25/05/22

REVIEW - TOP GUN: MAVERICK

0 View

Popularitas Top Gun tidak bisa disangkal. Merupakan film berpendapatan tertinggi sepanjang 1986 (meraup 357 juta dollar, atau sekitar 940 juta dollar jika dikonversi ke nilai sekarang), yang konon memicu lonjakan pendaftaran US Navy sampai 500%. Sebuah blockbuster khas 80an yang ringan, menghibur, cheesy, tapi sejujurnya, tidak luar biasa. Sekuelnya, Top Gun: Maverick yang menyusul 36 tahun berselang, adalah spesies berbeda. 

Menggantikan mendiang Tony Scott di kursi sutradara, Joseph Kosinski beralih dari parade CGI yang menyusun awal karirnya, dari beberapa iklan berbasis CGI hingga film-film macam Tron: Legacy (2010) dan Oblivion (2013), guna melahirkan salah satu sekuel terbaik sepanjang masa, yang melebihi pendahulunya di segala lini. 

Menit-menit awalnya bak reka ulang film pertama. Serupa, bukan cuma di adegan, pula teks intro yang memperkenalkan apa itu program Top Gun. Pete "Maverick" Mitchell (Tom Cruise) pun masih sama. Masih sosok biang masalah, juga masih berstatus kapten. Maverick menghindari peluang naik pangkat agar bisa terus menjadi pilot. Tepatnya pilot uji coba.

Sekuen aerial perdana hadir saat Maverick menguji coba pesawat dengan target mencapai Mach 10 (10 kali kecepatan suara). Di sinilah Kosinski memamerkan sentuhannya. Tentu sekuen tersebut intens dan bombastis. Tapi siapa menduga kalau di beberapa titik ia bakal meminimalkan suara, lalu fokus pada keindahan lanskap langit yang dibelah oleh jejak lesatan jet? Seolah Kosinski mengingatkan bahwa "terbang" merupakan keajaiban bagi umat manusia. 

Pada akhir film pertama, Maverick memutuskan bergabung sebagai instruktur Top Gun, yang ternyata cuma berjalan dua bulan. Mengajar bukan panggilan hidupnya. Tatkala teknologi makin berkembang, dan otomatisasi mulai menggeser pilot manusia, masih adakah tempat bagi Maverick? 

Jawaban datang setelah Top Gun memanggilanya lagi. Kali ini bukan untuk pelatihan biasa, melainkan persiapan menuju misi berbahaya. Begitu berbahaya, reaksi pertama Maverick adalah, "Tidak semua pilot bakal pulang dengan selamat". Langsung tampak perbedaan mendasar alur dalam naskah buatan Ehren Kruger, Eric Warren Singer, dan Christopher McQurrie dibanding Top Gun. Sejak awal, kita dan karakternya mengetahui keberadaan misi.

Masih dipenuhi latihan (termasuk olahraga di pantai, meski voli digantikan american football, dan tak lagi beraroma homoerotic), namun latihan di Maverick terasa lebih esensial. Penonton dibuat memahami detail strategi, pun semakin jauh latihan berlangsung, semakin meningkat kesulitannya, semakin pula kita merasakan betapa berbahaya misi tersebut. Apalagi saat melalui sekuen luar biasa intens, filmnya menegaskan kalau bahaya tidak hanya berasal dari peluru, rudal, atau radar musuh. Alam bisa sama, atau malah lebih mematikan.

Di ranah penokohan, naskahnya mengembangkan karakter Maverick tanpa harus mengubah jati diri. Masih nekat, penuh percaya diri, tapi lebih bisa meredam ego. Tetap ingin bebas, tapi mulai mendambakan tempat untuk pulang, yang diwakili oleh romansanya dan Penny (Jennifer Connelly), yang namanya sempat disinggung sekilas di film pertama (cara cerdik mengubah love interest si protagonis). 

Setelah terbang puluhan tahun, Maverick banyak mendapati kematian sesama pilot, termasuk sahabatnya, Goose (Anthony Edwards). Kematian mereka menyisakan duka di hati para orang tercinta. Tapi siapa yang akan kehilangan Maverick andai ia tiada? Maverick yang selama ini senantiasa "kehilangan", kini berusaha untuk "menemukan". 

Salah satunya menemukan kedamaian. Kematian Goose masih belum mampu ia lupakan. Terlebih, putera sang sahabat, Rooster (Miles Teller), tergabung dalam tim yang dilatihnya. Rooster sendiri menyimpan rasa benci terhadap Maverick. 

Elemen drama di atas dilakoni Cruise dengan amat baik. Saking seringnya menantang maut, banyak orang lupa bahwa Cruise adalah aktor bagus pemilik tiga nominasi Oscar. Sewaktu Maverick dan Iceman (Val Kilmer) terlibat obrolan soal "merelakan", jangkauan akting dramatik Cruise mencapai titik terbaiknya. 

