Di salah satu adegan, Wonder Woman/Diana Prince (Gal Gadot) berayun
dengan mengaitkan lasonya ke sebuah roket. Itu saja sudah merupakan momen memukau,
tapi yang membuatnya spesial adalah, Wonder Woman repot-repot melakukan itu
bukan Cuma untuk mengalahkan musuh, melainkan menyelamatkan dua anak kecil yang
berada di tengah jalan. Sutradara Patty Jenkins menyebut Superman (1978)
sebagai inspirasi kala menggarap Wonder Woman (2017), dan pengaruh karya
Richard Donner tersebut makin kentara di Wonder Woman 1984. Sebuah escapism,
sebuah film pahlawan super penuh keajaiban, hati, serta harapan.
Di pertengahan pandemi, banyak pihak mengira Christopher
Nolan bakal menyelamatkan industri film, termasuk keberlangsungan bioskop,
melalui Tenet. Prediksi itu meleset. Tapi mungkin saja Wonder Woman
1984-lah penyelamat yang dinanti. Penonton sedang butuh harapan. Daripada
otak, hati lebih memerlukan asupan. Film ini langsung menjawab kebutuhan itu
sejak adegan pembuka, ketika sinematografer Matthew Jensen menyapukan kamera di
atas bentangan alam Themyscira, diiringi musik Hans Zimmer, yang walau masih
epik, kali ini lebih mengedepankan nuansa magis alih-alih dentuman. Awal yang
indah, apalagi mengingat begitu banyak dari kita merindukan kebebasan berada di
luar.
Dari situ, kita diajak menyaksikan turnamen atletik, di mana
Diana kecil turut serta, melawan prajurit-prajurit Amazon dewasa. Lilly Aspel melanjutkan
perannya di film pertama sebagai Diana kecil, dan sungguh berbakat bocah ini.
Anda bakal percaya jika kelak ia tumbuh menjadi salah satu pahlawan super
terkuat di semesta DC. Pembukaan tersebut punya dua fungsi. Pertama, memberi
latar bagi Diana sebagai sosok yang senantiasa berpegang pada kebenaran, dan
kedua, menanam benih soal Asteria, si pemilik baju zirah emas yang di puncak
film akan dikenakan Diana. Jangan lewatkan mid-credits scene yang
mengungkap siapa pemeran Asteria. Jika anda tidak mengenalnya, ia adalah legenda,
salah satu figur yang paling berjasa mengangkat Wonder Woman di budaya populer
dunia.
Melompat ke tahun 1984, Diana dewasa telah hidup di tengah
masyarakat dan bekerja sebagai antropolog di The Smithsonian, meski duka akibat
kematian Steve Trevor (Chris Pine) membuatnya selalu menenggelamkan diri dalam
kesendirian. Di The Smithsonian, terjadilah pertemuan Diana dengan ilmuwan
bernama Barbara (Kristen Wiig), yang mengidolakan segala
kesempurnaan Dunia. Sejak era SNL, Wiig jagonya menghidupkan karakter
canggung yang mudah disukai penonton, dan Barbara bukan pengecualian. Bahkan
selepas bertransformasi menjadi Cheetah, saya tetap bersimpati padanya. Barbara
bukan villain haus kekuatan yang ingin menguasai dunia. Dia hanya ingin
merasakan cintanya dibalas.
Tapi bukan Cheetah saja musuh Wonder Woman di sini. Ancaman
terbesar justru datang dari artefak misterius yang konon bisa mengabulkan semua
permintaan. Artefak itu membawa Diana berkonfrontasi dengan Maxwell Lord (Pedro
Pascal), si pebisnis minyak sekaligus bintang televisi. Keberadaan lebih dari
satu antagonis otomatis memperbanyak cabang penceritaan film, dan Patty Jenkins,
Geoff Johns, dan David Callaham yang menulis naskahnya, mampu menyatukannya
secara rapi.
