REVIEW - EMERGENCY DECLARATION
"Keputusan itu". Salah satu hal di Emergency Declaration yang bakal sering dibicarakan adalah mengenai "keputusan itu". Keputusan yang membawa filmnya terbang lebih tinggi, mengubahnya dari blockbuster intens menuju cerita luar biasa emosional perihal kemanusiaan. Saat itu terjadi, udara di studio mendadak terasa menyesakkan.
Tapi Emergency Declaration punya banyak hal lain di samping "keputusan itu". Disutradarai sekaligus ditulis oleh Han Jae-rim (Rules of Dating, The Show Must Go On, The Face Reader), ini adalah disaster movie yang langsung mencengkeram sejak menit pertama, meski penonton belum benar-benar yakin ancaman macam apa yang mengintai.
Kita hanya melihat situasi di bandara, ketika beberapa calon penumpang pesawat tujuan Hawaii tengah menanti jadwal keberangkatan: Jae-hyuk (Lee Byung-hun) dan puterinya, Soo-min (Kim Bo-min); Jin-seok (Im Si-wan) yang bersikap mencurigakan dan menanam benda tak dikenal dalam ketiaknya; hingga Hye-yoon (Woo Mi-hwa) yang hendak berlibur bersama teman-temannya. Pesawat tersebut dipiloti oleh Hyun-soo (Kim Nam-gil).
Suami Hye-yoon adalah In-ho (Song Kang-ho), seorang detektif yang akibat kesibukannya, tak pernah bisa menemani sang istri berlibur. Setibanya di kantor, In-ho menerima laporan, yang menggiringnya pada kesimpulan bahwa pesawat tujuan Hawaii tersebut terancam bahaya. Lebih baik kalau anda tidak tahu detail kasusnya sebelum menonton, tapi pastinya, Han Jae-rim menciptakan build up menegangkan lewat first act yang secara bergantian menyoroti situasi di udara dan penyelidikan In-ho di darat. Seiring membesarnya kasus, Menteri Sook-hee (Jeon Do-yeon) pun ikut turun tangan.
Han Jae-rim bukan Ryoo Seung-wan atau Choi Dong-hoon. Bukan nama pertama yang langsung muncul saat membahas film aksi dahsyat Korea Selatan. Tapi di sini sang sutradara melakukan tugasnya dengan baik. Didukung naskah yang cukup cerdik menyediakan beberapa jenis ancaman, pula peleburan apik antara efek praktikal dan CGI, Han Jae-rim berkali-kali menghadirkan peristiwa mencekam.
Kru membangun set menggunakan bangkai pesawat yang dibawa dari Amerika, kemudian memodifikasinya agar dapat berputar 360 derajat (sebagaimana dilakukan Nolan di Inception). Hasilnya adalah efek praktikal yang efektif merealisasikan teror dalam kabin pesawat.
Kualitas CGI-nya memang dibantu oleh pilihan latar malam, sehingga beberapa kekurangan mampu disamarkan. Tapi di sisi lain, kegelapan itu turut menambah daya cengkeram adegannya. Misal saat datang serangan dari pihak eksternal (saya takkan menjabarkan "apa" dan "kenapa"), di mana kengerian dibangun dari sorot cahaya di langit gelap. Begitu pula klimaks yang mengukuhan kelayakan Emergency Declaration sebagai blockbuster masif lewat kesediannya tampil over-the-top.
Judul film ini merujuk pada situasi saat sebuah pesawat menyatakan kondisi darurat, sehingga mereka yang di darat mesti mengerahkan segala daya upaya guna membantu pendaratan, termasuk menunda maskapai yang akan mendarat atau lepas landas. Tanpa kecuali. Semua soal skala prioritas, soal menyelamatkan nyawa, dan tentu soal kemanusiaan. Tapi apa jadinya bila pertolongan tersebut justru berpotensi mengancam nyawa lebih banyak manusia?
Filmnya telah memasuki fase pra-produksi sejak 2019, alias sebelum era pandemi. Menariknya, walau bukan tergolong "film pandemi", naskahnya menghadirkan cerminan kuat dengan kondisi saat itu. Han Jae-rim menyentil tentang bagaimana pertimbangan-pertimbangan politis serta bisnis, kerap mempersulit penanganan isu kemanusiaan yang seharusnya dikedepankan. Kemiripan yang tak disengaja, dan justru karena itulah kritiknya terasa makin tajam. Kemunculan sisi gelap manusia bak suatu rutinitas yang mudah ditebak.
Bahkan di kalangan rakyat biasa, baik di luar maupun di dalam pesawat, juga terjadi perpecahan akibat ego individual yang mengusung prinsip "every man for himself". Ketika rangkaian kepentingan saling bergesekan tanpa akhir, karakternya pun mengambil "keputusan itu". Berkatnya, babak kedua yang sempat kehilangan intensitas dan cenderung stagnan, ditutup oleh sebuah tamparan emosional.
Sebagai sineas Korea, Han Jae-rim tentu piawai urusan dramatisasi (bersiaplah ketika riuh rendah kokpit berubah jadi perenungan suram dan panggilan telepon mulai dilakukan), tapi jangan lupakan jasa ensemble cast-nya yang besar. Sangat besar, terutama bagi penonton yang familiar dengan hiburan Korea Selatan, baik film atau drama. Di luar para pemeran utama, ada Kim So-jin dan Seol In-A sebagai pramugari, Park Hae-joon sebagai staf kepresidenan, Hyun Bong-sik sebagai detektif, Moon Sok sebagai dokter, dan lain-lain.
Lee Byung-hun dengan speech-nya, Song Kang-ho dengan akting habis-habisannya, bertanggung jawab mengobrak-abrik perasaan penonton di klimaksnya, tapi favorit saya adalah Kim So-jin. Matanya senantiasa "berbicara". Pun karakter peranannya, Hee-jin, terasa spesial.
Hee-jin tidak punya latar belakang di luar pesawat. Berbeda dengan Jae-hyuk atau In-ho, perjuangannya tanpa dibarengi alasan personal. Dia berusaha mati-matian didorong dedikasinya sebagai pramugari, dan tentunya, kesadarannya akan nilai kemanusiaan. Walau berstatus karakter pendukung dengan screentime tak seberapa, Hee-jin paling mewakili pesan utama filmnya. Seorang manusia yang memanusiakan manusia.
9 komentar :
Comment Page:Pengen banget ketemu bang Rasyid alias Lakinya Jiu. Cara menulis dan wawasan tentang filmnya bikin jatuh cinta. Baru kali ini ngerasain sesuka itu sama orang hanya dari tulisannya hahaha. Sukses terus Rasyid!
Hehe waduh thanks a lot! Moga suatu hari bisa ketemu ngobrol-ngobrol 😁🙏
Filmnya Pak Song Kang Ho, banyak yg dinilai bagus
kamana wae cha,,, hihii
keren puas banget ini film berasa wahana rollercoaster joko anwar pengabdi setan 2
Setuju dengan reviewnya.. pantas dapat predikat "sangat bagus".. Jangan lupa bawa tissue, nangis bombay..
Song Kang-ho ni keknya ga pernah maen film jelek dah
Seandainya film ini selesai di "bagian" itu
Film ini jauh lebih baik
Emosionalnya lebih meledak lg
Posting Komentar