REVIEW - HIS HOUSE
“After what we have
seen what men can do, you think it is bumps in the night that frighten me? You think I can be afraid of ghosts?”,
ucap Rial (Wunmi Mosaku) kepada sang suami, Bol (Sope Dirisu). Debut
sutradara-penulis naskah Remi Weekes ini memang bukan horor soal rumah berhantu
biasa. “Manusia lebih menyeramkan daripada hantu”. Mungkin itu yang ingin His House sampaikan, dalam kisah mengenai
teror supernatural yang dipicu oleh kejahatan-kejahatan manusia.
Tiga bulan sudah berlalu sejak Rial dan Bol tiba di Inggris,
guna menyelamatkan diri dari perang yang meletus di Sudan Selatan. Malang,
puteri mereka, Nyagak (Malaika Abigaba), tewas tenggelam kala perahunya
terbalik di tengah laut yang dilanda badai. Kini Rial dan Bol diberikan
kebebasan bersyarat oleh pihak imigrasi Inggris. Pemandangan tak nyaman terlihat
kala petugas imigrasi mengumumkan kebebasan keduanya, yang lebih seperti
interogasi. Satu petugas tampak tak peduli sambil mengunyah biskuit, sedangkan
rekannya, dengan dingin membacakan barisan aturan ketat, yang mengesankan bahwa
dua protagonis kita cuma mendapat kebebasan semu.
Kesan yang menguat saat kita melihat apa yang keduanya
peroleh. Sebuah rumah kecil nan kotor, dengan kerusakan di sana-sini. Rial
tampak gamang, tetapi Bol bersemangat menjalani kehidupan barunya sebagai “orang
Inggris”. Bol segera bepergian, membeli pakaian-pakaian baru, bahkan sempat
mampir ke pub dan terlibat dalam riuh rendah warga setempat yang menyanyikan
puja-puji bagi pesepakbola favorit mereka, Peter Crouch. Rial tak seberuntung
itu. Dia tersesat, dan sewaktu menanyakan arah pada tiga remaja kulit hitam, ia
malah menerima cemoohan, termasuk teriakan agar “pulang ke Afrika”.
Hingga akhirnya Bol juga menerima gangguan. Bukan dari
rasisme masyarakat maupun ketidakadilan pemerintah, melainkan penampakan sosok misterius.
Melalui penampakan perdana sang hantu, Weekes langsung membuktikan kapasitas
penyutradaraannya. Tanpa efek suara berisik, cukup sayup-sayup erangan, visual
mengerikan, serta timing tak terduga.
Teror –teror berikutnya tidak semengerikan itu, namun masih dengan kreativitas,
khususnya dari departemen tata rias yang mengambil inspirasi dari budaya
Afrika, yang mengungguli mayoritas horor bertema rumah berhantu.
Bukan cuma Bol, makhluk misterius itu pun turut mengganggu
sang istri. Rial percaya bahwa semua itu adalah perbuatan apeth sang “penyihir
malam”, yang datang untuk menagih hutang. Hutang apa? Jawabannya hadir melalui twist yang selain mengandung efek kejut,
pula menjelaskan gejolak batin dan rasa bersalah karakter, yang memperkuat tuturan
dramanya. Twist-nya menambah lapisan
cerita mengenai usaha bertahan hidup imigran dari negara tempat pecahnya
konflik. Di situlah horor sesungguhnya terletak. Dan selepas berhasil pergi
dari tanah air, para pengungsi justru menemui bentuk horor lain, yang mampu
membenuh tanpa harus melibatkan senapan.
His House membicarakan proses menghadapi dua
wujud teror di atas, ketika imigran berusaha hidup bersama “hantu” dari masa
lalu mereka, mengais kesempatan kedua di “rumah baru”, di mana setidaknya ada
kesempatan melanjutkan hidup, meski dihadang ketidakadilan. Dampak emosi proses
tersebut makin tinggi berkat keberhasilan Wunmi Mosaku dan Sope Dirisu
menghidupkan karakter keduanya. Rial dan Bol menjadi individu yang nyata,
dengan ketakutan dan rasa bersalah yang juga nyata, alih-alih figur depresif artificial yang acap kali kita temukan
di berbagai horor yang melibatkan tragedi masa lalu protagonisnya. -
Available on NETFLIX
2 komentar :
Comment Page:Review RUN nya sarah paulson mas rasyid hehehee satu satunya film Hulu tahun ini yang bagus menurut saya
Review Queen's Gambit dong bang
Posting Komentar