08/01/21

REVIEW - WOLFWALKERS

0 View

This wild land must be civilized”, seru Oliver Cromwell (Simon McBurney) sang Lord Protector, yang memimpin “misi suci” Kerajaan Inggris untuk “memajukan” kehidupan masyarakat Irlandia. Kalimat di atas kerap terlontar dari mulut para penjajah dan SJW ibukota yang merasa semua orang desa bodoh. Sebuah bentuk arogansi manusia, yang menganggap diri mereka lebih baik dan mulia. Di Wolfwalkers, manusia berbondong-bondong menghabisi serigala, berasumsi seluruh hewan buas itu berbahaya sehingga wajib dimusnahkan. Padahal dengan begitu, manusialah hewan buas sesungguhnya.

Naskah buatan Will Collins (Song of the Sea) mengambil beberapa elemen sejarah, khususnya soal pembasmian serigala-serigala di Irlandia pada masa kepemimpinan Cromwell, kemudian menyuntikkan elemen fantasi ke dalamnya. Protagonisnya bernama Robyn Goodfellowe (Honor Kneafsey), puteri Bill Goodfellowe (Sean Bean), yang ditugasi memburu serigala. Robyn pun awalnya terobsesi mengikuti jejak sang ayah, sampai ia bertemu sesosok wolfwalker di tengah hutan, yang selama ini hanya dianggap sebagai legenda.

Nama wolfwalker itu adalah Mebh Óg MacTíre (Eva Whittaker). Bukan cuma pemimpin kawanan, Mebh juga mampu berubah menjadi seekor serigala saat tidur, pula menyembuhkan luka. Keduanya semakin akrab, dan bagi Robyn, persahabatan dengan Mebh membuatnya belajar melihat sesuatu dari perspektif berbeda. Dia mulai menyadari bahwa berkebalikan dengan pemikirannya selama ini, serigala bukanlah ancaman. Justru ancaman sesungguhnya adalah manusia, yang menghancurkan lingkungan dan merampas rumah makhluk hidup lain (baik hewan maupun sesama manusia).

Wolfwalkers memang bicara soal perspektif. Tidak hanya dalam persoalan environmentalisme, juga terkait hubungan ayah-anak. Robyn menginginkan kebebasan, namun sang ayah melarang, menyuruhnya tinggal di rumah, lalu bekerja di dapur sebagaimana diperintahkan Cromwell. “it’s for your own good”. Kalimat itu sering terlontar dari mulut ayahnya. Tapi nantinya, sewaktu amarah Mebh tersulut dan berniat menyerang manusia, Robyn pun mengucapkan kalimat serupa.

Pernah berada di posisi “korban”, Robyn tahu, betapa mengatasnamakan “kebaikan orang lain” untuk perbuatan diri sendiri merupakan kekeliruan. Tapi setelah menjadi “pelaku”, ia menyadari bahwa kekeliruan tersebut didasari kepedulian alih-alih ego personal. Hanya saja, cara mengekspresikan kepedulian itu tidak tepat. Dari sini, Wolfwalkers mengajak penontonnya agar dapat lebih bijak menyikapi persoalan.

Diproduksi oleh Cartoon Saloon yang telah melahirkan judul-judul macam The Secret of Kells (2009), Song of the Sea (2014), dan The Breadwinner (2017), bisa dipastikan Wolfwalkers mempunyai visual memukau. Apalagi sang co-founder yang sebelumnya membidani dua film perdana Cartoon Saloon, Tomm Moore, kembali duduk di kursi penyutradaraan, kali ini bersama Ross Stewart.

Sesuai dengan tema cerita, visualnya bak versi hidup (dan dengan goresan lebih modern) dari lukisan-lukisan di pahatan kayu dari masa lampau. Nuansa yang diperkuat lewat barisan musik folk buatan Bruno Coulais dan grup musik Kíla. Pun tiap kisahnya menyentuh ranah fantasi, kedua sutradaranya selalu berhasil mewujudkan rangkaian pemandangan sarat kajaiban. Ada dua sekuen favorit saya. Pertama, montage saat Robyn dan Mebh berlari bersama kawanan serigala melintasi hutan, sementara versi baru dari lagu Running with the Wolves milik Aurora diperdengarkan. Kedua, momen jelang akhir tatkala semua karakter bersatu membentuk lingkaran. Begitu indah hingga bisa menyentuh rasa, juga menutupi fakta, bahwa keseluruhan kisahnya tergolong formulaik.


Available on APPLE TV+

Tidak ada komentar :

Comment Page:

Posting Komentar