“I don't want you but I hate to lose you”.
Demikian petikan lirik lagu Between the Devil and the Deep Blue Sea milik
George Harrison, yang menginspirasi pemilihan judul film ini. Pun sebagaimana
lirik di atas, debut penyutradaraan film panjang Dwi Sujanti Nugraheni ini
mengangkat perihal kompleksitas cinta, tatkala kebencian dan rasa sayang saling
beradu dalam hati subjeknya, seorang gadis muda korban pemerkosaan.
Namanya Ona, gadis 20 tahun asal Kaledupa,
Sulawesi Tenggara, yang tengah menempuh perkuliahan di Universitas Kendari. Dia
cerdas, dan berambisi mengejar masa depan cerah sebagai ahli kelautan. Sampai
ia bertemu pria bernama La Nua, yang memperkosanya di kencan pertama mereka. Agar
tidak mencoreng nama keluarga, Ona meminta keluarga La Nua untuk melamarnya,
dan berniat menikah selepas lulus kuliah.
Orang tua Ona tidak tahu mengenai
pemerkosaan tersebut. Sehingga, ketika prestasi akademik Ona menurun akibat
banyaknya beban pikiran, mereka bingung, menganggapnya berubah jadi pemalas.
Mereka hanya tahu bahwa dahulu, Ona merupakan murid pintar nan berprestasi.
Tapi cobaan tidak berhenti di situ. Ona menderita kista, yang mengharuskannya
absen berkuliah, menjalani operasi, juga membeli obat-obat mahal. Kondisi yang
membuat orang tuanya makin pusing karena sudah terlilit banyak utang demi
membiayai studinya. Otomatis, tekanan mengarah kembali pada Ona.
Between the Devil and the Deep Blue Sea bisa membuat penonton
ikut merasakan betapa sesaknya kehidupan Ona. Seolah semesta berkonspirasi
untuk menyerangnya. Lalu timbul masalah lain. Ona mendapat nilai E di salah
satu mata kuliah. Menurut cerita, sang dosen punya “kebijakan” tersendiri. Mahasiswa
akan diberi A walau tak mampu mengerjakan ujian, selama lancar membaca Al Qur’an.
Tetapi di saat ujian berjalan lancar namun si mahasiswa kerap memakai pakaian
yang “tidak pantas”, nilai E sudah menunggu. Sewaktu Ona mengunjungi kediaman
dosen itu, ia justru dimintai uang sebesar 150 ribu rupiah.
Begitulah gambaran pria-pria pemegang
kekuatan, yang entah didapat dari status sosial, jabatan, atau semata-mata
karena kultur yang kental ketidakadilan gender. Ona terpaksa hidup di bawah
kontrol para pria. Khususnya La Nua, yang melarangnya memakai makeup,
mendatangi acara joget, dan akan mengamuk andai tidak diberi uang. Ona sampai
harus diam-diam menjual laptop demi tunangannya itu, yang baru keluar dari
penjara akibat kasus penusukan.
“Kenapa kamu menusuk orang? Dia kan juga
ingin hidup”, kata Ona. Suatu ketika, selepas acara joget, Ona mampir ke rumah
seorang pria. Mengetahui itu, sang ibu marah, berkata bahwa, jika La Nua
menikam pria itu, maka Ona yang salah. Padahal Ona juga ingin hidup. Pisau
memang tidak menikam tubuh Ona, tapi kebebasannya ditikam berulang-ulang oleh
pisau bernama “ketidakadilan”.
Bukankah masalah akan berkurang jika Ona
meninggalkan La Nua? Tapi berbeda dengan kita yang cuma menonton dari luar, bagi
Ona, realitanya tidak semudah itu. Biar bagaimanapun, Ona masih menyimpan rasa
kepada La Nua. Saat ia berulang tahun, La Nua memberi kejutan. Ona terlihat
sangat bahagia hingga menangis. Kemudian adegan langsung berganti,
memperlihatkan La Nua sedang memegang handphone pacarnya, sambil
menghapus kontak para pria yang menurutnya “mengancam”.
Sayangnya Between the Devil and the Deep Blue Sea mengandung satu kelemahan besar. Penceritaannya melompat-lompat, seolah banyak informasi yang hilang, sehingga kerap menyulitkan penonton untuk memahami berbagai situasi. Kita terpaksa menyimpulkan sendiri berdasarkan fakta-fakta terbatas yang telah dan akan hadir. Tapi kelemahan tersebut tak mengurangi urgensi pesannya. Dokumenter ini mampu mempresentasikan kompleksitas temanya, tampil objektif sambil tetap memberi pemahaman terkait bahaya sistem patriarki yang disertai ketidakadilan kultur masyarakat kita dalam memandang wanita, khususnya korban pemerkosaan.
Available on ffd.or.id (November 25 - December 14)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar