(Tulisan ini mengandung SPOILER)
Jika ditengok sekarang, beberapa nilai milik My Sassy Girl (2001) mungkin sudah usang (kewajaran bagi sebuah "product of its time"), pun alurnya tampak klise. Tapi patut diingat, keklisean itu muncul karena dampak luar biasa yang filmnya bawa. Rilis di tahun-tahun awal kebangkitan sinema Korea Selatan, 4,8 juta penonton berhasil dikumpulkan, menjadikannya film lokal terlaris keempat sepanjang masa kala itu. Alhasil, formulanya banyak ditiru hingga sekarang, baik di medium film maupun drama.
Dua poin di atas pun jadi PR bagi remake Indonesia buatan sutradara Fajar Bustomi (trilogi Dilan, Mariposa). Bisakah modernisasi nilai diterapkan? Bisakah romantisme dipercikkan tatkala formulanya telah berulang kali dipakai?
Pertanyaan pertama dapat langsung dijawab di pertemuan perdana dua tokoh utama. Gian (Jefri Nichol) tertarik pada paras Sisi (Tiara Andini), tapi merasa gadis itu "nggak jelas". Bandingkan dengan Gyeon-woo (Cha Tae-hyun) yang beranggapan bahwa gadis mabuk adalah hal buruk. Gian juga tidak curi-curi kesempatan dengan memandangi tubuh gadis yang pingsan secara creepy. Protagonis pria merupakan keunggulan remake ini dibanding film aslinya.
Tapi garis besar alurnya cenderung setia. Dituturkan melalui flashback dari sudut pandang Gian, kita melihat bagaimana ia menjalin hubungan unik dengan si "cewek ajaib" yang pemarah, hobi memukul, ceria, walau sebenarnya menyimpan kesedihan mendalam. Keduanya berpacaran, berpisah, lalu berjanji bakal bertemu lagi dalam waktu dua tahun, di bawah sebuah pohon tempat kenangan tersimpan.
Saking setianya, naskah buatan Titien Wattimena (trilogi Dilan, Aruna & Lidahnya, Backstage) masih mempertahankan penceritaan episodik yang melompat-lompat. Tentunya ada perubahan, termasuk yang mau tak mau mesti dilakukan akibat perbedaan kultur. Ayah Sisi (Ferry Salim) misal, bukan lagi pemabuk akut yang tiba-tiba pingsan, sehingga kehilangan ciri khas memorable. Minimal kekurangan itu ditambal oleh ayah Gian (Surya Saputra) yang kebagian (sedikit) lebih banyak momen komedik.
Di versi Korea, dua protagonis merayakan hari jadi ke-100 dengan jalan-jalan ke taman hiburan, namun kencan mereka diganggu oleh desertir yang hendak bunuh diri karena putus cinta. Tingginya relevansi membuat momen tersebut tampil organik. Di sini, Gian dan Sisi mengunjungi TMII, saat dikejutkan oleh pria dengan intensi sama. Tapi kesan organik tadi lenyap. Seolah peristiwa ini dimasukkan hanya karena sumber adaptasinya memiliki momen serupa.
Saya sempat mendengar beberapa keluhan soal pendekatan visual My Sassy Girl yang dianggap berlebihan memanipulasi warna. Saya tidak setuju. Estetika dalam semesta film punya bahasanya sendiri, yang tak wajib sesuai realita, apalagi untuk suguhan di mana realisme bukan elemen substansial macam ini. Sebaliknya, My Sassy Girl justru enak dipandang bila memegang prinsip tersebut.
Terkait warna, di luar manipulasi pasca-produksi, pada dasarnya, Eros Eflin selaku penata artistik memang memperhatikan betul detail pewarnaan latar serta properti. Begitu pula tata busana yang dipegang Quartini Sari. Tidak sekalipun Gian dan Sisi muncul dengan pakaian ala kadarnya. Pendekatan visual ini tepat, jika ditujukan bagi target penonton para penyuka hiburan Korea, terutama drama.