Tapi mari lupakan tetek bengek penceritaan. Semua datang menonton demi dogfight bukan? Saya berani menyebut Top Gun: Maverick memiliki rangkaian dogfight terbaik yang pernah ditampilkan di layar lebar. Lebih megah, lebih kompleks, tapi menariknya, lebih mudah dicerna ketimbang film pertama (siapa melawan siapa, siapa ada di pesawat mana, dll.). 

Semua dogfight memukau, tapi third act-nya berada di tingkatan berbeda. Penuh manuver berbahaya serta aerobatics yang mendefinisikan "you won't believe it until you see it". Hell, even after you saw it, you won't believe that those are achievable. 

Kuncinya terletak pada efek praktikal. CGI dipakai secukupnya kala benar-benar dibutuhkan. Sedangkan sisanya, kamera milik Claudio Miranda selaku sinematografer, menangkap jet asli yang membelah angkasa. Realisme menguat berkat penempatan kamera di kokpit yang dioperasikan langsung oleh cast (mereka sungguh duduk di kursi penumpang dalam pesawat yang mengudara). 

Penceritaannya cenderung klise? Mungkin, tapi rasanya itu bukan perihal yang patut dikeluhkan. Apa perlunya mempermasalahkan keklisean, saat Top Gun: Maverick adalah blockbuster sempurna, dengan jajaran spektakel yang belum pernah ada sebelumnya. Bahkan selipan humornya juga efektif menambah daya hibur. Joseph Kosinski mengembalikan sinema blockbuster ke hakikatnya, yakni sajian yang membuat penonton menyaksikan, kemudian memercayai kemustahilan. 

21 komentar :

  1. Anonim6:03 AM

    Wow... Sempurna?
    Bener-bener top berarti :D.

    BTW, kalau belom nonton yang pertama, nggak masalah berarti?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Baiknya nonton. Kalo nggak, bakal susah ngerti proses & motivasi karakternya

      Hapus
    2. Anonim9:53 PM

      Wah, otw nyari2 film pertamanya dulu 🤣🤣

      Hapus
  2. Gila beneran nih film.. Berkali-kali saya mencengkram kursi menyaksikan aksi pesawat tempur yg mendebarkan. Dan... saya benar-benar tidak siap untuk begitu banyak momen emosional. Berkali-kali mata saya berkaca-kaca. Terlebih yg sudah nonton film pertamanya, bobot emosionalnya bakal begitu terasa

    BalasHapus
    Balasan
    1. True. Tony Scott pasti bangga nonton third act-nya

      Hapus
    2. Bang, kira-kira potensi Oscar tahun depan gimana bang buat film ini? Secara Academy sangat susah ditembus film2 bergenre action, walau critical respon nya luar biasa sekalipun

      Hapus
    3. Anonim3:57 PM

      Best film editing & sound kayaknya dapet deh ni film. Cinematography juga ada kemungkinan.

      Hapus
  3. Anonim7:26 PM

    HANYA SATU KATA : KEREN

    BalasHapus
  4. Anonim11:53 PM

    Keren gila, nggak nyangka series Top Gun yang se "amerika" itu bisa dikemas ciamik, sampe ke penonton awam sekalipun. 5 out of 5 is not much for this masterwork. Salut pol polan

    BalasHapus
  5. Anonim1:46 PM

    Rotten,rogerebert ratingnya tinggi..jarang2 ada film action ratingnya tinggi

    BalasHapus
  6. Bg udh nonton everything everywhere all at once

    BalasHapus
    Balasan
    1. Belom karena emang belom tayang

      Hapus
    2. Tp di website udh ada si bang, versi webdl, tapi mnurutku film ini sangat worth it utk ditonton di layar sinema besar.. ditunggu reviewnya bang..

      Hapus
    3. Importirnya lagi abis-abisan berusaha masukkin felemnya ke bioskop masak ya review dari bajakan 🙃

      Hapus
  7. Andrew3:59 PM

    Wow sempurna? Jarang2 ada film action dikasih review "Luar Biasa". Nonton di IMAX, Bang?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sayangnya nggak ada imax di jogja. Kalo ada bisa nilai 10 kali

      Hapus
  8. mau banget nonton ini

    BalasHapus
  9. Anonim11:38 AM

    Saya nonton CGV Regular itu aja udah takjub, pas kemarin nonton kali kedua di IMAX, "Man! jauh dah! beneran wajib bagi yang belum nonton untuk segera book seat di IMAX aja" :)

    BalasHapus
  10. Bang... review film2 Netflix/Disney Hotstar/HBO GO, dsj juga kah?

    BalasHapus
  11. Anonim9:38 PM

    review film RUMAH KUNTILANAK di tunggu ya...film indonesia yang bikin gemes, sesak nafas & mindblowing banget

    BalasHapus