Terkait Benyamin Biang Kerok (2018), saya termasuk minoritas. Saya tidak
menentang, tidak membenci, meski harus diakui, hasilnya jauh dari kata “bagus”.
Sangat jauh. Setidaknya ada visi yang jelas, walau apakah visi tersebut cocok
diterapkan, patut dipertanyakan. Direncanakan sebagai trilogi, setelah film
pertama mendapat respon cenderung negatif, baik perihal ulasan, jumlah penonton
(730 ribu tidak sedikit, namun jelas bukan angka yang diharapkan), belum lagi
perseteruan hak cipta, kabar perilisan film kedua tak kunjung jelas, sebelum
akhirnya tayang di Disney+ Hotstar.
Berbeda dengan pendahulunya, Benyamin Biang Kerok 2 bak produk asal
jadi, tanpa arah, yang buru-buru diselesaikan guna mengejar tanggal tayang di streaming platform. Selepas rekap
beberapa menit yang tidak banyak membantu akibat kisah film pertamanya kurang meninggalkan
kesan, protagonis kita, Pengki (Reza Rahadian), berkata pada penonton, jika petualangannya
melawan sindikat mafia pimpinan Said (Qomar) demi menyelamatkan sang pujaan
hati, Aida (Delia Husein), bakal lebih seru dari film-film Amerika. Berarti,
Hanung bersama trio penulis naskahnya, Bagus Bramanti, Senoaji Julius, dan Hilman
Mutasi, masih berniat membuat blockbuster
mahal, sarat aksi berteknologi tinggi, juga bertabur CGI.
Tapi itu tidak terlihat. Aksi bisa
dihitung jari, sementara CGI, selain
kuantitasnya menurun drastis, begitu pula kualitasnya. Ada satu momen yang
berpotensi melahirkan hiburan berupa pertarungan absurd, di mana Sabeni (Rano
Karno), ayah Pengki, memancarkan laser untuk menghajar habis anak buah Hengki (Hamka
Siregar) yang berniat membunuh Pengki, disusul tembakan gelombang dari gitar
elektrik Nurlela (Lydia Kandou). Tapi efek visualnya setengah (atau malah
seperempat?) matang, yang diperparah oleh kecanggungan pengadeganan Hanung.
Mau dibawa ke mana film ini?
Seberapa buru-buru penyelesaiannya? Jangankan pasca-produksi, saya pun
mempertanyakan, apakah proses produksi, termasuk pick-up, benar-benar sudah usai jauh-jauh hari? Alurnya sendiri
sudah dilukai oleh keputusan memecah cerita. Terasa betul kisah dimulai dari
tengah, sehingga tanpa struktur penceritaan layak. Belum lagi, perpindahan antar
adegan tidak dijembatani secara mulus, seolah tidak ada stok transisi yang
cukup.
Misalnya sewaktu Pengki, Somad (Adjis
Doaibu), dan Achie (Aci Resti) hendak pergi ke hutan di Kalimantan menggunakan
helikopter, untuk memecahkan misteri harta karun Soekarno, yang diduga jadi
incaran utama para mafia. Sayang, helikopter kepunyaan Nyak Mami (Meriam
Bellina) tiba-tiba mogok. Lalu Achie berkata, bahwa dia tahu harus berbuat apa.
Sejurus kemudian, kita melihat CGI shot
yang menampilkan sebuah pesawat di angkasa. Mendadak mereka telah tiba di
tujuan. Pesawat siapa itu? Mengapa efek visualnya tampak amat mentah? Bagaimana
pula Hengki beserta anak buahnya bisa tahu persis keberadaan ketiganya di
tengah hutan keramat?
Paling tidak saya menikmati
penampilan para pelakon senior, khususnya Rano Karno dan Lydia Kandou, yang
berusaha sekuat tenaga memaksimalkan porsi masing-masing. Reza, bermodalkan kejenakaan
gestur serta permainan logat dan warna suaranya pun masih nyaman disaksikan. Satu
yang benar-benar mengganggu, terlebih di third
act, hanya Aci Resi dengan gerutuan dan rengekan menyebalkan yang tak
kunjung berakhir.
Artinya jajaran cast berhasil menyelamatkan film ini bukan? Kata “menyelamatkan” rasanya berlebihan.
Paruh akhirnya membuat Benyamin Biang
Kerok 2 tidak terselamatkan. Antiklimaks, cuma menampilkan sekelumit aksi
singkat berisi serbuan beruang dengan CGI
menyedihkan, nomor musikal cringey nan
murahan diiringi lagu hip hop, pula konklusi dadakan yang menyisakan banyak
subplot tanpa resolusi.
Satu hal paling fatal: rambut
Pengki berubah! Itu bukan rambut Pengki, tapi rambut Reza. Pengki beralasan,
rambutnya dipotong oleh suku pedalaman. Saya curiga, konklusinya adalah pick-up yang diambil jauh setelah
produksi selesai, besar kemungkinan untuk menghapus jembatan menuju film
ketiga, yang konon merupakan adaptasi Tarsan
Kota (1974). Syukurlah bila memang demikian. Cukup. Berhenti sampai di
sini.
Available on DISNEY+ HOTSTAR
Haduh, niat langganan Disney+ itu buat menyaksikan film Indonesia Premiere eksklusif di Disney+, Sampai bela-belain nonton Benyamin Biang Kerok yang super absurd buat nonton yang kedua ini. Kalau Hasilnya kayak gini, yah Entahlah, saya jadi ragu Warkop DKI4 ini jadinya kayak gimana.
BalasHapusmau nanya Bang, untuk Falcon pictures, apa shooting 2 part film itu barengan, kok Warkop DKI 4 sama Benyamin Biang Kerok 2 bisa tayang, padahal nggak mungkin kan syuting di era pandemic kayak gini apalagi Warkop DKI 4 settingnya di luar negeri.
Warkop jelas kelar udah lama. Back to back. Benyamin 2,ya kayak udah dibahas itu. Ada kemungkinan pick-up scene diambil jauh setelah jadwal produksi aslinya. Sebelum apa sesudah pandemi, itu yang nggak tahu
HapusJadi intinya, Warkop itu langsung syuting 2part ya Mas, yang 4 ini, tinggal editing aja?
HapusJadi nggak yakin visual effect Warkop DKI 4 ini gimana
Bucin kapan direview bang?
BalasHapusSusah bisa ngerasain feel kalo Reza tuh Benyamin...sekuat apapun aktingnya.yg saya rasakan malah Reza bertingkah laku seperti Benyamin....
BalasHapuskok buka link nya lama ya
BalasHapusBang bakal revie serigala terakhir seris gk ?
BalasHapus