24/04/21

REVIEW - LOVE AND MONSTERS

0 View

Catat Hollywood, beginilah semestinya petualangan fantasi dibuat. Ceritanya boleh saja penuh monster khayalan, tapi "rasa" harus tetap nyata. Catatan berikutnya (lebih tepatnya pertanyaan), mengapa selepas seri The Maze Runner yang notabene salah satu yang terbaik di masa adaptasi novel young adult merajalela, Dylan O'Brien tak mendapat pengakuan sepantasnya? Melihatnya lagi di Love and Monsters, makin meyakinkan saya, bahwa aktor yang bulan Agustus nanti genap menginjak kepala tiga ini, sepatutnya berada di jajaran bintang kelas A.

Filmnya sendiri sudah begitu mengikat sejak prolog unik yang memberi sedikit twist terhadap formula kisah berlatar post-apocalyptic. Pasca kemunculan suatu asteroid, peradaban nyaris musnah, di mana bumi tinggal menyisakan 5% populasi manusia. Tapi bukan asteroid itu penyebabnya. Faktanya, asteroid berhasil dimusnahkan berkat sebuah misil. Sayangnya, saat meledak, senyawa kimia selaku bahan baku misil menghujani permukaan bumi, mengubah hewan-hewan berdarah dingin menjadi monster mutan. 

Selama tujuh tahun terakhir, para penyintas bersembunyi di ruang bawah tanah guna menghindari ancaman monster. Salah satunya Joel (Dylan O'Brien), yang hidup bersama salah satu koloni sebagai koki. Dia ingin berkontribusi lebih, namun masalahnya, Joel selalu membeku ketakutan kala berada di tengah situasi bahaya. Hingga ia menemukan keberadaan kekasihnya, Aimee (Jessica Henwick), dan nekat menempuh perjalanan maut di permukaan selama tujuh hari demi sang pujaan hati. 

Sangat sederhana. Tidak ada misi menyelamatkan dunia. Seperti telah tertulis di judul, semua dilakukan demi cinta. Hilangkan soal kiamat dan monster pemakan manusia, maka perjuangan Joel mungkin pernah pula dialami oleh banyak dari kita. Tapi bukankah alasan serupa sudah banyak dipakai film lain? Benar, namun Love and Monsters termasuk produk Hollywood langka (khususnya belakangan ini), yang sepenuhnya berhasil mengeksplorasi seperti apa rasanya terpisah dari orang tercinta di tengah akhir dunia. 

Petualangan Joel turut mewakili prosesnya berkembang sebagaimana kisah from zero to hero pada umumnya. Dia belajar bertahan hidup, mengatasi ketakutan, sampai akhirnya tumbuh dewasa kala dipaksa menatap realita yang tak seindah ekspektasi. 

Naskah buatan Brian Duffield (Insurgent, The Babysitter) dan Matthew Robinson (The Invention of Lying, Dora and the Lost City of Gold) menyuguhkan transformasi protagonisnya secara masuk akal. Joel bukan pecundang. Dia tampan, baik, tidak canggung dalam bersosialisasi, memiliki pacar cantik. Saya bisa membayangkan, hidupnya sebelum kiamat berlangsung nyaman nan menyenangkan. Justru karena kenyamanan itulah, Joel tidak dibekali kemampuan menangani kondisi darurat. Pun ketakutan berlebihnya dipicu oleh hal yang dapat dimengerti. Motivasinya murni, rasa sakitnya beralasan, pengembangan karakternya believable. Ditambah kemampuan O'Brien menciptakan protagonis membumi di tengah latar fantasi, Joel adalah figur yang mudah dicintai. 

Bukan si tokoh utama saja, jajaran pendukung lain pun tak lupa diberikan nyawa. Sepanjang petualangannya, Joel bertemu beberapa rekan perjalanan. Clyde (Michael Rooker) dan Minnow (Ariana Greenblatt), sepasang pria tua dan gadis cilik yang mengajarinya berbagai metode bertahan hidup, seekor anjing bernama Boy, juga Mav1s yang merupakan sebuah robot. Kedua penulis tahu bagaimana memunculkan sisi likeable dari tiap individu, sehingga dalam waktu singkat, tidak peduli manusia atau bukan, penonton (dan Joel) terikat secara emosional dengan mereka. 

Di kursi penyutradaraan, Michael Matthews memiliki keseimbangan antara sensitivitas rasa dan keahlian menangani deretan aksi seru. Efek visualnya (yang memperoleh nominasi Oscar) tampil meyakinkan meski filmnya "cuma" punya bujet 30 juta dollar, mewujudkan imajinasi sarat kreativitas para pembuatnya mengenai monster. Beberapa tampak mengerikan, beberapa sebaliknya, bak wujud keajaiban dunia yang aneh. Dunia yang pembangunannya membuktikan kapasitas penceritaan visual filmnya. Tidak perlu eksposisi berkepanjangan. Lanskap tanpa eksistensi manusia, yang sesekali menunjukkan bangkai-bangkai monster maupun pesawat tempur (menyiratkan sisa-sisa perlawanan terakhir umat manusia), sudah cukup memberi gambaran jelas mengenai dunia seperti apa yang tengah kita saksikan.


Available on NETFLIX

2 komentar :

  1. Wah film ini punya kalimat yg buat bulu kuduk merinding di akhir kisah :
    Permukaan itu tempat berbahaya, tapi kurasa bersembunyi d bawah tanah bukan jawaban lagi.. ada dunia indah besar dan menginspirasi di luar sana ..mungkin kalian akan membuat kesalahan tapi insting kalian akan teruji dan menyelamatkan.. buka palka kalian pergilah keluar jalani hidup kalian.. memang tidak mudah namun hasilnya "SEPADAN"

    BalasHapus