Saya tidak perlu menjelaskan panjang lebar mengenai bagaimana pergerakan #ReleaseTheSnyderCut berhasil merealisasikan apa yang sebelumnya nampak mustahil. Tapi saya perlu menegaskan, bahwa Zack Snyder's Justice League jauh lebih baik, sekaligus film yang "berbeda" dibanding versi Joss Whedon (saya termasuk sebagian kecil penonton yang cukup menikmatinya).
Kata "berbeda" di sini punya definisi yang tak sederhana. Garis besar alurnya masih sama. Bruce Wayne / Batman (Ben Affleck) membentuk tim metahuman yang terdiri dari Diana Prince / Wonder Woman (Gal Gadot), Arthur Curry / Aquaman (Jason Momoa), Barry Allen / The Flash (Ezra Miller), dan Victor Stone / Cyborg (Ray Fisher), guna menghadapi Steppenwolf (Ciarรกn Hinds), yang bersama pasukan Parademons miliknya, berusaha mengumpulkan tiga Mother Boxes. Merasa tak cukup kuat, para superhero memutuskan untuk menghidupkan kembali Clark Kent / Superman (Henry Cavill).
Gagasan dasarnya serupa, namun pengembangannya berbeda. Konon cuma 20% dari versi bioskopnya yang merupakan hasil karya Snyder. Sedangkan 80% sisanya adalah footage baru ditambah modifikasi konsep lama. Sebelum menontonnya, saya termasuk kalangan yang menganggap pernyataan di atas hanya strategi marketing belaka. Sungguh saya keliru. Begitu menyaksikan Snyder Cut, saya bertanya-tanya, bagaimana mungkin jajaran eksekutif Warner Bros. menonton ini, kemudian berujar, "Film ini buruk dan terlalu gelap. Mari buat versi lebih ringan dengan kisah lebih sederhana"?
Tanpa campur tangan Whedon pun, film ini jauh lebih ringan dari Batman v Superman: Dawn of Justice berkat beberapa sentuhan humor, meski masih seperti biasa, Snyder bukan sutradara yang piawai soal comic timing. Soal durasi yang mencapai empat jam (tepatnya 242 menit, dibagi dalam enam babak plus epilog), saya yakin, bila dahulu berkesempatan menyelesaikan visi aslinya, Snyder takkan merilis film sepanjang itu, walau tentunya bakal lebih dari dua jam sebagaimana mandat Warner Bros. (durasi tiga jam seperti Avengers: Endgame rasanya masuk akal).
Versi ini mencapai empat jam karena Snyder tidak harus menerapkan asas kill your darlings (menghapus bagian-bagian yang dirasa kurang penting, seberapa pun sang pembuat karya mencintainya). Biarpun tidak lebih dari lima menit, turut terdapat adegan baru. Menurut Snyder, "adegan Knightmare" di mana Joker (Jared Leto) dan Batman bertemu, merupakan satu-satunya tambahan, namun saya cukup meyakini, momen penutupnya, tatkala Bruce disambangi oleh cameo salah satu karakter, baru diambil belakangan, mengacu pada konsep cerita dua sekuel Justice League yang tak menyertakan karakter itu, ditambah massa otot Ben Affleck yang berkurang. Harus diakui, beberapa update tersebut adalah wujud fan service menyenangkan, yang memancing rasa penasaran terhadap kelanjutan kisahnya (kini pergerakan RestoreTheSnyderVerse mulai bergema).
Di luar itu, perbedaan mendasar sudah nampak sejak menit pertama. Momen saat Batman memancing Parademon menggunakan ketakutan seorang pencuri hilang. Bahkan di sini, modus operandi Parademons bukanlah mencium aroma rasa takut, yang otomatis mengubah cara membunuh Steppenwolf. Sebagai gantinya, kita menyaksikan lagi kematian Superman, di mana teriakannya menciptakan gelombang suara begitu kuat, hingga mencapai Atlantis dan Themyscira, yang makin menegaskan bagaimana tragedi itu berdampak luar biasa.
