22/03/21

REVIEW - NOTTURNO

0 View

Notturno dibuka oleh keheningan, tatkala langit fajar masih belum diterangi cahaya matahari. Kemudian derap sepatu sepasukan tentara yang tengah berlari, memecah keheningan. Lalu kembali sunyi, sebelum rombongan tentara berikutnya menyusul. Begitu seterusnya. Kesunyian memang erat menemani dokumenter garapan sutradara Gianfranco Rosi (Fire at Sea) ini, yang mewakili Italia di Academy Awards 2021, meski akhirnya gagal meraih nominasi.

Keheningan lain adalah saat Rosi mengikuti perahu seorang pemburu bebek melintasi rawa-rawa gelap. Sampai di satu titik, langit dan perairan berubah warna menjadi jingga. Apakah matahari sudah mulai terbit? Saya kira demikian, hingga sayup-sayup terdengar suara peluru. Rupanya warna tadi ditimbulkan oleh kebakaran akibat pecahnya baku tembak. Keheningan di Notturno terkadang bak kedamaian, namun sejatinya, itu adalah sisa-sisa duka dan trauma dalam wujud berbeda.

Melakukan pengambilan gambar selama sekitar tiga tahun, Rosi menyoroti keseharian warga Suriah, Irak, dan Lebanon, yang tinggal di dekat zona peperangan. Diperlihatkan bagaimana mereka berusaha menjalani kehidupan sehari-hari secara normal. Tapi setelah beragam teror mencekam (termasuk dari ISIS) bertahun-tahun, "hidup normal" menjadi sebuah kemewahan yang nyaris mustahil terbeli.

Dari obrolan beberapa tentara, kita mendengar ISIS sudah hampir menyerah. Pun selain sekilas suara tembakan, kita tidak pernah melihat perang secara langsung. Karena bukan perang itu sendiri yang Rosi ingin perlihatkan, melainkan luka-luka batin yang tersisa. Walau bukan sesuatu yang kasat mata, hal itu terasa betul menghantui sepanjang film. 

Nyaris tidak ada alunan musik. Bahkan interaksi verbal ditekan seminimal mungkin, dan baru terdengar bila sebuah situasi mustahil terjadi tanpanya. Misal konseling yang dilakukan seorang guru kepada bocah-bocah, yang diminta menggambar pengalaman mereka selama ISIS menancapkan kukunya. Bocah-bocah ini berbicara kasual, mendeskripsikan siksaan fisik maupun psikis (ada yang dipukuli, ada yang menyaksikan pemenggalan, dan lain-lain), seolah semua itu merupakan rutinitas. Memilukan.

Bukan cumam menyutradarai, Rosi juga menangani departemen suara, pula sinematografi, yang diisi gambar-gambar indah. Di balik keindahan tersebut, tersimpan suasana "dingin" yang mewakili luka manusia-manusianya. Tapi pengarahan Rosi juga memunculkan kejanggalan. Banyak momen terkesan direkayasa (staged). Tentu tidak ada dokumenter yang nihil campur tangan sineasnya, sekalipun mengusung gaya-gaya seperti fly on the wall, observasional, atau cinéma vérité. Namun jadi masalah ketika "rekayasa" itu memancing distraksi.

Salah satunya soal kadar keheningan yang terlampau mendominasi, sehingga malah menjauhkan nuansa realisme. Di sisi lain, caranya merekonstruksi narasi berjasa melahirkan momen-momen heartbreaking. Dua yang paling menonjol sama-sama menyoroti duka seorang ibu. Ibu pertama tengah meratap di penjara tempat anaknya (dan ribuan orang Kurdi lain) tewas setelah mengalami penyiksaan, sedangkan ibu berikutnya, memperdengarkan pesan suara puterinya, yang jadi korban penculikan ISIS. 

Bagi banyak penonton, Notturno mungkin bukan dokumenter yang bersahabat akibat ketiadaan figur sentral. Individu datang dan pergi, tanpa ada yang benar-benar kita kenal, kecuali wujud duka yang mereka alami. Pilihan ini bukannya tanpa tujuan. Rosi tidak sedang menuturkan kisah perseorangan, melainkan pengalaman kolektif. Cenderung sulit memunculkan keterikatan rasa? Betul, namun setidaknya, Notturno memberi inovasi, khususnya bagi penonton yang semakin lelah dengan teknik talking head dalam dokumenter konvensional.


Available on HULU

Tidak ada komentar :

Comment Page:

Posting Komentar