20/07/22

REVIEW - THE SEA BEAST

0 View

Divisi animasi Netflix tengah terluka, sebagai dampak berkurangnya jumlah pengguna. Rencana diubah, restrukturisasi terjadi, beberapa proyek dibatalkan. Tapi ditunjang strategi kampanye yang tepat, mungkin saja tahun depan luka itu bisa sedikit terobati, sebab bukan mustahil The Sea Beast bakal memberi Netflix Animation piala Oscar perdana mereka.

Ide cerita The Sea Beast sesungguhnya tidak benar-benar baru. Ibarat gabungan How to Train Your Dragon, Pirates of the Caribbean, dan Moana. Tapi keklisean itu mampu dikembangkan, diperdalam, hingga melahirkan tuturan yang kaya. 

Kisahnya berlatar dunia di mana selama ratusan tahun, umat manusia mengibarkan bendera perang melawan monster laut, yang konon telah membawa banyak kehancuran. Pihak kerajaan memakai jasa pemburu guna memusnahkan monster laut, salah satunya Kapten Crow (Jared Harris), pemimpin kru kapal The Inevitable yang legendaris. Jacob (Karl Urban), yang saat kecil ditemukan oleh Kapten Crow terombang-ambing di lautan, adalah calon pemimpin The Inevitable di masa mendatang. 

Sudah banyak monster mereka bunuh, buku epos ditulis berdasarkan aksi kepahlawanan mereka, namun ada satu target yang masih diincar, yakni Red Bluster. Ukuran tubuh yang membuat monster lain nampak kerdil, ditambah kemampuan menciptakan pusaran raksasa, membuat Red Bluster amat ditakuti. 

Di sisi lain, bocah bernama Maisie (Zaris-Angel Hator), yang menaruh rasa kagum luar biasa besar terhadap para pemburu, diam-diam menyusup ke atas The Inevitable, berharap dapat ikut berpetualang serta mengikuti jejak kepahlawanan Kapten Crow dan Jacob. Arahnya bisa ditebak. Maisie akan menyadari bahwa monster laut sebenarnya bukan ancaman, lalu berusaha menyadarkan orang-orang agar tak lagi menebar kebencian. 

Walau kisahnya tidak baru, salah satu alasan mengapa naskah buatan Nell Benjamin dan Chris Williams (juga menduduki posisi sutradara) tampil spesial adalah, kemampuan menanamkan pesan, tanpa harus terkesan meneriakannya secara terlalu gamblang. "Kita membunuh, bukan mempelajari mereka", ucap Jacob merespon rasa penasaran Maisie mengenai monster laut. Melalui satu kalimat tersebut, penonton dibuat memahami pola pikir manusia-manusia di film ini.

Lebih jauh lagi, naskahnya mengeksplorasi asal mula pemikiran itu, kala dengan berani memberi filmnya tema yang cukup berat bagi film semua umur. Saya takkan menjabarkan detailnya, tapi The Sea Beast menyentil perihal bagaimana sejarah ditulis oleh para pemegang kuasa, juga soal post-truth. Tidak ketinggalan dikritisi adalah tendensi mengultuskan sosok pahlawan. 

Walau mengusung subteks kompleks mengenai kebenaran dan prasangka, The Sea Beast tetap dipresentasikan secara ringan. Salah satunya berkat interaksi Maisie-Jacob. Banter keduanya bukan cuma menggelitik, pula tampil segar, sekali lagi berkat kejelian naskahnya mengolah kalimat yang tak terdengar klise.  

Tapi tentu yang akan paling diingat dari film ini adalah visualnya. Desain monsternya kreatif dalam memodifikasi wujud hewan dari dunia nyata, memberi mereka beraneka warna (berpotensi dikembangkan ke area bisnis lain seperti merchandise). Kualitas animasinya kelas satu. Jika naskahnya mampu membangun dunia yang utuh lewat mitologinya, departemen animasi membuat dunianya makin realistis melalui detail visual, terutama tekstur alamnya (pohon, pasir, air, dll.). 

Visualnya makin memikat berkat pengarahan Chris Williams, yang piawai menciptakan kesan masif dalam pilihan shot-nya, yang sempurna mewakili dunia tempat monster laut raksasa eksis. Tidak heran, mengingat Williams merupakan sosok senior dunia animasi, yang berkontribusi atas lahirnya deretan judul produksi Disney sejak Mulan (1998), termasuk mengarahkan Bolt (2008) dan Big Hero 6 (2014). 

Konklusinya mungkin terkesan naif dan menggampangkan (Apakah omongan bocah bisa mengubah tradisi ratusan tahun?), tapi itu sejalan dengan satu lagi subteks yang filmnya bawa. Memang betul pemahaman anak-anak terhadap realita masih amat minim dibanding orang dewasa, tapi justru di situ keunggulan mereka. Kita mesti belajar menjadi seperti bocah, dengan hati bak kertas putih polos yang belum dikotori prasangka, sehingga masih terbuka akan ilmu, pemahaman, serta kemungkinan-kemungkinan baru. Ingat, kita tak tahu apa-apa tentang dunia yang sedemikian luas ini. 

(Netflix)

3 komentar :

  1. Anonim7:57 PM

    Gak ada niat ngereview Lightyear bang? Kan udah tayang di disney+

    BalasHapus
  2. lucuu sih apalagi kalo nonton bareng gebetan :D Cek Disini Deh

    BalasHapus