05/02/21

REVIEW - THE LITTLE THINGS

0 View

The Little Things bukan film yang bagus, terlepas dari usaha membangkitkan thriller bertema police procedural, yang pada medio 90an sempat marak mengisi layar lebar, dan kini malah jadi sajian alternatif di televisi melalui True Detective hingga Mindhunter. Ditambah saat lahir komparasi dengan Se7en (1995), yang notabene salah satu judul terbaik dari subgenre tersebut. Apakah ini satu dari sekian banyak copycat karya David Fincher itu patut diperdebatkan, mengingat draft pertamanya dibuat oleh John Lee Hancock (The Blind Side, Saving Mr. Banks, The Founder) pada 1993. Nama-nama seperti Steven Spielberg, Clint Eastwood, hingga Warren Beatty sempat dikaitkan, sebelum akhirnya kursi sutradara diisi oleh Hancock sendiri.

Di internet, saya banyak menemukan diskusi terkait ending film ini. Diramaikan oleh mereka yang mengklaim sebagai "penggemar Se7en", dan hampir semua mencuatkan pertanyaan, "Siapa pembunuh sebenarnya?". Padahal substansi mendasar Se7en bukan soal "siapa". Mungkin kelangkaan produk membuat penonton lupa akan esensi film berjenis ini. Sayangnya The Little Things tak cukup mumpuni untuk dapat mengembalikan ingatan itu, apalagi membangkitkan popularitas subgenrenya. 

Joe Deacon (Denzel Washington), wakil sheriff dari Kern County, ditugaskan menyambangi markas kepolisian Los Angeles, guna mengumpulkan barang bukti suatu kasus pembunuhan. Dahulu Deacon merupakan detektif di sana, sebelum dipindahkan akibat obsesi berlebih terhadap sebuah kasus. Disambutlah ia oleh detektif Jim Baxter (Rami Malek), yang mengajak Deacon ke TKP sebuah pembunuhan. Tidak butuh waktu lama bagi Deacon untuk menyadari, bahwa modus operandi si pelaku memiliki kemiripan dengan kasus yang dulu gagal ia pecahkan. 

Apa yang mengakibatkan The Little Things tampak inferior dibanding Se7en? Tidak usah dulu membahas subteks, karena yang paling terasa adalah perihal intensitas. Sekali lagi, Se7en bukanlah soal "siapa", dan modus operandi unik John Doe (Kevin Spacey) membuat penonton tidak menomorsatukan identitas pelaku, melainkan "kenapa". Investigasi berjalan menarik berkat lika-liku yang kaya, serta tidak terbatasnya posibilitas jawaban. 

Di sini, penyelidikan Deacon dan Baxter berlangsung membosankan, karena meski golnya bukan menerka identitas, naskah buatan Hancock gagal memancing ketertarikan penonton guna mencari tahu lebih dari itu, di tengah rangkaian prosedur yang entah sudah berapa ribu kali dimunculkan dalam film. Mayat pertama ditemukan. Diyakini, beberapa hari setelah melangsungkan aksinya, si pelaku kembali, hanya untuk mengubah posisi korban. Fakta berikutnya menyusul: seluruh korban adalah PSK. Kenapa? Diduga motifnya adalah pemuasan hasrat seksual. Titik. Tiada lagi misteri. 

Daya tarik baru meningkat begitu Albert Sparma (Jared Leto) muncul. Deacon dan Baxter yakin ialah sang pembunuh. Sosok Sparma memang seolah meneriakkan "I'm the weird pervert killer!". Lagi-lagi Leto tampil eksentrik. Matanya kosong, cara berjalannya aneh. Perangai yang sekali lagi bakal memunculkan pro-kontra, tapi bagi saya, kali ini keanehan Leto tepat guna. Sparma harus tampak creepy, dan ia menampilkan itu (nominasi Golden Globe dan SAG Awards melambungkan peluangnya di Oscar). 

Keeksentrikan Leto berpadu sempurna dengan Denzel Washington, yang selalu membuat saya percaya bahwa ia benar-benar merasakan apa yang karakternya rasakan, dalam penampilan yang mendefinisikan kompleksitas dari realisme. Di realita, saat seseorang marah, ia tidak melulu berteriak. Demikian pula Denzel. Dia sesekali tersenyum, tertawa, menekankan ironi dari kegetiran. Tidak banyak penampil sepertinya, yang sanggup menyulap "obrolan" dengan mayat (yang di atas kertas bagai pemaksaan dramatisasi konyol), menjadi perenungan menyakitkan, tentang tragedi saat remaja, yang semestinya berkesempatan menikmati masa-masa emas, malah kehilangan nyawa terlalu cepat.

Terkait akting, rasanya saya punya opini yang berbeda dengan kebanyakan penonton. Malek paling janggal. Di awal kemunculannya, Baxter cukup eksentrik, bak sosok berdarah dingin yang takkan mengejutkan bila akhirnya terungkap sebagai pembunuh sebenarnya (tenang, ini bukan spoiler). Barulah memasuki pertengahan durasi, ia menjadi lebih manusiawi. Belum tentu ini sepenuhnya kesalahan Malek. Bisa jadi, inilah intensi Hancock untuk memperkuat pesannya. Terkesan janggal akibat naskah yang lemah dalam mengeksplorasi proses psikis karakter, sehingga perubahannya terasa mendadak.

Pesan apa yang coba Hancock sampaikan? Sekali lagi, tidak jauh beda dengan Se7en, yakni sebuah nihilis, di mana dunia begitu kelam akibat "God is a long past giving shit". Seperti Morgan Freeman, Denzel melontarkan kalimat pesimistis, mengenai bagaimana investigasi polisi sekadar formalitas, alih-alih perjuangan memperbaiki keadaan. Sebaliknya, serupa Brad Pitt, Malek memerankan figur yang meyakini peluangnya mengangkangi kejahatan. Metode yang dipakai kedua film juga mirip, tatkala di pertengahan, duet diubah menjadi trio. Saat itulah si buruan memegang kendali atas pemburunya, menyeretnya ke dalam jurang tak berujung.

Dibarengi musik intens garapan Thomas Newman, babak ketiganya tersaji menegangkan, penuh penantian sekaligus harapan bahwa cahaya akan muncul. Tapi rupanya harapan itu semu. Itulah mengapa jangan mengharapkan kejelasan soal identitas sang pembunuh. Di dunia nihilis, tidak ada satu pun kepastian, selain kegelapan tanpa akhir.


Available on HBO MAX

6 komentar :

  1. Endingnya memang cukup ambigu...
    Sempat nyari2 juga review dan artikel untuk penjelasan endingnya...
    Dan banyak teori yg bersliweran tentang endingnya,Intinya di kembalikan ke persepsi kita sebagai penonton...!

    BalasHapus
  2. Thanks mas rasyid udah di review film ini...klimaksnya gantung bgt, poinnya apa yaa? Hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tuh intinya ada di 2 paragraf terakhir (dan di paragraf-paragraf sebelumnya). Intinya bukan di "siapa"

      Hapus
  3. Film yang sangat saya suka

    BalasHapus
  4. IMHO, film denzel yg terburuk mungkin. klo liat tema nya harusnya bisa keren atau melebihi se7en melihat dari jajaran cast nya. tp ternyata potensi denzel, jared, dan rami di sia2kan. misscasting jg mungkin ya buat peran rami malek, ga cocok bgt. 2 jam yg tanpa greget....

    BalasHapus
  5. Rami malek serasa Miss cast wkwk. Untung ada Daddy Denzel 😀

    BalasHapus