08/12/20

FFD 2020 - BANYAK AYAM BANYAK REJEKI

0 View

Awalnya Banyak Ayam Banyak Rejeki bak hendak menjadi mockumentary Borat-esque mengenai fenomena poligami di Indonesia. Lucu, menghibur, kreatif, pula groundbreaking, sebab sejauh pengetahuan saya, belum ada film panjang lokal yang menerapkan pendekatan serupa. Hingga seperti banyak suguhan alternatif dalam negeri lain, hasrat tampil beda (baca: edgy) membawa filmnya kehilangan arah serta substansi.

Konon, duo sutradara Riboet Akbar dan Önar Önarsson berniat mewawancarai figur pelaku poligami asli dari Yogyakarta, yang dikenal sebagai pebisnis ayam goreng sukses dan mempunyai tiga istri. Tapi wacana tersebut urung dilakukan, akibat mengalami penolakan dari sang subjek. Jadilah Banyak Ayam Banyak Rejeki mengambil bentuk lain, meski premis kisahnya tetap sama.

Setelah menerima saran dari sang guru spiritual, Arjun memutuskan berhenti menjadi guru untuk membuka warung ayam goreng bernama Kaliurang Fried Chicken (KFC). Saat itu ia telah memiliki seorang istri. Tapi setelah beberapa waktu, bisnisnya stagnan. Kembalilah Arjun menemui si guru, dan mendapat saran berikutnya, yakni untuk menikah lagi. Arjun pun menikah untuk kali kedua…..kemudian kali ketiga…..kemudian kali keempat. Benar saja, usahanya sukses besar. Tapi benarkah itu merupakan bentuk rejeki berkat menikahi lebih dari satu wanita?

Mengamati deretan wawancaranya, mudah menyimpulkan bahwa semua ini bukan realita. Aktingnya dibuat konyol, pun kalimat-kalimat dari mulut “narasumbernya”. Nampaknya itu suatu kesengajaan demi memperkuat kelucuan, yang mana berhasil. Apalagi saat dibarengi humor-humor “gojek kere” khas Yogyakarta. Mulai dari lagu bernuansa Arab dengan lirik “Muhammad Ali, si jago tinju”, berbagai desain grafis yang sengaja dibuat murahan, hingga fakta bahwa di fotonya, istri pertama Arjun mengenakan pakaian terbuka walau berjilbab.

Sejatinya di fase ini, ambisi untuk menjadi senyeleneh mungkin sudah tercium, dan itu memunculkan distraksi. Ambil contoh lelucon tak perlu ketika wawancara sedang dilakukan, sementara di belakang karakternya terdapat televisi yang menampilkan adegan ayam sedang kawin. Kekonyolannya tak perlu sejauh itu. Tapi paruh awalnya tidak pernah kehilangan ketajaman sentilannya, yang bakal membuat penonton mengutuk Arjun sembari menertawakannya. Sang pelaku poligami digambarkan sebagai figur karikatur yang memakai agama sebagai tameng. Tidak ada cara lebih baik untuk menggambarkan sosok-sosok macam itu selain sebagai badut.

Apa sebenarnya rahasia kesuksesan Arjun? Saya setuju. Kesuksesan itu didasari poligami. Tapi bukan berkat “rejeki Tuhan”, melainkan karena Arjun memperlakukan istri-istrinya bak pembantu, mengharuskan mereka pulang-pergi mendorong gerobak, sementara ia duduk nyaman di mobil mewah. Pun istri kedua Arjun adalah yang berjasa menyebarkan informasi  tentang usahanya, sewaktu memanggil salah satu teman wartawannya, yang berujung menulis ulasan positif di koran bagi KFC.

Saya sudah siap menumpahkan puja-puji setinggi mungkin kepada Banyak Ayam Banyak Rejeki meski tersimpan beberapa kekurangan. Sampai absurditas yang didorong ambisi “tampil edgy” mengambil alih, berujung melemahkan suara film ini. Narasi menjadi stagnan tatkala keanehan tak perlu terus bertambah, termasuk subplot kental humor meta seputar dua sineas (Riboet Akbar dan Önar Önarsson) yang direkrut untuk membuatkan film bagi Arjun. Mungkin kedua sineas ingin bermain-main dengan konsep realisme, hanya saja dilakukan secara berlebihan sampai membuat filmnya sendiri seolah lupa memijak realita.

Banyak Ayam Banyak Rejeki adalah quasi dokumenter, sehingga (seperti Borat) cara terbaik untuk mempertahankan realisme adalah dengan menabrakkan elemen fiksi ke latar dunia nyata. Film ini melakukannya, tapi dengan kuantitas amat minimum yang tak menghasilkan dampak berarti bagi keseluruhan narasi. Ditambah lagi, beberapa “adegan rekayasa” miliknya tampil canggung. Ketimbang membenturkan kepalsuan dan realita, Banyak Ayam Banyak Rejeki memilih memalsukan realita.

Memasuki babak akhir, penceritaannya makin berantakan setelah kisahnya melompat 11 tahun, sewaktu fokusnya berpindah mengkritisi isu lain, yang sebenarnya dapat dikaitkan dengan poligami (khususnya perihal gender), tapi penyusunan narasinya tak memfasilitasi itu. Sayang sekali, padahal saya ingin merayakan film yang berani bereksperimen sambil mengangkat isu penting ini.


Available on ffd.or.id (November 25 - December 14)

Tidak ada komentar :

Comment Page:

Posting Komentar