Sobat Ambyar mungkin bukan tontonan keren bagi para cinephile pecinta
film yang “bagus-karena-tidak-semua-orang-bisa-menikmati”. Mereka mungkin
menyebut kisahnya cheesy dan romansanya dangkal. Tapi saya percaya,
mendiang Didi Kempot (juga bertindak selaku produser eksekutif) akan berbangga
hati, karena film ini sejalan dengan semangat yang selalu ia bawa sepanjang
karir legendarisnya. Dan sebagaimana mestinya suatu tribute, tak ada
pencapaian yang lebih tinggi daripada itu.
Di permukaan, film ini bak sekadar mengeksploitasi fenomena “Sobat
Ambyar”, yang membuat karya-karya Didi Kempot menjangkau telinga lebih banyak
pendengar selama beberapa tahun terakhir. Tapi mereka yang menaruh pandangan
sinis seperti itu, bahkan setelah menonton hasilnya, pasti bukan orang yang
sungguh-sungguh “mengenal” The Godfather of the Broken Hearted.
Alurnya mengenai Jatmiko (Bhisma Mulia), yang setelah
bertahun-tahun mengelola kafe bersama sahabatnya, Kopet (Erick Estrada), mulai
berpikir untuk gulung tikar akibat besarnya kerugian. Terlebih Jat (begitu ia
dipanggil), masih harus membiayai kuliah adiknya, Anjani (Sisca JKT48). Lalu
terjadilah pertemuan tak terduga dengan Saras (Denira Wiraguna). Meski awalnya
malu-malu, berkat kesempatan bernama “membantu mengerjakan skripsi”, Jat akhirnya
berhasil memacari Saras. Sampai bak petir di siang bolong, Saras meninggalkan
Jat demi pria lain. Dari situlah lagu-lagu milik Lord Didi mulai menemani
kegalauan hati Jat.
Saya tak bisa menyebut naskah buatan Bagus Bramanti dan Gea
Rexy (duet penulis Dear Nathan dan Yowis Ben) mengeksplorasi
dinamika percintaannya secara mendalam, namun fase manis hubungan Jatmiko-Saras
memang tampil menyenangkan, khususnya berkat dua pemain utama. Bhisma Mulia
sang debutan dengan puppy eyes, Denira yang memesona dan sesekali
bersikap flirty. Jatmiko bukan tipikal cowok keren, tapi bukan pula pecundang.
Bhisma membuat sikap penuh malu-malu serta kepolosan karakternya menjadi elemen
penunjang untuk melahirkan sosok likeable.
Alurnya sendiri ibarat fan service bagi para Sobat
Ambyar (yang juga merupakan nama fanbase Didi Kempot) yang gemar
meromantisasi getirnya patah hati. Dipenuhi situasi yang akan membuat mereka
merasa terwakili (beberapa adalah perwujudan dari lirik-lirik lagu sang
maestro), terlebih ketika kisah cinta tokoh utamanya mulai runtuh. Sayangnya
ada satu hal vital yang menghalangi dampak emosi pada konflik putus cintanya.
Benar bahwa Sobat Ambyar sengaja hadir hiperbolis di banyak aspek
termasuk romansa, tapi bukankah Saras terlalu tidak berperasaan dan kejam
hingga di titik mustahil terjadi? Bukan alasannya meninggalkan Jat, tetapi hal-hal
yang ia lakukan setelah itu.
Tentu saya paham, keputusan ini diambil mengingat para “pasukan
sakit hati” punya tendensi bersikap lebay dalam menyikapi putus cinta,
termasuk saat menganggap sosok yang meninggalkan mereka sebagai iblis keji. Tapi
di beberapa titik, cara naskahnya mengolah penokohan Saras terlampau
berlebihan, hingga melucuti kedekatan rasa terkait “kehilangan seseorang saat
sedang sayang-sayangnya”.
Tatkala eksekusi romansanya tidak begitu mulus, mengapa saya
menyebut film ini bakal membuat Didi Kempot bangga? Bukan cuma karena pemakaian
lagu-lagu beliau yang akan mendorong penonton untuk terus bertahan di depan
layar sampai kredit selesai bergulir, atau kemunculan singkat Lord Didi yang menimbulkan
rasa haru tersendiri, melainkan perihal semangat yang diusung.
Selain penghormatan bagi Didi Kempot, Sobat Ambyar juga
suatu penghormatan bagi unsur kedaerahan yang kerap dianggap norak, walau pada
kenyataannya, cenderung lebih bermakna, intim, dan mengandung nuansa
kekeluargaan hangat dibanding produk modern. Tengok saja perjalanan Jatmiko,
yang juga menyinggung soal bagaimana resep kopi tradisional warisan mendiang
orang tuanya, mengalahkan cita rasa kopi waralaba kekinian.
Silahkan lihat juga pemakaian Bahasa jawa di sini, yang bukan
logat medok murahan ala FTV. Di dalam pengadeganan mereka, Charles Gozali (Finding
Srimulat, Nada untuk Asa) dan Bagus Bramanti selaku duo sutradara, mampu
menyuntikkan semangat humor khas wong Jowo, yang sudah ditanamkan
sebagai pondasi oleh naskahnya. Kalimat dari mulut karakternya, bagaimana itu
diucapkan dan dalam situasi seperti apa, bagi orang Jawa seperti saya, terasa bak
cerminan keseharian. Berisik, bertenaga, tanpa “disaring”, dan sesekali
berlebihan. Rasanya seperti sedang berkumpul bersama teman-teman di angkringan
atau warung kopi (tentunya dengan penyesuaian agar tetap bisa dinikmati
penonton luas).
Terpenting, karena terjadi di sela-sela kegetiran percintaan,
komedinya menguatkan pesan soal “Mari tertawakan patah hati kita dan rayakan
ironi itu”, atau mengutip kalimat Lord Didi, “Dijogetin aja”. Jajaran aktornya
amat membantu, terutama Erick Estrada dan Asri Welas, yang sempurna menunjukkan
bagaimana memancing tawa dengan cara yang “sangat Jawa”. Penonton ibukota
mungkin tak tahu betapa pentingnya elemen tersebut, tapi bagi saya, yang sejak
kecil sudah familiar dengan lagu-lagu Didi Kempot, apa yang diberikan Sobat
Ambyar jelas patut diacungi jempol. Sugeng tindak Mas Didi, The
Godfather of the Broken Hearted.
Available on NETFLIX
Sisca disebut juga dong bang, di debutnya tampil bagus di sini. Jauh daripada member sebelah.
BalasHapusSependapat mas, sebagai salah satu sobat ambyar saya merasa bahwa melalui film ini Penonton (khususnya para sobat ambyar) diajak untuk merefleksikan kembali akan makna dari lagu-lagu sang maestro Alm pakde Didi yang membawa kesan bahwa walaupun perjuangan cinta memang unik bak rasa permen nano-nano namun kita harus mampu untuk berjuang dan bangkit kembali serta berdamai dengan diri sendiri ketika menghadapi konflik dalam kehidupan bercinta.
BalasHapusMemang bukan film yang bagus. Tapi film yang asyik untuk di nikmati
BalasHapusNasiiii Goreeennggg......
BalasHapusAwalnya gak mau nonton karena kukira cringe dan gak suka lagu2 Didi kempot tapi karena dapat ulasan bagus di blog ini, jadi mau nonton
BalasHapus