Film biografi mengenai pentolan Black Panther Party yang diproduseri oleh sutradara Black Panther sekaligus dibintangi oleh aktor peraih nominasi Oscar. Terdengar seperti proyek primadona Hollywood bukan? Sebuah "Oscar bait". Begitu pikir Shaka King, selaku sutradara sekaligus penulis naskah (bersama Will Berson) film ini. Saya pun berpikir demikian. Rupanya tidak.
Forest Whitaker dan Antoine Fuqua pernah coba mengangkat kisah hidup Fred Hampton. Proyek itu tak terealisasi. Duo komedian Lucas Bersaudara (Kenny Lucas dan Keith Lucas) juga sempat melempar ide serupa ke Netflix dan A24. Semua menolak. Sebelum akhirnya Judas and the Black Messiah terealisasi, itu pun pasca melalui berbagai penolakan. Mengapa pada era di mana film superhero kulit hitam meraup milyaran dollar, serta black movies kerap berjaya di ajang penghargaan, Hollywood tetap memalingkan wajah dari kehidupan Fred Hampton?
Tentu jawabannya adalah "propaganda". Tanyakan pada orang non-kulit hitam mengenai Black Panther Party, besar kemungkinan, mayoritas mengasosiasikan organisasi tersebut dengan radikalisme. Bisa kita lihat di film ini, bagaimana direktur FBI, J. Edgar Hoover (Martin Sheen), mencap mereka sebagai teroris. Sementara bawahannya, Roy Mitchell (Jesse Plemons), menyamakan Black Panther dengan Ku Klux Klan. Itulah mengapa kemunculan Judas and the Black Messiah teramat penting, guna mengenalkan wajah asli Black Panther Parthym, khususnya Fred Hampton, kepada dunia.
Fred (Daniel Kaluuya) adalah sang "Black Messiah" sebagaimana dirujuk oleh judulnya. Seorang pemuda ketua Black Panther Party cabang Illinois. Sosoknya dikenal sebagai orator hebat yang mampu menggerakkan api perjuangan massa. Tidak heran, sebab ia hafal deretan pidato-pidato Malcolm X di luar kepala. Sedangkan Yudas yang dimaksud adalah William "Bill" O'Neal (Lakeith Stanfield), yang ditangkap akibat tindak pencurian mobil. Melalui Mitchell, pihak FBI memberi tawaran. Jika Bill ingin bebas, dia harus menyusup ke dalam Black Panther Illinois.
Penyamaran bukan hal asing bagi Bill, yang tiap menjalankan aksinya, mengaku sebagai anggota FBI menggunakan lencana palsu. Kenapa perlu repot-repot memalsukan identitas? Bukankah cukup bermodal senjata api, perampokan dapat dilakukan? "Badge is scarier than gun", ungkapnya. Kalimat itu sempurna merangkum isu rasisme filmnya. Bahkan hingga kini, lencana kepolisian lebih berpotensi membawa maut bagi orang kulit hitam ketimbang pistol. Dan di mana pun, golongan "orang-orang berseragam" ini memang punya tendensi besar menyalahgunakan otoritas mereka.
Awalnya Bill tidak keberatan (afterall, he was a bad guy who stole from his own people by dressing as "pig"). Hingga kemudian muncul dilema. Fred beserta anggota Black Panther lain menerimanya. Bahkan Bill naik pangkat menjadi ketua bagian keamanan. Di lain pihak, Mitchell pun memperlakukannya dengan baik, memberinya bayaran cukup tinggi (total dia menerima sekitar $200 ribu), pun mengajak Bill makan malam di rumahnya.
Stainfeld membuat kita bersimpati kepada Bill. Ya, ia seorang "tikus mata-mata", namun Bill pun seorang korban, yang dijadikan pion belaka. Tapi kenapa filmnya mengambil sudut pandang sang pengkhianat guna menuturkan kisah Fred Hampton? Di versi awal, Will Berson menjuduli naskahnya The Assassination of Chairman Fred Hampton by the Closet Queen Mulatto Edgar Hoover. Karena sama seperti The Assassination of Jesse James by the Coward Robert Ford (2007) karya Andrew Dominik, film ini memperlihatkan bagaimana si pengkhianat, sepanjang proses penyusupannya, mengenali targetnya.
Judas and the Black Messiah bak proses belajar orang luar mengenai Fred Hampton. Sebagaimana banyak dari penonton, awalnya Bill mengenal Fred lewat propaganda kulit putih pembencinya. Bill adalah penonton, yang pelan-pelan mengetahui, bahwa fakta di lapangan, berbanding terbalik dengan apa yang diajarkan. Ketimbang memecah belah Fred malah menyatukan, khususnya saat mencetuskan Rainbow Coalition, sebuah gerakan multikultural bersama Crowns (organisasi kulit hitam selain Black Panther), Young Lords (beranggotakan orang Puerto Rico), dan Young Patriots, yang meski memasang bendera Konfederasi, sejatinya merupakan kelompok sayap kiri pembela hak imigran.
Kaluuya tampil berwibawa, menghidupkan api dalam diri Fred Hampton. Tiap orasinya melontarkan kobaran semangat perjuangan, namun tak lupa, matanya memancarkan ketulusan. Ketulusan yang berasal dari rasa percaya terhadap people power. Menyaksikan Kaluuya, anda akan meyakini kemampuan Fred Hampton menyatukan publik melalui ucapannya. Di beberapa kesempatan, Shaka King selaku sutradara menggunakan low-angle guna menangkap akting Kaluuya, menguatkan kesan mythical dan powerful karakternya.
Dibantu iringan musik bernuansa jazz garapan Mark Isham dan Craig Harris, di mana keteraturan isian ritmik dapat sewaktu-waktu bertransformasi menjadi keliaran, King membangun intensitas yang terjaga rapi selama kurang lebih 126 menit durasinya. Keputusan berfokus pada wajah kekasih Fred, Deborah Johnson (Dominique Fishback), melalui close-up shot, guna menggambarkan tragedi yang kita semua tahu bakal terjadi, turut membuktikan sensitivitas sang sutradara. Deborah nampak tertegun. Tapi air mata tidak sedikitpun mengalir. Menandakan penolakan memadamkan api revolusi.
Available on HBO MAX
keren,tapi bang kenapa filmnya masuk kategori "sangat bagus". belum nonton sih tapi kalau dari review harusnya masuk "bagus" aja.apa ada yang istimewa dalam filmnya selain tentang perjuangan kulit hitam.
BalasHapusGimana film ini berani & berhasil kasih lihat realita yang 180 derajat dari propaganda itu udah cukup buat naikkin nilai
HapusAKTINGNYA SUPER wkwkwk
BalasHapus"I'M HIGH....I'M HIGH....HIGH HIGH HIGH HIGH"
cengo aja pas di scene itu terharu
Warbyasa Kaluuya di situ 👍
HapusBisa masuk frontrunner Best Picture kira2, Bang? Saingannya Nomadland, Trial of Chicago & Minari?
BalasHapusNominasi kemungkinan dapet. Tapi kalo menang hampir mustahil. Nomadland vs Chicago 7 ini. Minari masih bisa bersaing.
Hapusbang review better days dong tuh dapet nominasi best international film oscar.saya pikir a sun yang akan dapet tapi malah better days.pengen tahu sebagus apa filmnya?
BalasHapus