Tidak semua sineas, bahkan yang punya segudang pengalaman serta bergelimang penghargaan, mampu melahirkan horor berkualitas. Harus ada kecintaan besar (atau malah obsesi), yang menuntun pada pemahaman mendalam mengenai genre tersebut. Selepas trilogy of intimacy yang jadi puncak pencapaiannya sejauh ini, juga Menunggu Pagi (2018) yang underrated, Teddy Soeriaatmadja, bersama sang istri, Raihaanun, melakoni debut horor mereka melalui Affliction, masing-masing sebagai sutradara/penulis naskah dan aktris. Debut yang sayangnya membuktikan kebenaran kalimat pembuka tulisan ini.
Raihaanun memerankan Nina, istri dari Hasan (Ibnu Jamil), seorang psikolog anak yang karirnya tengah meroket. Di awal film, kita menyaksikan Hasan sedang melatih presentasinya di depan cermin. "Jika anak tidak mendapat rasa kasih sayang orang tua dan mendapatkan perlindungan secara positif, maka dapat menimbulkan hal yang membahayakan bagi anak-anak di sekolah dan orang-orang di sekelilingnya", begitu petikan kalimat dari presentasi Hasan.
Ironisnya, akibat sibuk bekerja, Hasan justru jarang meluangkan waktu bagi kedua anaknya, Tasya (Tasya Putri) dan Ryan (Abiyyu Barakbah). Pun hubungan Hasan dengan sang bunda (Tutie Kirana) tidak berjalan baik. Bertahun-tahun ia tidak pulang, walau mengetahui bundanya mengidap alzheimer. Hingga datanglah Narsih (Dea Panendra) yang mengaku sebagai pengasuh Bunda, meminta Hasan secepatnya pulang karena kondisi Bunda makin memburuk.
Disokong penampilan mencekam Tutie Kirana, kita akan melihat kalau ada yang tidak beres dalam diri Bunda. Dia kerap berbicara dengan sosok tak terlihat, kepribadiannya bak dapat berubah sewaktu-waktu, dan puncaknya, menyakiti diri sendiri. Apakah itu gejala alzheimer biasa sebagaimana pernyataan Hasan, atau memang ada gangguan kekuatan lain? Tutie Kirana mampu dalam sekejap "mengubah wajah". Di satu kesempatan ia adalah ibu hangat nan murah senyum, lalu sedetik kemudian menjadi sosok penuh paranoid.
Walau tak diberi banyak kesempatan pamer kemampuan, debut horor Raihaanun pun berjalan baik, khsusunya melalui totalitas kala teror mulai menyerbu Nina sekeluarga. Begitu pula Ibnu Jamil. Biarpun di paruh kedua Hasan lebih banyak absen dari narasi, ia sanggup membuktikan kapasitasnya dengan tidak terjebak keklisean overacting pasca kemunculan sebuah twist.
Departemen akting memang paling berjasa menjaga daya tarik filmnya. Para pencari horor arus utama mungkin bakal kecewa mendapati pendekatan Affliction lebih kental unsur drama. Tentu bukan masalah selama terdapat elemen yang memunculkan rasa takut, entah dari atmosfer maupun dinamika psikologis. Affliction tidak memiliki semua itu. Kandungan misterinya bukan saja klise, pula tanpa dibangun secara layak sehingga gagal memancing rasa penasaran.
Gagasan besar ceritanya pun kurang jelas. Dinamika macam apa yang coba dibangun? Soal "kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang jalan", atau kritik perihal pola asuh? Jangan juga buat saya membahas bagaimana naskahnya menangani twist mengenai "ari kiba", kata-kata misterius yang kerap diucapkan Bunda. Alih-alih mengejutkan, jawaban yang ditawarkan justru terasa dipaksakan, konyol, dan terkesan mencurangi penonton.
Penyutradaraan Teddy tidak kalah lemah, dalam menangani beberapa teror yang kuantitasnya minim. Melihat pilihan shot, timing, juga mise-en-scène, tampak betul ia belum siap menangani horor. Apalagi trik-trik murahan seperti pemakaian efek suara berisik hingga false alarm masih dipakai, yang mana tidak sesuai dengan pendekatan filmnya yang berusaha tampil lebih "elegan". Beruntung, pacing penceritaan Teddy tatkala teror absen dari layar, masih nyaman diikuti. Penuh kesaraban, tanpa harus berlarut-larut. Sekali lagi membuktikan, bahwa Teddy Soeriaatmadja merupakan sutradara drama yang baik, namun horor adalah makhluk yang berbeda.
Available on NETFLIX
Kalau menurutku nggak jelek kok, masih layaklah untuk di tonton.
BalasHapusFilmnya sangat2 biasa, apalagi kalau sering lihat Thriller. Konsep Ari Kiba bener2 maksa.
BalasHapusNunggu review white tiger..
BalasHapus