Katanya masyarakat Indonesia itu religius. Gemar sekali kita
membawa-bawa nama Tuhan di berbagai situasi. Tapi saat ada pasangan suami istri
tak kunjung dikaruniai momongan, kenapa ada tendensi menyalahkan si perempuan? Bukankah
kalau memakai sudut pandang agama, anak adalah pemberian Tuhan? Lalu mengapa
istri kerap jadi kambing hitam, dianggap aib dan kurang sempurna, bahkan disebut
“kosong” layaknya kentongan?
Kosong (stylized as ‘K0s0ng’) membicarakan isu di atas dengan
mengangkat kisah lima perempuan di Pulau Jawa, tepatnya lima istri yang
menerima tekanan sosial akibat ketiadaan buah hati. Disutradarai oleh Chonie
Prysilia dan Hizkia Subiyantoro yang juga merupakan suami-istri, Kosong adalah
dokumenter yang dipresentasikan dalam media animasi. Bukan gaya baru, namun
masih jarang digunakan, khususnya di skena dokumenter panjang Indonesia.
Di akhir film, muncul teks berupa ucapan terima kasih Chonie
terhadap sang ibu, yang tak pernah memaksanya untuk memberikan cucu. Sayangnya,
kelima narasumber film ini tidak seberuntung Chonie. Satu per satu dari mereka,
dengan nama disamarkan, menyampaikan kisah masing-masing, yang walau dikaitkan
oleh satu benang merah berupa penghakiman masyarakat, sejatinya mengangkat
perspektif beragam, termasuk alasan belum mempunyai anak yang berbeda-beda.
Ada yang memang sudah berusaha sekuat tenaga tapi terhalang faktor
medis, ada yang merasa belum siap, ada pula yang memilih untuk tidak hamil
karena baru menikah di usia 45 tahun, pun dengan suami seorang pengidap skizofrenia.
Tapi apa pun alasannya, kebanyakan orang di sekitar mereka menolak memahami.
Pergunjingan terjadi, bahkan salah satu narasumber “terkenal” hingga ke desa
sebelah sebagai “perempuan yang tidak bisa punya anak”.
Bagaimana dengan para suami? Sudah bukan rahasia lagi bahwa
memiliki anak, kerap dijadikan simbol kejantanan para laki-laki. Keberadaan
keturunan membuat laki-laki merasa superior. Salah satu suami bahkan
membandingkan narasumber kita dengan istri pertamanya, yang menurutnya, lebih
gampang hamil. Padahal, perempuanlah yang menahan sakit selama sembilan bulan. Semestinya,
keputusan mempunyai anak atau tidak merupakan hak mereka.
Pokok bahasan utama Kosong memang soal anak, namun
secara general, ini adalah soal gender hingga stereotip (perempuan yang merokok
otomatis mendapat cap “nakal”). Isu-isu yang teramat penting. Begitu penting, setumpuk
kelemahan teknis film ini bisa sedikit dimaafkan.
Paling kentara terkait tata suara. Gema, noise, atau
potongan-potongan audio kasar yang hadir sepanjang durasi, kerap menyulitkan
upaya memahami suatu peristiwa. Saya tahu Kosong dibuat dengan
keterbatasan dana. Tapi tetap saja, kecacatan audionya mengganggu. Sekadar
informasi, proyek ini sempat melakukan penggalangan dana di Indiegogo dengan
target $8000 dollar (sekitar 112 juta rupiah), dan hanya berhasil mengumpulkan
$1885 dollar, atau sekitar 26 juta rupiah.
Butuh waktu membiasakan diri dengan gaya visualnya. Beragam
bentuk gambar digunakan, yang biarpun menciptakan variasi, beberapa di
antaranya justru menghasilkan sekat, yang membuat emosi jadi berjarak. Narasinya
juga kerap terasa membingungkan akibat perbedaan desain karakter antara satu
gaya dengan gaya lain. Sejatinya kualitas tata suara yang mumpuni dapat mengatasi
permasalahan tersebut.
Kosong memudahkan penonton mendukung perjuangan kelima karakternya, walau
sepertinya belum cukup kuat mengubah mereka yang berpemikiran kolot. Tapi
mungkin bukan itu yang dibutuhkan saat ini. Rasa dipahami, diwakili suaranya,
dan mengetahui bahwa di luar sana ada banyak orang berpemikiran sama, pula mengalami
permasalahan serupa, perlu didahulukan, setidaknya untuk sekarang. Kosong penting
untuk disaksikan karena bisa melakukan itu.
Available on KLIK FILM (25-29 November 2020)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar