar memperbolehkan Tetsuo memegang payudaranya, dengan alasan, “Tidak mungkin membuat tiruan berkualitas tinggi tanpa memegang yang asli”.

Baiklah. Mungkin Sonoko bukan bodoh atau terlalu polos, melainkan berpikiran positif. Tapi selepas proses selesai, Tetsuo, yang baru beberapa menit lalu memegang dada Sonoko, langsung menyatakan cinta pada Sonoko, dan mengajaknya berkencan. Sonoko bersedia, karena sesungguhnya, ia pun sudah mencintai Tetsuo, sejak si pria creepy nan mesum itu menyentuh dadanya sambil malu-malu. Bahkan mereka akhirnya menikah.

Romance Doll mulai berubah lebih serius, khususnya pasca nasib sebuah kematian, juga seiring konflik di rumah tangga protagonisnya. Tetsuo masih berbohong soal pekerjaannya, selalu pulang larut, bahkan tertidur di tengah seks. Tapi Sonoko tetap bersabar, selalu berusaha terjaga menunggu sang suami pulang, dan setia membuatkan makan malam. Kondisi ini berlangsung selama empat tahun!

Saya bertanya-tanya, “Bagaimana bisa seorang sineas wanita menghasilkan karakter istri submisif macam ini?”. Sampai Sonoko melakukan sesuatu yang mengubah persepsi saya atas Romance Doll, di mana alih-alih sebuah enabler terhadap toxic masculinity, filmnya mengkritisi praktek itu secara halus (tapi tetap menusuk), dengan menempatkan si pria pada posisi si wanita. Poinnya adalah, ketika pasangan sama-sama “berdosa”, kecenderungannya, tekanan lebih besar bakal diterima wanita, bahkan bukan mustahil, pihak pria akan menyalahkan wanita, meski dia melakukan dosa yang sama, atau malah lebih buruk.

Walau berhasil mengubah persepsi, tetap saja, sebagai film mengenai pasangan romantis, Romance Doll lalai membuat penonton memedulikan pasangannya. Sukar memahami alasan Sonoko begitu jatuh hati, mengingat tiada kapasitas positif yang dipunyai Tetsuo. Hubungan mereka sama dangkalnya dengan karakter masing-masing. Selalu ada sekat di antara kedua karakter. Mereka bak orang asing, baik bagi satu sama lain, maupun penonton.

Mungkin keterasingan itu merupakan kesengajaan selaku wujud sentilan Tanada kepada romansa impulsif, namun tak mengubah fakta jika pendekatan tersebut menyulitkan terjalinnya ikatan emosional penonton dengan karakter. Akibatnya, dampak kemunculan twist selepas paruh kedua jadi tak maksimal. Twist tersebut berfungsi (sekali lagi) mengubah jalur film, kali ini menuju ranah tearjerker klise; memperdalam tuturan tentang neglectance serta kurangnya komunikasi dalam rumah tangga; menambahkan ironi terkait kebohongan Tetsuo seputar pekerjaannya sebagai pembuat payudara prostetik untuk keperluan medis.

Lalu muncul masalah baru. Well, tidak sepenuhnya baru. Lebih tepatnya, masalah lama mengenai dinamika gender mencuat lagi. Babak akhirnya ingin mempresentasikan soal proses merekam memori melalui sentuhan fisik yang mengabadikan cinta, pula membebaskan wanita dari kekangan-kekangan norma terkait seksualitasnya. Tapi yang timbul justru objektifikasi tubuh wanita, yang bak sebatas alat bagi ambisi seniman pria menyempurnakan karya sekaligus melampiaskan hasrat seksual tak tersalurkan miliknya. Terlebih saat Tetsuo mendeskripsikan Sonoko sebagai “horny” di penutup filmnya. It’s not a liberation for female. It’s merely a male fantasy.


Available on NETFLIX

Tidak ada komentar :

Comment Page:

Posting Komentar