"For everything you gain, you lose something else". Ucapan penyair Ralph Waldo Emerson tersebut rasanya pas mendeskripsikan Miracle in Cell No 7 versi Indonesia garapan Hanung Bramantyo. Beberapa kelemahan film aslinya mampu ditangani, namun di saat bersamaan tercipta pula deretan kelemahan baru.
Kisahnya sudah kita kenal betul. Dodo Rozak (Vino G. Bastian), seorang penyandang disabilitas, dipenjara lalu dijatuhi hukuman mati akibat dituduh membunuh sekaligus memerkosa gadis cilik. Didorong rasa simpati, teman-teman satu selnya membantu menyelundupkan puteri Dodo, Kartika (Graciella Abigail), ke dalam penjara.
Pondasi ceritanya masih sama, tapi terdapat perbedaan terkait bagaimana naskah buatan Alim Sudio melakukan penelusuran. Bisa dilihat dari durasi yang terpaut cukup jauh. Versi Koreanya "cuma" 127 menit, sedangkan remake ini berjalan selama 145 menit. Bisa demikian, sebab Alim coba menambal penceritaan film aslinya yang berlubang-lubang, lewat detail-detail tambahan selaku jembatan, sekaligus dialog sebagai penjelas.
Tengok saja sekuen pembukanya, yang memperlihatkan Kartika dewasa (Mawar de Jongh) mengunjungi satu per satu teman sel sang ayah. Lebih banyak terjadi obrolan di situ. Bahkan Kartika sempat menjelaskan kenapa ia mengenal puteri salah satu dari mereka. Kehilangan kesubitlan? Ya, tapi wajar, mengingat mayoritas penonton film ini pasti sudah tahu segala peristiwa yang bakal menyusul, sehingga tak perlu lagi memposisikannya sebagai misteri.
Satu yang mengganggu adalah selipan humor ketika beberapa mantan napi berebut memeluk Kartika. Bukan sebatas didasari rindu, tapi karena ia cantik. Bukankah mereka sudah seperti figur ayah baginya semasa kecil? That's creepy.
Makan waktu cukup lama sampai akhirnya kita dibawa memasuki sel bersama Dodo. Lebih dari 30 menit (versi Korea sekitar 15 menit). Ada kesan naskahnya ingin membuat tiap elemen jadi senjata penguras air mata, termasuk hal-hal di luar kasus Dodo maupun kehidupan di penjara. Misal sepintas latar belakang istri Dodo (diperankan cameo yang sangat familiar).
"Semua harus didramatisasi". Begitu prinsipnya. Maka tidak heran ketika tangisan Mawar di ruang sidang dibuat lebih meledak-ledak ketimbang Park Shin-hye. Jika penyutradaraan Lee Hwan-kyung terkesan manipulatif perihal presentasi emosi, Hanung Bramantyo melipatgandakan manipulasi tersebut.
Tidak semua penambahan dan perubahan berujung negatif. Perpindahan kultur ke Indonesia terjadi secara natural (pastor ke guru ngaji, paduan suara gereja ke nasyid, hari-hari jelang Natal ke bulan Ramadhan), sementara, aliran alur jadi lebih rapi, tanpa menyisakan ruang bagi pertanyaan tak perlu. Sekuen penerbangan balon udara kini tampil lebih masuk akal, meski sayangnya keindahan visual yang berjasa menambah dampak emosi justru dilenyapkan. Saya akan membahas soal estetika visualnya lagi nanti.
Mari beralih dulu ke karakter kepala sipir yang diperankan Denny Sumargo. Sisi personalnya diberi ruang eksplorasi, membuat sosoknya tampak lebih rapuh, sehingga makin memudahkan tumbuhnya simpati. Pun transformasi sikapnya pada Dodo berlangsung lebih mulus. Dia tak serta merta percaya (walau hati mulai tergerak) namun sempat bertanya, apakah Dodo benar-benar membunuh si gadis.
Kembali ke persoalan visual. Lee Hwan-kyung membuat sel nomor 7 jadi ruang sempit sebagaimana penjara biasa, tetapi cerah. Bahkan para napi menghias lampu dengan kardus berbentuk bintang. Sedangkan Hanung mengemasnya jadi ruangan gelap nan kumuh. Benar bahwa itu gambaran realistis bagi kondisi penjara Indonesia, tapi Miracle in Cell No 7 adalah film tentang menyelundupkan anak kecil ke sel tahanan. Sebuah kisah di mana ketepatan logika dikesampingkan demi pesan soal harapan dan kebaikan. Realisme sama sekali tak diperlukan.