Nah, di sini timbul masalah. Keputusan me-remake My Sassy Girl (juga Miracle in Cell No. 7 dan Hello Ghost) tentu didasari kesimpulan bahwa penonton kita menggilai hiburan Korea. Sayangnya, sineas kita masih sering terjebak stigma kalau film arus utama atau drama Korea cuma identik dengan warna-warna cantik, romansa menggemaskan, atau drama mengharu-biru. Saya ragu mereka mengonsumsi tontonan yang dijadikan kiblat. Keraguan tersebut menguat kala menyaksikan My Sassy Girl.
Titik terbaik My Sassy Girl Korea, yang mengangkat statusnya dari komedi romantis menghibur jadi sebuah karya klasik adalah 30 menit terakhir. Fajar Bustomi tak punya sensitivitas yang diperlukan. Kwak Jae-yong selaku sutradara film aslinya, sebagaimana film atau drama Korea, jeli dalam hal dramatisasi. Berjalan perlahan, membiarkan penonton meresapi emosinya, sehingga antisipasi pun terbangun. Fajar menggerakkan adegan penting begitu cepat, bak buru-buru ingin selesai bercerita. Momen "10 aturan" kehilangan kekuatannya gara-gara hal tersebut.
Selain urusan pacing, pilihan shot dan musik juga termasuk poin-poin penting soal sensitivitas. Ketika Gyeon-woo menemui "The Girl" di ruang kontrol stasiun, Jae-yong memposisikan kamera di belakang pundak pria. Kita melihat yang dia lihat, sehingga ikut tersentuh menyaksikan tindakan si gadis. Di versi Indonesia, kamera sebatas menangkap keseluruhan ruang, lagi-lagi dengan tempo buru-buru.
Keputusan menghapus shot si gadis duduk bersama ibu mantan pacarnya pun, meski terkesan remeh, membawa dampak besar. Dampak negatif tentu saja. Isi surat Sisi kehilangan rasa, pun efek kejut yang dibawa twist di penghujung durasi turut melemah, karena pertemuan kedua wanita itu luput ditekankan.
Tapi segala kelemahan terkait sensitivitas terangkum di adegan-adegan berlatar pohon kenangan. Pacing kacau, pilihan shot seadanya, pemakaian musik pop yang mengurangi kemegahan emosi, semua muncul. Seolah Fajar sendiri tidak paham mengapa peristiwa-peristiwa di sana (Gian yang rutin datang, Sisi membaca surat Gian, fakta mengejutkan tentang Gian yang diungkap seorang bapak tua) adalah wujud romantisme menggugah.
Di departemen akting, Jefri tampil baik mengombinasikan kejenakaan dan akting dramatik. Sekali lagi, ia lebih berhasil membuat karakternya terasa simpatik ketimbang Cha Tae-hyun. Tiara lain cerita. Dia berusaha sekuat tenaga menghidupkan energi si "sassy girl". Mungkin malah terlampau berusaha, sampai terkesan kurang efortless. Kurang natural. Tapi sebagai debutan, upayanya patut dihargai, dan memang tak semua orang bisa mengikuti pencapaian Jun Ji-hyun (come on, she's one of "The Troika"). Setidaknya kombinasi Jefri-Tiara mulus mengeksekusi deretan humor, yang membuat My Sassy Girl masih punya nilai hiburan.
Apakah "cubitin pipi" sambil menoleh ke cewek, yg buat saya memorable di versi aslinya juga ada ?
BalasHapusAda. Jefri lebih oke jual momen itu dari CTH, tapi directing-nya nggak
HapusSeandai nya sutradara nya di ganti misalnya sutradara sweet20 mungkin kah bisa lebih ok lagi ya, ragu sih mau menonton nya, apalagi aku bukan termasuk remaja awal lagi.
BalasHapusada jefri pasti bagus lah ya XD, pernah baca review juga disini langsung tertarik banget
BalasHapus