Debut
penyutradaraan Fanny Chotimah ini mengingatkan pada A Secret Love, dokumenter yang tayang di Netflix akhir April
lalu. Sama-sama mengetengahkan sepasang wanita lanjut usia yang tinggal bersama
selama puluhan tahun hingga ajal memisahkan. Kalau tema besar A Secret Love adalah LGBT, maka
peristiwa 1965 di Indonesia jadi sorotan You
and I. Tepatnya saat terjadi penangkapan besar-besaran atas orang-orang
yang dituding sebagai simpatisan PKI.
Nama kedua wanita
itu adalah Kaminah dan Kusdalini. Saat film dibuat, masing-masing berusia 70
dan 74 tahun. Deretan foto dan teks menjelaskan latar belakang keduanya.
Kaminah dan Kusdalini ditangkap karena tergabung dalam organisasi paduan suara komunis
untuk pemuda. Kaminah dipenjara saat baru duduk di bangku kelas 2 SMP dan harus
menghabiskan tujuh tahun mendekam di sel, sedangkan Kusdalini selama dua tahun.
Bertemu di penjara, ikatan kuat bak kakak-adik tumbuh di antara mereka.
Selepas dari
penjara, Kaminah ditolak oleh keluarganya. Beruntung, Kusdalini dan neneknya
bersedia menampung Kaminah. Keduanya menetap di Solo, mencari uang lewat
berjualan krupuk, dan hidup serba kekurangan di sebuah rumah sangat sederhana,
yang atapnya bocor di sana-sini. Karena tak punya uang untuk perbaikan,
Kusdalini pun memasang payung tepat di titik kebocoran. Walau lebih tua empat
tahun, Kusdalini harus merawat Kaminah yang baik fisik maupun ingatannya sudah
melemah.
Kaminah lebih
banyak menghabiskan keseharian duduk atau berbaring. Lutut Kaminah sudah tak
kuat menopang tubuhnya. Mungkin cuma sebulan sekali ia keluar rumah, yakni
ketika diadakan pertemuan rutin antara penyintas tragedi 1965. Di pertemuan
itu, informasi-informasi terbaru dibahas, termasuk soal penemuan beberapa
kuburan massal.
Lalu beberapa kali
kita mendapati Kaminah kesulitan mengingat kabar rekan-rekan seperjuangannya. Kusdalini
selalu bisa memberikan jawaban tentang siapa masih hidup, siapa sudah
meninggal. Begitu pun ketika Kusdalini melupakan arti “Jas Merah”. Tapi setelah
mendengar Kaminah menjawab, “Jangan Sekali-Sekali Melupakan Sejarah”, Kusdalini
langsung menjawab bahwa tentu saja dia tidak akan lupa. Tetek bengek istilah
maupun kondisi teman-teman boleh jadi sudah susah Kusdalini ingat, namun
ketidakadilan yang menimpanya lebih dari lima dekade lalu itu takkan terlupa.
You and I sendiri merupakan
upaya agar masyarakat tidak pernah lupa, bukan saja soal sisi sejarah kelam
Indonesia tersebut, juga tentang pentingnya kemanusiaan. Kedua karakter film
ini bukan saudara kandung, tapi sebagai sesama manusia (yang jadi korban
kejahatan kemanusiaan manusia lain), mereka merasa perlu berbagi cinta tanpa
diminta. Dan cinta itu pula yang jadi sumber emosi terbesar filmnya.
Fanny tidak perlu
banyak melakukan dramatisasi. Menyaksikan ketulusan Kusdalini merawat teman hidupnya,
maupun Kaminah yang senantiasa merespon dengan senyum penuh kasih sudah cukup
memancing rasa haru. “Semangat ya”, ucap Kusdalini kepada Kaminah yang jelang
akhir film kondisinya memburuk dan harus terbaring lemah di ranjang rumah
sakit. Kalau hati tak tergerak mendengar kalimat sederhana itu, mungkin sisi
kemanusiaan anda perlu dipertanyakan.
You and I ditutup di latar
tahun 2017 setelah Kaminah meninggal dunia (Kusdalini meninggal setahun
berselang). Kusdalini duduk seorang diri. Dia terdiam, sementara di belakang,
terdengar pengajian untuk mendoakan Kaminah tengah dilangsungkan. Beberapa
waktu kemudian, di tengah kesunyian, giliran Kusdalini yang berdoa. Karena
memang hanya itu yang bisa dilakukan rakyat jelata korban ketidakadilan para
pemegang kuasa. Pasrah, sembari memanjatkan doa yang entah bakal dijawab dengan
cara apa.
Mas rasyid, Tenet udah rilis tuh tinggal sedot trus review deh heheheheee
BalasHapus