17/09/20

REVIEW - THE DEVIL ALL THE TIME

0 View

Beberapa saat sebelum film usai, protagonis kita, Arvin Russell (Tom Holland), duduk dalam mobil, kelelahan, lalu menguap bersamaan dengan terdengarnya pidato Presiden Lyndon B. Johnson di radio, perihal ajakan bagi para pemuda untuk terjun ke Perang Vietnam, guna membuktikan pada komunis bahwa Amerika tak terkalahkan. Seolah kalimat bernada patriotisme itu sekadar omong kosong (dan memang demikian). Momen tersebut melemparkan pikiran saya kembali ke awal film, kemudian mempertanyakan, “Siapa iblis sebenarnya?”.

Diangkat dari novel berjudul sama karya Donald Ray Pollock, The Devil All the Time membuka presentasinya dengan memperkenalkan kita pada Sersan Willard Russell (Bill Skarsgård) yang baru kembali dari penugasannya di Kepulauan Solomon selama Perang Dunia II. Dari namanya, bisa ditebak bahwa Willard merupakan ayah Arvin. Willard menikahi pelayan cafe bernama Charlotte (Haley Bennett), dan selepas kelahiran Arvin, memilih tinggal di perbukitan terpencil di Knockemstiff.

Walau tahun demi tahun telah berlalu, Willard masih dihantui peristiwa mengerikan saat salah satu rekannya disalib dan disiksa oleh tentara Jepang. Willard membunuh si rekan demi mengakhiri penderitannya, tak tahu kalau hal itu justru memberinya derita berkepanjangan. Willard pun membuat tempat ibadahnya sendiri di tengah hutan, memasang salib yang membuatnya terus mengingat kejadian traumatis itu, pun mengajak Arvin kecil berdoa di sana. Melihat mata Skarsgård, kita tahu Willard tak pernah sepenuhnya keluar dari neraka dunia, bahkan terperosok semakin dalam.

Tapi bukan itu saja kisah yang filmnya miliki. Ada soal Helen (Mia Wasikowska), gadis religius yang menikahi Roy (Harry Melling), seorang pengkhotbah radikal; Lenora (Eliza Scanlen), puteri Helen dengan religiusitas serupa sang ibu, yang bertemu Preston (Robert Pattinson) si pendeta pedofil; pasangan suami-istri Carl (Jason Clarke) dan Sandy (Riley Keough) yang melakukan pembunuhan berantai sebagai metode spiritual untuk mendekatkan diri pada Tuhan; juga Sheriff Lee (Sebastian Stan) si polisi korup.

Selain paling menjual, duo Holland-Pattinson juga memberi penampilan terbaik di antara jajaran ensemble cast. Bergaya ala James Dean, Holland mengenyahkan citra “remaja baik-baik” yang didapatnya setelah memerankan Peter Parker, sebagai pemuda yang tak ragu menggunakan kekerasan, karena itulah yang diajarkan sang ayah. Sedangkan Pattinson memudahkan penonton mengutuk karakternya, tapi di saat bersamaan, terpaku, betah menatap layar di tiap kemunculannya.

Begitu banyak kisah dengan latar waktu dan tempat berlainan mampu diatasi oleh naskah yang ditulis sutradara Antonio Campos bersama saudaranya, Paulo Campos. Alih-alih berantakan, banyaknya cabang justru membuat tuturannya padat, di mana dinamika selalu terjaga tanpa satu pun titik membosankan. Pemakaian voice over turut membantu mengarahkan penonton memahami detail maupun keterkaitan antar peristiwa yang cukup rumit. Penulis novelnya, Donald Ray Pollock, menjadi narator dengan suara berat nan parau yang memperkuat atmosfer. Kita bak mendengarkan pria tua yang sudah menyaksikan segala kegelapan dunia, bercerita ditemani sebotol wiski.

Dan tak bisa dipungkiri, The Devil All the Time memang gelap. Sangat gelap. Nuansa depresif membungkus cerita yang dipenuhi kematian, baik pembunuhan maupun bunuh diri, yang ketimbang sadisme, lebih mengedepankan dampak psikis. Belum lagi urusan pelecehan, hingga degradasi moral lain. Perlu/tidaknya semua itu sejatinya patut diperdebatkan, namun jelas bukan tanpa maksud. Membaca cuplikan alur di atas, selain beberapa kejutan yang mempertemukan jalan tiap karakter,mungkin anda sudah bisa menangkap satu lagi benang merah, yakni religiusitas.

Mayoritas kegilaan karakternya didasari pengabdian kepada Tuhan. Tapi ini bukan bentuk menyalahkan agama, melainkan gambaran betapa mengerikan kala penerapan agama itu diinterpretasikan oleh manusia-manusia (baca: warga Amerika) yang tak mampu berpikir jernih akibat goncangan di jiwa mereka. Goncangan yang menurut filmnya, bermula dari peperangan. Bahwa satu persoalan mental akibat perang dapat berdampak panjang serta luas. Semakin mengerikan, karena tidak ada tanda-tanda kalau semuanya segera berakhir, kala para penguasa (pimpinan negara, pemuka agama) masih menyalahgunakan kekuatan mereka. The characters act in the name of God, but it was the devil all the time.


Available on NETFLIX

2 komentar :

  1. Pingin banget nonton. Tapi takut kena efek bad mood, soalnya pernah bad mood semingguan lebih gara2 nonton joker 😅

    BalasHapus
  2. Judulnya menurut saya merefleksikan kata-kata Teagardin sih. Dia menyalahkan Devil tapi sebenarnya itu perbuatan manusia all the time.

    BalasHapus