REVIEW - HIVE

1 komentar

Melalui Hive kita menyaksikan bahwa patriarki ibarat perangkap yang membuat perempuan menemui jalan buntu ke mana pun arah mereka melangkah. Tapi perwakilan Kosovo di ajang Academy Awards 2022 ini turut memperlihatkan bagaimana perempuan mendobrak jalan buntu tersebut, atau menciptakan jalan-jalan baru agar dapat terus melangkah maju. 

Seperti banyak film bertema female empowerment lain, protagonis Hive memperjuangkan haknya. Tapi naskah buatan sang sutradara, Blerta Basholli, bukan menyoroti perihal yang terlihat "besar", seperti hak pilih atau hak menduduki kursi pemerintahan. Bukan berarti kisahnya kurang menggigit. Justru sebaliknya, makin menegaskan betapa mengakarnya patriarki di kehidupan sehari-hari.

Semua berawal dari hal kecil: membuat SIM. Ada apa dengan SIM? Pertama kita mesti memahami dulu latar filmnya. Sebuah desa bernama Krusha e Madhe di Kosovo, di mana pada 25 Maret 1999, di tengah Perang Kosovo, terjadi pembantaian. Korbannya adalah para laki-laki. Ratusan dinyatakan meninggal, beberapa keberadaannya tak diketahui. Alhasil para istri mendadak menjadi janda, termasuk Fahrije (Yllka Gashi).

Kehilangan suami berarti kehilangan sumber ekonomi. Fahrije yang tinggal bersama dua anak serta mertuanya, cuma mengandalkan uang penjualan madu yang tidak seberapa. Bersama janda lain, ia berniat membuat usaha produksi ajvar (semacam bumbu), guna menjualnya di supermarket. Artinya, butuh transportasi untuk membeli bahan baku dan mengantarkan produk. 

Masalahnya, sulit bagi perempuan mendapat izin dari keluarga untuk membuat SIM. Alasannya, menyetir mobil sendirian dianggap kurang pantas dilakukan perempuan. Di satu titik, setelah jadi sasaran gosip, kaca mobil Fahrije dilempari batu. Banyak laki-laki menyaksikan kejadian itu, namun alih-alih menolong, mereka hanya duduk, bahkan ada yang melempar makian pada Fahrije. 

Tidak ada SIM, tidak ada transportasi. Tidak ada transportasi, tidak ada usaha. Tidak ada usaha, tidak ada uang. Tapi jika menuruti larangan masyarakat, hasilnya pun sama. Tidak ada pemasukan guna menghidupi keluarga, termasuk para laki-laki tua berpikiran sempit itu. Jalan mana pun yang diambil, mereka selalu disalahkan. Fahrije dan para perempuan Krusha e Madhe terjebak di antara kekacauan pikir ego laki-laki dan kekacauan politis. 

Seolah ingin menyesuaikan dengan kemandirian karakternya, Basholli mendesain Hive bukan sebagai tontonan yang menyuapi penonton. Kita perlu mengumpulkan sendiri berbagai pemahaman mengenai detail situasi karakternya, lewat informasi yang tersebar sepanjang durasi. Naskahnya cukup cerdik menyelipkan informasi tersebut dalam obrolan kasual yang tak terasa seperti eksposisi. Barulah di ending kita diberi penjelasan dalam bentuk teks mengenai peristiwa 25 Maret. 

Penempatan di akhir mungkin dimaksudkan agar penonton tak melihat Hive sebagai cerita perang atau tragedi, melainkan murni soal perempuan. Sebuah tontonan intim. Itu pula yang nampak dari pengarahan Basholli, yang cenderung tenang dalam menghantarkan rasa. Daripada ledakan mengharu biru, emosinya tampil bak pelukan lembut. Perlahan para perempuan berkumpul, membuat ajvar bersama, berinteraksi secara kasual, dan filmnya pun "menghangat". 

Akting Yllka Gashi pun serupa. Tidak perlu luapan besar baginya untuk memancarkan kompleksitas seorang Fahrije, yang biarpun mengejar kemerdekaan, tetap merindukan sang suami dan terus mencarinya setiap hari. Senyum simpulnya tatkala melihat toples-toples avjar terpampang rapi di rak supermarket jadi momen paling menyentuh. Di situlah segala jerih payah karakternya mulai terbayar. Hive tak terjebak dalam formula male savior. Apabila ada laki-laki yang berkontribusi, mereka bukan figur pahlawan, tapi sebatas menjalankan kebiasaannya. Seluruh pencapaian adalah milik Fahrije dan para perempuan Krusha e Madhe. 

(Klik Film)

1 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Bang, lu ada akun Letterboxd gak?