Kemudian Steppenwolf memulai invasinya, dan semakin kentara superioritas Snyder Cut. Tengok pertempuran di Themyscira. Versi Whedon berlangsung cuma lima menit, sedangkan versi Snyder hingga sekitar 10-11 menit. Whedon yang menyebut dirinya feminis, rupanya tidak sehebat Snyder perihal menunjukkan kehebatan prajurit wanita Amazon, yang dengan lantang berteriak, "We have no fear!" kepada Steppenwolf. Dan sungguh Snyder memperlihatkan ketiadaan rasa takut mereka, melalui pertempuran dahsyat yang juga mengandung bobot emosional lebih. Ketimbang sekadar membuat Steppenwolf menerobos keluar dari kuil penyimpanan Mother Box, di sini kuil itu ditenggelamkan bersama puluhan prajurit Amazon. Bukan sebatas tragedi, melainkan pengorbanan berbasis kepahlawanan.
Kesan di atas makin kentara, lewat bertambahnya unsur kekerasan. Zack Snyder's Justice memang mendapat rating R karena beberapa cipratan darah, yang meski tak sampai membuat filmnya layak dicap "gory", terbukti meningkatkan dampak adegan aksi, bahkan di saat kelemahan CGI masih terasa di sana-sini. Musik gubahan Tom Holkenborg a.k.a. Junkie XL terdengar menggelegar, menambah nuansa epik, yang tak dimiliki buatan Danny Elfman. Bukan berarti hasil karya Elfman buruk, hanya saja, bukan iringan yang pas guna membungkus aksi masif para dewa. Begitu pula rasio aspek 4:3 khas IMAX, sehingga jajaran superhero-nya tampak bak dewa-dewa agung yang berdiri di tengah umat manusia.
Naskah Chris Terrio juga terkatrol kualitasnya, baik soal penokohan maupun penceritaan. Saya mengeluhkan bagaimana Batman v Superman: Dawn of Justice dan Justice League membuat salah satu superhero paling badass sepanjang masa terlihat bak pecundang di hadapan lawan (serta kawan) berkekuatan super. Kali ini, Snyder dan Terrio sanggup menjadikan Batman jauh lebih berguna, tanpa mengsampingkan fakta bahwa ia manusia biasa. Berkat teknologi serta kepintarannya, jangankan melawan Parademons, Batman bisa menahan mata laser Superman, walau cuma sementara.
Saya bukan penggemar Affleck kala ia mengenakan mantel Batman, namun sebagai Bruce Wayne, ia salah satu yang terbaik (bagi saya, cuma kalah dari Michael Keaton). Penokohan Bruce lebih konsisten, betul-betul memperlihatkan proses perubahannya, dari figur paranoid di Batman v Superman: Dawn of Justice, menjadi, well, paranoid yang lebih memiliki harapan, serta mulai bersedia menaruh kepercayaan terhadap orang lain.
Cyborg jauh lebih berkembang lagi. Penonton diajak mempelajari betapa luar biasa potensi kekuatannya (penutup trilogi Justice League berencana menjadikannya semacam "dewa teknologi"), pula lebih terikat secara emosional, terkait konflik batin Victor. Kita tahu mengapa ia begitu membenci sang ayah (Joe Morton), mengapa proses tranformasinya begitu memilukan, pun konklusi hubungan ayah-anak tersebut berbeda. Lebih emosional, yang memungkinkan Fisher memberi performa dramatik solid.
