31/03/21

REVIEW - SLAXX

0 View

Menampilkan celana jeans pembunuh, Slaxx mengusung semangat yang sama dengan judul-judul seperti Little Shop of Horrors (1986), Evil Bong (2006), hingga Rubber (2010). Sebuah horor-komedi kelas B, yang semakin bersinar justru seiring bertambahnya kebodohan film. Kali ini latarnya adalah dunia industri fashion, yang sudah menjadi rahasia umum, bahwa di balik keglamorannya, selalu menyimpan sisi kelam.

Libby (Romane Denis) begitu antusias menyambut hari pertamanya bekerja di perusahaan pakaian Canadian Cotton Clothier (CCC). Kekagumannya terhadap sang pimpinan, Harold Landsgrove (Stephen Bogaert), yang selalu menegaskan, bahwa CCC menentang eksploitasi pekerja, pemakaian buruh anak, serta penggunaan GMO dalam pembuatan produk. Identitas sempurna bagi perusahaan yang tumbuh di antara woke generation.

Para karyawan dipanggil "CCC Family", tempat kerja disebut "ekosistem", Craig (Brett Donahue) selaku manajer nampak ramah dengan senyum yang tak pernah luntur. Semuanya sempurna. Tapi Libby terlalu bersemangat untuk menyadari, bahwa suatu hal yang terlihat sempurna justru patut dicurigai. Sampai produk terbaru mereka, "super shapers", celana jeans berbahan revolusioner yang bisa menyesuaikan ukuran tubuh pemakainya, hidup dan mulai melakukan pembantaian.

Malam itu jadi panggung yang pas bagi aksi pembunuhan, karena seluruh karyawan tengah menjalani lockdown dalam toko, guna mempersiapkan acara peluncuran super shapers keesokan paginya. Libby dan Craig jadi yang pertama menemukan mayat salah satu karyawan, yang teronggok di toilet dengan tubuh terbelah dua dan isi perut berceceran. Libby hendak melapor ke polisi, tapi Craig melarang. Pertama, lockdown tak memungkinkan mereka menghubungi pihak luar. Kedua, Craig tidak mau merusak acara peluncuran, agar menjaga peluangnya menerima promosi.

Ya, walau satu nyawa sudah melayang, semua pekerjaan mesti berjalan normal, senada dengan isu soal keengganan perusahaan memedulikan kesejahteraan karyawan. Sutradara Elza Kephart, yang menulis naskahnya bersama Patricia Gomez, memang sengaja menjadikan Slaxx sebuah satir. Rasisme, Kapitalisme, eksploitasi industri fashion terhadap tenaga kerja, semua disentil, meski sayangnya secara kurang tajam. Pun humornya, seperti ketika Libby membahas lagu Hamara India dengan Shruti (Sehar Bhojani), tak seberapa efektif memancing tawa. Klise. Sindiran bagi casual racism, dalam bentuk yang sudah berulang kali diterapkan oleh komedi lain, dengan banyak di antaranya memiliki presentasi lebih baik.

Alurnya bergerak repetitif di awal. Seorang karakter diam-diam memakai super shapers (entah keinginan pribadi atau akibat kendali hipnotis celana tersebut), tewas dibantai, kemudian filmnya mengulangi pola itu dengan karakter lain. Barulah ketika eksistensi celana pembunuh itu diketahui semua orang, kegilaan meningkat, dan Slaxx tampil (sedikit) lebih variatif. Durasi 76 menit dimanfaatkan maksimal tanpa ada momen terbuang, termasuk meniadakan elemen pengulur waktu, misalnya figur skeptis yang meragukan keberadaan celana jeans pembunuh.

Selain brutal, metode membunuhnya pun cukup variatif, sama kreatifnya dengan bagaimana Kephart memvisualkan super shapers, yang terkadang nampak bak seekor ular raksasa kala sedang menikmati darah korban. Ya, selain membunuh, celana jeans ini juga meminum darah. Semakin banyak darah diminum, logo di bagian belakang celana, berubah warna dari kuning menjadi merah. Entah kenapa. Hal ini tak pernah dijelaskan. Puncaknya antiklimaks, kurang memaksimalkan potensi membanjiri layar dengan darah, namun tak sampai menghapus fakta bahwa Slaxx merupakan hiburan konyol yang menyenangkan.


Available on SHUDDER

Tidak ada komentar :

Comment Page:

Posting Komentar