Bahkan cabang-cabang itu mereka manfaatkan untuk melahirkan
rangkaian cerita masif berdurasi 151 menit, yang membawa karakternya
berpetualang ke berbagai lokasi, termasuk Mesir. The stakes are high in this
movie. Banyak film pahlawan super menampilkan ancaman berskala global, tapi
sedikit yang mampu membuat penonton ikut merasakan seberapa besar ancaman itu
(khsusnya kalau bukan berstatus film team-up) sebagaimana Wonder
Woman 1984. Meski harus diakui, di banyak titik sewaktu aksinya absen, film
ini kerap limbung, akibat minimnya penulisan dialog menarik, juga kisah yang stagnan.
Kesan masif di atas turut diciptakan oleh rangkaian aksinya.
Film pertama memang punya adegan “No Man’s Land”, tapi sisanya tak
begitu spesial, terlebih klimaks medioker berorientasi CGI-nya. Jenkis
memperbaiki semua kekurangan itu. Pondasinya adalah kreativitas di ranah
konsep. Sebagai salah satu holy trinity milik DC, haram hukumnya melibatkan
Wonder Woman dalam pertarungan ala kadarnya. Bersama Johns dan Callaham, Jenkins
memanfaatkan benda-benda ajaib milik Diana, yang mungkin oleh penonton di luar
pembaca komik, belum diketahui kehebatannya.
Kalau Batman punya batarang, maka Wonder Woman bisa
melemparkan tiara untuk melumpuhkan musuh. Selain dipakai menjerat dan memaksa
lawan bicara jujur, Lasso of Truth dapat membuat Wonder Woman berayun di
angkasa. Seperti Spider-Man? Nanti dulu. Apakah jaring milik Peter Parker bisa
menjerat petir yang sedang menyambar? Dibantu penataan Matthew Jensen yang
membuat kamera bergerak dinamis mengikuti kelincahan Wonder Woman, Jenkins
menjadikan tiap shot terlihat besar, masif, epik.
Di titik ini saya rasa cuma orang bodoh, dengki, atau
pembenci ulung yang mempertanyakan pemilihan Gal Gadot sebagai Wonder Woman.
Jika di film pertama ia tangguh tetapi naif, di sini Gal Gadot memberi kita
sosok pahlawan berpengalaman, yang tampak meyakinkan kala berakrobat, melayang
di udara, atau mendorong sebuah mobil lapis baja sebagai tameng sambil berlari secepat
kilat.
Tapi seperti sudah disinggung di awal tulisan, Wonder
Woman 1984 bukan cuma suguhan bombastis.
Film ini mempunyai hati yang tidak kalah besar. Mungkin anda ingat sebuah shot
di trailer, ketika Diana dan Steve berada dalam pesawat, sementara di luar,
kembang api menghiasi langit malam. Satu yang tak diungkap secara gamblang di trailer
(walau pembaca komik pasti sudah bisa menebaknya), mereka berdua ada di
pesawat tak terlihat. Bagi saya itulah momen paling romantis di sini. Di bawah
warna-warni kembang api, Diana dan Steve tersembunyi dari dunia luar, seolah
ruang dan waktu hanya milik mereka berdua.
Dan tidak ada yang lebih sempurna merepresentasikan pesan
heroisme film ini dibanding klimaksnya. Di blockbuster lain, klimaks
tersebut mungkin akan terasa mengecewakan. Antiklimaks. Tapi tidak dalam Wonder
Woman 1984, sebuah film yang berpesan bahwa sesungguhnya, sosok pahlawan
bukan Diana seorang, namun seluruh umat manusia. Semua bisa menyelamatkan dunia
melalui caranya masing-masing. Sungguh pesan yang relevan sekaligus berharga di
kondisi dunia seperti sekarang.
#kembalikebioskop sejak januari 2020, saya disuguhkan film terbaik superhero cewe sejauh ini. Btw bang, kalo mau dengerin karyanya hans zimmer di film ini bisa di dapetin dimana ya???