Meski tak sampai meningkatkan kelasnya di jajaran villain film superhero secara signifikan, Steppenwolf tak luput diberi bobot lebih, sebagai pelayan Darkseid (Ray Porter) yang pernah berkhianat, dan tengah berusaha mengembalikan kepercayaan tuannya. Semua terjadi, sebab Snyder benar-benar peduli dan mengenal karakter-karakternya. Alhasil pengarahannya juga sarat sensitivitas, walau dalam bentuk dramatisasi penuh gerak lambat plus musik folk/rock, yang bagi sebagian penonton mungkin dianggap berlebihan. Aksi Barry menyelamatkan Iris (Kiersey Clemons) diiringi lagu Song to the Siren adalah peristiwa "cinta pada pandangan pertama" yang cheesy tetapi manis, sedangkan Distant Sky milik Nick Cave menemani rutinitas Lois Lane (Amy Adams) membeli kopi di pagi hari. Perlukah? Mungkin tidak, tapi bukankah sewaktu patah hati, dirundung duka akibat kehilangan, merindukan seseorang, atau malah gabungan ketiganya, hidup kita memang bagai berada dalam gerak lambat, yang makin terasa "nikmat" jika ditemani rintik hujan dan lagu-lagu sendu?
Kalau anda seperti saya, yang mempertanyakan cara kerja Mother Boxes di versi bioskop, maka film ini muncul dengan jawaban. Daripada perdebatan mengenai etika yang tak lebih dari versi medioker dari pertengkaran Avengers di The Avengers, "rapat perdana" Justice League berisikan eksposisi tentang itu, sekaligus penjelasan mengapa Superman menjadi individu berbeda ketika dibangkitkan lagi. Lalu saat ingatannya kembali, terdapat penjelasan lebih nyata sekaligus heartful, yang makin emosional berkat What Are You Going to Do When You Are Not Saving the World buatan Hans Zimmer.
Superioritas Zack Snyder's Justice League makin tidak bisa disangkal begitu mencapai klimaks. Salah satu alasan saya menyukai Justice League adalah kembalinya Superman sebagai beacon of hope, dan nyatanya, Snyder melakukan hal serupa secara lebih baik. Mengenakan kostum hitamnya, Superman muncul, mengucapkan kalimat paling badass sepanjang film, kemudian melancarkan serangan brutal. Masih deus-ex-machina yang overpoweres, tapi kali ini dia tidak bekerja sendirian. Kedatangannya membuat Justice League bekerja lebih efektif sebagai tim.
Tapi sebagaimana keseluruhan film, poin terbaik klimaksnya terletak pada gagasan besar di universe Snyder, sekaligus bagaimana ia memperlakukan para jagoan layaknya dewa. Misalnya di momen paling jaw-dropping berbalut visual fantastis, tatkala The Flash memamerkan salah satu kekuatan terhebatnya (that somehow mirroring one moment in the third act of 'Avengers: Infinity War', but this time for the heroes' sake). Justice League adalah tim berisi gabungan dewa, yang juga bertarung melawan para dewa, dan Zack Snyder's Justice League memperlakukan mereka sebagaimana mestinya.
Mas mau nanya..
BalasHapusSeparah apa sih manajemen warner bros?? Sampe sbuah film yg hrusnya jd flagship WB malah ada versi lainnya (bahkan lebih baik๐)
Di titik ini sharusnya mereka sdh develop karakter universenya
Trus ada kemungkinan maen di bioskop gak??
Di awal pembentukan DCEU, kelihatan banget geraknya selalu buru-buru. Sering berubah dadakan. Padahal kalo universe-nya Snyder dibangun lebih sabar, walau hasilnya bakal mixed, pasti overall keren. Mereka pebisnis & produsen felem yg buruk (plus pastinya, beda sama Feige, bukan pecinta komik)
HapusAda kemungkinan sih. Kalo gak ada pandemi, hampir 100% tayang di bioskop. Minimal khusus IMAX
Dulu nonton JL versi awal..malah yg keinget terus gaya Aquaman minum bir dan membuang botol nya dan Supes yg melirik pergerakan lari Flash...๐
BalasHapusOh yes. Superman bisa tracking Flash itu salah satu momen paling keren di JL. Tentu itu yg bikin Snyder, bukan Whedon
HapusIni film berbeda dari yg saya ingat
BalasHapusDurasi film yang sampai 242 menit sepertinya mencetak rekor review film dengan durasi yang panjang juga, dihitung ada 15 paragraf ๐๐
BalasHapusBiar naysayers yang baca yakin, kalo ini felem yang beda ๐
HapusBang. Review falcon winter soldier gak?
