08/06/22

REVIEW - JURASSIC WORLD DOMINION

0 View

Kesulitan terbesar membuat installment Jurassic Park adalah adanya  perbandingan dengan film pertama. Jangankan menyamai, sebatas mendekati kualitasnya pun luar biasa sulit, sampai Spielberg sendiri gagal melakukannya di The Lost World: Jurassic Park (1997). Bahkan Jurassic World (2015) selaku sekuel terbaik yang memberi franchise ini nyawa baru saja masih belum mencapai level serupa. 

Sehingga penting disadari, menandingi mahakarya Spielberg tersebut merupakan kemustahilan. Sense of wonder kala menyaksikan dinosaurus berjalan lagi di muka bumi dalam balutan efek spesial spektakuler takkan bisa direplikasi. Kesadaran itu bakal memudahkan penonton menikmati sekuelnya, termasuk Jurassic World Dominion, yang bukan bertujuan memberi keajaiban, melainkan aksi penuh dinosaurus sekaligus konklusi bagi seluruh protagonis seri Jurassic Park. 

Ya, semua. Selain Owen Grady (Chris Pratt) dan Claire Dearing (Bryce Dallas Howard) yang kini bertindak sebagai figur orang tua untuk Maisie (Isabella Sermon), turut menandai reuni trio Alan Grant (Sam Neill), Ellie Sattler (Laura Dern), dan Ian Malcolm (Jeff Goldblum) sejak film orisinalnya. Naskah buatan sang sutradara, Colin Trevorrow, dan Emily Carmichael, menangani pertemuan dua generasinya dengan baik, dan terpenting, dengan rasa hormat. 

Perusahaan Biosyn yang dipimpin Lewis Dodgson (Campbell Scott), jadi jembatan penghubung. Di Jurassic Park (1993) ia muncul sekilas di awal (diperankan Cameron Thor) yang menyuap Dennis Nedry (ada easter egg soal peristiwa itu). Dodgson berencana menculik Maisie, lalu memakai DNA-nya untuk riset Dr. Henry Wu (BD Wong), sebagai bagian misinya menguasai pangan dunia lewat serangan wabah belalang raksasa. Alan dan Ellie berusaha mengungkap rencana busuk Biosyn. Ian Malcolm? Dia adalah konsultan perusahaan tersebut.

Sebenarnya garis besar alur Jurassic World Dominion tak memerlukan keterlibatan dinosaurus secara fisik, tapi karena hak suaka atas mereka dipegang Biosyn, para protagonis pun harus menghadapi ancaman reptil purba itu. Alurnya bergantian menyoroti Owen-Claire dan Alan-Ellie-Ian, membagi porsi kedua generasi dengan seimbang. Sebagaimana Top Gun: Maverick, film ini mencontohkan bahwa tongkat estafet tidak melulu harus dioper. Seringkali, memegangnya bersamaan justru jadi opsi terbaik. 

Narasinya bukan tanpa halangan. Walau perpaduan dua cerita menambah variasi, di sisi lain, tatkala adegan aksi absen, penurunan intensitas terjadi dua kali lebih banyak. Second act-nya yang cukup draggy menunjukkan itu, meski penampilan kuat Isabella Sermon ditambah celotehan khas Jeff Goldblum (terbukti Ian Malcolm lebih pas dijadikan pemain tim alih-alih solo lead layaknya di The Lost World) rutin menghasilkan daya tarik.  

Beruntung, sebagaimana Jurassic World, tidak ada keluhan mengenai cara Trevorrow membungkus aksi. Temponya cepat. Sangat cepat, di luar permasalahan second act tadi, durasi 146 menitnya terasa jauh lebih singkat. Pengarahan cekatan Trevorrow tampak betul di sekuen kejar-kejaran antara Owen dan Atrociraptor. Formulaik, sebatas kebut-kebutan di sepanjang jalanan Malta, namun bertenaga. 

Klimaksnya kembali mengedepankan momen "dino fight". Kali ini musuh besarnya adalah Giganotosaurus, sang karnivora terbesar. Belum se-epic Jurassic World, tapi kembali menegaskan kapasitas Trevorrow mengemas money shot, pula tampil bak penebusan atas pertarungan kontroversial di Jurassic Park III (2001). 

Tapi titik terbaik justru dihadirkan sebuah kombinasi dua sekuen. Pertama, menampilkan upaya Claire kabur dari kejaran Therizinosaurus. Kedua, berupa pertarungan Owen dan Kayla (DeWanda Wise) melawan Pyroraptor. Terbaik, karena masing-masing dikemas lewat gaya berbeda. Sekuen pertama lebih atmosferik, sedangkan sekuen kedua cenderung dinamis. Menyuguhkan keduanya secara berurutan, menguatkan kesan bahwa film ini variatif, juga luasnya jangkauan pengarahan Trevorrow.

Konklusinya memuaskan. Jurassic World Dominion menjawab pertanyaan dari tiga dekade lalu. Bisakah manusia dan dinosaurus hidup harmonis? Di sinilah akhirnya dinosaurus dipandang sebagai hewan yang hidup sesuai hakikat mereka. Termasuk Raptor, yang bukan lagi "psikopat film slasher versi dinosaurus". Sementara sekuen penutupnya menawarkan keindahan. Salah satu momen terindah di sejarah Jurassic Park. Keindahan bernama "harmoni".

5 komentar :

  1. penasaran sama review Kaca Gatot Dewa Satria

    BalasHapus
  2. Anonim3:30 PM

    Bang Rasyid, sebagus nonton top gun di IMAX ngga?
    kalau iya, booking IMAX aja hehehe
    Soalnya kalau dari segi rate yang JW ini lebih rendah siih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anonim6:38 PM

      Saya kemarin nonton di IMAX dan jelas jauh kalau dibandingin Top Gun. Nonton di IMAX gabisa menolong saya untuk sekadar bilang film ini "lumayan" (karena menurut pendapat saya, film ini sangat amat mengecewakan). Yang jelas, Top Gun emang another level sih. Pantes dikasih bintang 5.

      Hapus
  3. Anonim7:17 PM

    Lebih bagus dari prekuelnya, tapi gak ada moment yg memorable... 7,5/10

    BalasHapus