BalasHapusAda di spotify kok, lengkap π
HapusTadinya Saya Agak Kecewa Sama Endingnya Yang Antiklimaks, Tapi Sekarang Saya Tau Alasannya Kenapa. Terima Kasih Mas Rasyid Atas Reviewnya ππππ
BalasHapusWajar kalo rada kecewa, tapi emang ada maksud di balik pilihan itu π
HapusWow ga nyangka bakalan sebagus ini filmnya... Mas nonton di bioskop di kondisi pandemi kayak gini aman ga mas? Soalnya saya masih ragu nih mau ke bioskop tapi masih takut
BalasHapusInsya Allah aman. Pertama, protokolnya lumayan kasih rasa aman. Kedua, ya biar gimana pun tetep nggak akan serame bioskop biasanya
HapusIya liat twitter sy bingung tenet yg diharapkan sebagai film utk membangkitkan momentum kembali ke bioskop.. selain mngkin film terburuk nolan.. even berhasil pun,, film nolan emang gak ada yg real popcorn movies
BalasHapusMomentum gmn orang pas Tenet rilis bioskop di Indonesia masih blm dibuka. Ya terburuk dari segi box office. Tp klo dari kualitas masih bagus. Hnya saja susah utk dicerna dalam sekali nonton mkanya dibilang gagal. Klo WW84 emg pas buat momentum bioskop soalnya bener2 popcorn movie..
HapusBioskop global maksudnya
BalasHapusBang, aku abis nonton terus jd mikir, kenapa dipake latarnya milih tahun segitu ya? Ada hubungan kejadian masive kaya gitu (perang or something)?
BalasHapusSaya kutip jawaban Jenkins yak
Hapus"The '80s is a period that Wonder Woman is quite synonymous with. So it was great to see her there. But most importantly, it's sort of the height of Western civilization and the success of the world that we all live in in the aftermath of now. So, I was curious to collide our Wonder Woman into the height of our current modern belief system and what kind of villains come out of that and see what happens. So, it all came quite naturally."
Saya malah belom paham apa "timbal balik" dari permintaan dari Barbara...apa yg diambil?kemanusiannya?
BalasHapusYap, bukan cuma fisik, hatinya juga. Ya sejalan sama tema filmnya, "gaining/losing humanity"
Hapusbang tenet ga tayang di indo ya? meskipun review nulis pada kurang tapi tetep aja udah nahan diri ga nonton tenet di dvd ato streaming bajakan, ngebayangin nonton di imax mungkin bakal ngurangin tu rasa kecewa sama cerita nya kali ya
BalasHapusHah ending? Kyknya bakalan ada releasejenkinscut
BalasHapusSetuju sih sm pilihan endingnya..
BalasHapusSebagai suprhero bucin emang kyknya terlalu berlebihan aja sih jika harus ada yg matiπ
Betul kata mas rasyid.. ketika aksinya absen sy lebih milih ngecek Handphone..
Post credit scene ada hubungannya sm film ketiga kah atau tribute aja??
Nah belum tahu. Bisa jadi film ketiga, bisa jadi spin-off soal Amazons yang udah direncanain, bisa jadi cuma tribute
HapusApa cuma gue yang mikir kalo Maxwell Lord itu alegori untuk Donald Trump?? Dari mulai ejekan "con-man" yg juga sering ditujukan pada Trump, karir bisnisnya yg baik di permukaan tapi ancur di dalam (terlilit banyak utang), lalu perannya sebagai "TV personality".
BalasHapusKata Jenkins, emang salah satu inspirasinya dari Trump. Tapi itu cuma salah satunya aja, ada campuran inspirasi dari tokoh lain juga.
Hapus“He’s one of them,” Jenkins told Screen Rant. “Trump’s definitely one of the people we looked at, but it’s any of [that] kind of mavericks of business success that was big in the ’80s. Who went on to be major players in our world in potentially questionable other ways.”
Seperti biasa, scoring dari Hans Zimmer bener2 luar biasa.
BalasHapusAku lebih suka yg pertama. Bener, aksi nya kayak masi nanggung n drama nya malah aga jenuh
BalasHapusTernyata yg menyelamatkan industri bioskop bukan Tenet bukan pula Wonder Woman, melainkan Kimetsu no Yaiba
BalasHapus