BalasHapusMales review series ๐
HapusDi satu sisi berusaha terlihat dewasa, tapi di sisi lain sangat jelas kekanak-kanakan. Di satu bagian terasa seperti Lord of the Rings, tapi di bagian lain terasa seperti The Adventures of Sharkboy and Lavagirl. Menurutku, dibanding versi Joss Whedon, versi Zack Snyder ini cuma 20% lebih baik.
BalasHapusGILA! Dari kmrn gw buka trs blog ini saking penasaran sm filmnya. Semoga sekuelnya bs lebih epic. Cm prtnyaan: di web imdb/rotten, penilaian fans bagus bgt. Tp knp kritiknya buruk ya? Metascore cm 55? Jgn2 mrk org2 warner๐๐๐. Cm, gw nntn ini 90 menit awal aja kirain masih stengah jam. Bnrn keren. Makasih yaa revwnya
BalasHapusYa jujur aja sih emang filmnya overall masih kurang bagus, wajar kritikus kasih rating rendah. Kalo mau dibandingin sama Avengers, ini masih satu level dengan Age of Ultron. Untuk audience score, kemungkinan besar emang dispam sama para fans fanatik Snyder.
HapusNggak tepat juga kalo bilang respon kritikus negatif. Mixed-to-positive. Mau di metacritics atau rotten, sama-sama lebih banyak Review positif (& mixed) daripada negatif
HapusSebagai fanboy DC, puas banget sih sama JL versi Snyder ini. Visi nya jelas, udah dr BVB ceritanya di set-up buat mengarah ke "Injustice". Setuju banget sih sama opini mas Rasyid.
BalasHapusYes. Kalo aja universe-nya lanjut, kita bisa dapet adaptasi lepas Injustice
HapusKayanya ini satu-satunya film Snyder sejak 300 dan Dawn of the Dead yang pacing-nya lumayan enak diikuti, ga ngebosenin walau 4 jam. Beda sama Watchmen/MoS/BvS yang pacing-nya dragging parah.
BalasHapusYa ini kurangnya Snyder. Selalu punya visi besar yg baru maksimal kalo dikasih durasi panjang. Begitu kena tuntutan studio buat kasih film sekitar 2 jam, bukannya jadi ringkas, storytelling-nya malah jadi kacau karena pilihan nggak pas antara scene mana harus dibuang, mana bertahan
HapusEntah kenapa kalau masalah ledakan, Michael Bay sepertinya lebih ahli. Ledakan-ledakan di film Bay selalu satisfying di mata. Sementara final battle di ZSJL masih sama seperti versi Whedon, bikin mata pusing.
BalasHapusJelas kalo konteksnya ledakan, Bay nomor satu. Not even Spielberg can match him. Mungkin cuma Cameron. Kalo Snyder itu visualnya bener-bener ambil dari komik. Terkesan zany emang, tapi itulah alasan kenapa oke
HapusSebenernya ending JL (2017) dan Snyder Cut (2021) engga kontradiktif ya. Jadi kalo WB mau bikin JL2 pun secara plot bisa nyambung ke dua-duanya. Cuma Snyder Cut ngasih "janji-janji" yg bakal gantung banget kalo ga ditebus...