Dampaknya, momen-momen kebersamaan dalam sel jadi tak sehangat semestinya (serupa dengan dampak ketiadaan visual indah di momen balon udara). Beruntung film ini punya jajaran cast mumpuni. Tora Sudiro sebagai Jaki, Rigen Rakelna sebagai Bewok, Indra Jegel sebagai Atmo, dan Bryan Domani sebagai Bule, semua piawai menangani komedi. Berkat mereka, interaksi karakternya tetap menghibur, biarpun tak se-memorable film aslinya.
Saya belum menyebut Indro Warkop sebagai si kepala geng, karena ia pantas diberi pujian lebih. Inilah penampilan terlucu Indro di luar perannya di film-film Warkop DKI. Ditambah lagi ia mampu memberi kehangatan selaku sosok yang mengayomi Dodo di penjara. Bagaimana dengan Vino sendiri? Saya takkan membahas kesesuaian terkait medis, tapi Vino sanggup bertransformasi dengan baik.
Ada banyak lagi komparasi negatif antara film ini dengan versi Koreanya. Bagaimana kurang maksimalnya pilihan shot serta pemakaian gerak lambat di klimaks yang mengurangi kesan ketidakberdayaan di balik teriakan "Tolong saya!" dari mulut karakternya, dan lain-lain. Tapi sudahlah. Lagipula Miracle in Cell No 7 bukanlah film buruk. Bukan suatu remake memalukan, pun jutaan penonton bakal meneteskan air mata dibuatnya. Apalagi seperti telah dibahas, beberapa perbaikan juga berhasil dilakukan. Hanya saja, sineas kita perlu lebih sering mengonsumsi film atau drama Korea Selatan sebelum "menyentuhnya". Itu saja.
Bg mana yg lebih menguras air mata versi korea apa indo??
BalasHapusMendadak darurat kok belum ada
BalasHapustissue dan bawang
BalasHapusApakah film ini cocok diberi rating semua umur? Kok gue agak ragu ya, setelah liat ada beberapa adegan cukup keras/kasar (perkelahian, pemukulan), juga ada kata" kasar yang rasanya kurang pas ditonton anak-anak.
BalasHapusBocah nggak bakal ngeh jokes dewasanya, jadi aman. Kalo kekerasan mungkin ada di garis batas sih
Hapus"Beberapa kelemahan film aslinya mampu ditangani, namun di saat bersamaan tercipta pula deretan kelemahan baru."
BalasHapusTypo ga itu bang? Keliatan baru kah maksud nya?
Enggak kok. Bener itu. Emang nambal kelemahan versi Korea, tapi ada kelemahan baru
HapusQosidah sih lebih tepatnya bang, kalo nasyid itu grup musik buat laki-laki
BalasHapusuntungnya hukum yang diterapkan dalam film ini bukan hukum asli...kalau asli, pasti banyak yang gugat ini film...ini film keren seperti roller coaster...ketawa menangis gantian sekaligus bersamaan
BalasHapusYang paling disuka : Ceritanya ngalir enak dan hampir ga ada unsur yang sia2. Hampir semua hal di ujung udah di-planting dr awal. Akting Vino, kayaknya ini akting Vino paling kusuka dr semua yg udah pernah kutonton.
BalasHapusYang paling ga disuka : Gelap dan kuning bgt zzz. Adegan di pengadilan terlalu dramatisasi trus ujug2 kasusnya menang padahal ga dijelasin ada bukti konkret juga.
Apa arti dari kesubitlan? Apakah typo?
BalasHapusmerajai menguasai semua layar bioskop
BalasHapustembus 5 juta penonton...
BalasHapusmasih bertahan di layar bioskop
BalasHapusMenurut saya sih cuma 2 bintang, pengabaian logika terutama pada proses pengadilan dan penyelundupan anak ke lapas, alur yang lompat2, sudah cukup membuat saya agak malas untuk menonton. Deretan castnya yg luar biasa pun, tidak mampu membuat sy untuk menerima pengabaian logika yang dieksekusi kurang mulus. Mungkin sy pelit untuk baper, sayang banget budget dan deretan cast yg sangat baik tidak digunakan untuk membuat cerita baru yg orisinil.
BalasHapusSetuju banget. Sepanjang film saya gemas karena merasa "dipaksa untuk sedih", tapi susah utk bs merasa sedih kalau adegannya tidak logis. Untuk genre drama, lebih realistis Noktah Merah. Alur cerita, eksekusi dan akting yang super kuat justru effortlessly bikin saya "baper" tanpa dipaksa.
HapusAku setuju.. menurutku jg 2 bintang.. tp aku nontonnya nangis kok.. klo boleh jujur, aku kesal sama aktingnya :'( padahal aktornya bagus2.. apakah Hanung lg baik? Kok omongannya denny kecepatan ga di cut?? Selain itu aku setuju sama semua pernyataan mas rasyid..
Hapuswow masih tayang ini film....
BalasHapus