"Bang, aye Mumun bang..."
Satu kalimat di atas bisa membantu mengira-ngira, apakah anda bakal terhibur oleh Mumun atau tidak. Jika pernah, atau bahkan sering secara langsung mendengarnya dari layar kaca, maka ya, film ini untuk anda. Tapi kalau kurang familiar, atau sebatas pernah membacanya di artikel internet, mungkin Mumun hanya akan jadi humor receh penuh banyolan cringey.
Saya termasuk golongan pertama, karena tumbuh bersama sinetron Jadi Pocong (2002-2003) yang jadi sumber adaptasinya. Bersama teman-teman, kami kerap saling menakut-nakuti, "Awas nanti didatangi pocong Mumun!". Nama Mumun memang sedemikian ikonik. Wajar Baginda KKD ngotot memakainya sebagai judul, biarpun Mandra, selaku kreator sinetronnya, sempat khawatir. Alasannya, sosok Mumun yang menjadi pocong memang sungguh nyata. Setidaknya menurut cerita yang beredar di Cibubur pada 1970-an.
Artinya, kisah Mumun berangkat dari mulut masyarakat. Sehingga wajar tatkala Mandra mendesain sinetronnya juga sebagai hiburan masyarakat. Adaptasi layar lebarnya mempertahankan semangat serupa. Alih-alih ruang gelap, tragedi berdarah, atau kengerian, Mumun dibuka di siang bolong, dalam sekuen komedik yang ditutup oleh....."Ribeeet pade ribet".
Tahu lanjutan potongan lirik di atas beserta nadanya? Silahkan tonton Mumun.
Acha Septriassa memerankan Mumun dan Mimin, yang meski kembar, punya perilaku bertolak belakang. Mumun gadis kampung rendah hati yang mengurus warung sembari merawat kedua orang tuanya. Sebentar lagi ia bakal menikahi kekasihnya, Juned (Dimas Aditya). Sedangkan Mimin mengadu nasib ke Jakarta guna mewujudkan impiannya sukses sebagai "orang kota".
Malang, tragedi menimpa Mumun. Akibat ulah penagih utang bernama Jefri (Volland Humonggio), ia tewas tertabrak truk. Jasadnya dikebumikan, namun akibat Husein (Mandra), si tukang gali kubur, lalai membuka tali kain kafan, Mumun pun bangkit sebagai pocong yang menebar teror di seisi kampung.
Selain kalimat yang membuka tulisan ini, satu kekhasan Mumun lainnya adalah sorot mata hijau miliknya. Selaku sutradara, Rizal Mantovani menyadari ciri tersebut, lalu membuat warna hijau mendominasi hampir di tiap shot, entah melalui pencahayaan, busana, maupun properti. Tidak harus properti besar. Pot, jam, sampai botol pun bisa, asalkan warna hijau sesedikit mungkin absen dari layar.
Departemen artistik Mumun memang bekerja dengan baik. Tata rias pocong Mumun (ditangani Yonna Kairupan) salah satunya. Mukanya hancur, mengerikan, tapi tetap meninggalkan sisa-sisa kemanusiaan di rautnya. Poin itu penting, sebab Mumun bukan sepenuhnya monster. Dia manusia, yang kembali sebagai monster, karena amarah tak terbalaskan. Tata riasnya turut menegaskan bahwa film ini mampu memodernisasi karya legendaris tanpa perlu terkesan sok edgy (hati-hati Jin dan Jun!).
Tapi tidak semua elemen artistiknya tampil mulus. Di satu titik, Juned membaca berita mengenai penampakan pocong Mumun di sebuah panggung jaipong. Berita itu menyertakan foto, dalam sudut yang mustahil diambil di tengah kejadian (karena memang asal mencomot shot adegannya).
Persoalan "tidak selalu mulus" juga menimpa penyutradaraan dan naskah. Di kemunculan perdana pocong Mumun, Rizal Mantovani secara cerdik mengganti musik berisik dalam presentasi jump scare dengan teriakan menyeramkan. Sayang, setelah itu ia beralih ke trik penampakan klise, walau beberapa di antaranya memang efektif memancing rasa kaget.
Naskah buatan Dirmawan Hatta (Bulan di Atas Kuburan, Mangkujiwo) bermasalah dalam hal penuturan drama. Dirmawan seolah kebingungan mana yang mesti diutamakan. Konflik keluarga? Perjuangan individu menggapai mimpi? Persoalan kabar burung antar warga? Semua dipaksa menyatu tanpa pendalaman memadai. Cukup disayangkan, mengingat seperti biasa, Acha menampilkan akting dramatik yang solid.