BalasHapusSaya kurang suka sama gaya directing Snyder, tapi saya sih PENGEN BANGET Snyder Cut ini dibikin sekuel yg bisa nyeritain kelanjutan invasi Darkseid dan mimpi-mimpi buruk Bruce/Victor yg jadi nyata, tapi dengan sutradara yg berbeda. Semacam Matt Reeves yg gantiin Rupert Wyatt di installment kedua dan ketiga Planet of the Apes, atau Alfonso Cuaron yg gantiin Chris Columbus di installment ketiga Harry Potter.
Yang cocok gantiin Snyder utk sekuelnya menurut saya sih James Wan. Soalnya James Wan cukup paham visi Snyder dan dia juga fleksibel untuk masalah tone, dia bisa bikin film semacam SAW tapi ketika WB minta supaya Aquaman jadi light and fun, dia juga bisa bikin. Saya rasa dia mampu meng-emulate tone ala Snyder namun dengan kualitas directing yg lebih baik.
Sebenernya bisa tetep disambungin. Cuma ya sekali lagi, core-nya bakal beda. Background soal Darkseid jadi beda, hero yang godlike juga ilang, dll. Apalagi kalo mengacu ke leaked storyboard JL2&3.Versi Whedon jelas kurang pas disambungin ke situ.
HapusMalah daripada sutradara, mending kasih Snyder penulis yang lebih bagus. Terrio is damn overrated
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusbarjokondo berkata...
BalasHapusDari awal nonton udah terasa kayak film yang berbeda sih, dan entah kenapa malah jadi keinget justice league apokolips war, cuma lebih terang & less brutality. Flash keren banget sih disini, cyborg juga dapet porsi yang layak dan jokernya leto ga annoying walopun tetep pengen nampol tiap dia ketawa ekekwkwk
Setuju sama Bang Rasyid. Ini film yg 'berbeda' dan jauh lebih bagus dibanding versi Whedon yg menurut saya 'cuma' 20% jika dibandingkan Snyder Cut ini. Memang masih dibawah IW & Endgame. Tapi suka tidak suka, Snyder berhasil membuktikan kapasitasnya sebagai sutradara dgn visi & konsep yg jelas. Semoga Snyderverse bisa terus berlanjut. Good job Snyder!
BalasHapusterlalu banyak adegan slow-mo... jadi berasa kayak nonton film anggy umbara ๐
BalasHapusYah emang dari dulu style mereka mirip. Banyak efek cahaya, lens flare, filter warna yg ga natural, background green screen yg nampak jelas artifisial, dst...
HapusAnggy Umbara itu versi ceria dari Zack Snyder, dan Zack Snyder itu versi emo dari Anggy Umbara ๐คฃ
HapusTaek ๐
HapusOh tapi kalo lens flare, dapet salam dari JJ Abrams
Tapi visual Snyder di JL ini ga terlalu banyak lens flare macam di MoS dan BvS sih, kayanya permintaan WB juga tuh hehe
HapusGile keren abis filmnya. So much better than 2017 version. Kayak kombinasi 300 & watchmen. Mantap si Snyder
BalasHapusBagi gw, film superhero cuma The Dark Knight. Kalo ada film yg bertema superhero, itu cuma omong kosong
BalasHapusAvengers bakal ketawa liat omong kosong lu ini. Kwkwkwkwk
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusWkwkwkw. The dark knight lebih ke action-crime gan dr pada *super*hero
HapusTDK sama kayak Kick Ass kok. Sama-sama felem superhero tapi hero-nya nggak bisa berantem ๐
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKesalahan terbesar di justice league emang pada warner bros nya sih kaya yang terlalu terburu buru kaya yang harus bisa langsung nyaingin avenger padahal mah santuy aja kan toh udah punya fanbase nya masing masing.
BalasHapusAndai saja kaya marvel nyeritain dulu satu persatu tiap super heronya pasti keren
Jelas lebih baik dari versi Whedon. Tp jujur karya terbaik Snyder menurut gw masih Watchmen Director Cut favorit gw.
BalasHapus4 jam gak kerasa 4 jam yang lama, selama filmnya keren *thumbs up
BalasHapus