Keunggulannya, Dirmawan paham betul model "hiburan rakyat" ala sinetronnya, menyuntikkan humor receh, dengan kuantitas yang cukup untuk membuat filmnya layak disebut "horor komedi". Mayoritas berasal dari trio anak buah Jefri (diperankan Ence Bagus, Beddu, dan Fajar Nugra). Bagi yang tak familiar dengan Jadi Pocong atau hiburan televisi lain di masanya, mungkin bakal menganggapnya cringey, tapi sekali lagi, inilah upaya mengikuti jiwa materi aslinya.
Mumun berhasil melestarikan sebuah karya legendaris. Memuaskan, namun bukan sebuah kejutan. Tahukah anda apa kejutan sebenarnya? Setelah 15 tahun dan 48 judul, Baginda KKD akhirnya memproduksi film yang patut disebut "layak". Pesan moralnya: TIDAK ADA YANG MUSTAHIL!
Film Dee Company paling bener sejauh ini ๐
BalasHapusanomali film yang luarbiasa...film indonesia muncul di layar bioskop pasca pandemi dengan beraneka ragam tema dan alur cerita bahkan film mumun ini film berformat sinetron di layar bioskop sama dengan kejadian yang menimpa masyarakat indonesia sehari-hari...plot twist di akhir cerita sudah pasti membuat film ini punya kelanjutannya....MUMUN VERSUS JEFRI
BalasHapusCukup terganggu dgn dialog Acha & Dimas, kayak kurang mendalami dialek Betawi nya gitu, terkadang pas, terkadang maksain
BalasHapusLumayan ada comedy horror, let's go nonton.
BalasHapustunggu film SIKSA NERAKA....adegan film dari komik porn dan gore yang masa bocil bikin trauma
BalasHapusPesan moral yg luar biasa ๐
BalasHapusAll haill KKD
BalasHapusKemungkinan Baginda KKD udah tau kalau pasar film horor esek2 udah mati
BalasHapusKpn review beast nih, hee
BalasHapuskkD teh saha, tak gogling ora muncul
BalasHapusSemakin sedikit anda mengetahui semakin baik.
HapusLagian itu orang acha acha nehi nehi kenapa bisa prduksi film di indo, balik ke negri vrindavannya aja.
BalasHapusluar biasa film indonesia berjaya di negeri sendiri...keren
BalasHapusBeberapa kesan saya setelah menonton film ini:
BalasHapus1. Baru nyadar Acha Septriasa awet muda banget anjirrr! Peran Mumun aja diceritainnya kelahiran 2001 (12 tahun lebih muda dr usia Acha sebenernya).
2. Eddies Adellia seharusnya dapet scene lebih banyak (misal ikut dalam hiruk pikuk warga saat adegan teror Mumun)
3. Film ini memanfaatkan talent2 yang underrated seperti Atet Zakaria, Oce Permatasari, dan Sabar Bokir. Mereka layak dapat publisitas lebih sebagai pekerja seni peran.
4. Beddu resmi menyandang predikat "aktor film" lewat film ini. Sebelum2nya ia sudah beberapa kali hanya jadi cameo atau peran besar di film2 kelas B. Bagi saya Beddu adalah salah satu dari segelintir komedian televisi non-komika yang akhirnya diakui di dunia layar lebar.
5. Volland Humonggio akhirnya dapat peran dominan lagi setelah bertahun2.
6. H.Mandra benar-benar memperoleh penghormatan besar, terlepas dari segala kekurangan di film ini, film ini adalah bukti bahwa karya2 Mandra di dunia hiburan punya tempat tersendiri di hati masyarakat.
Anak2 yang besar era 2000an punya kenangan banget ama pocong mumun 1 ini, sempet takut nnton versi tv seriesnya apalagi pas udah ada pocong jeffri.. Mau bagus apa enggak, gue tetep nilai dari kenangan era2 SD
BalasHapusFilm lumayan bagus, saya nilai 7/10, tpi sayang kurang laku engga sampai 1juta penonton...
BalasHapusmumun bagian ke-2....
BalasHapusMas Rasyid bisa kasih analisa kenapa film mumun tidak tembus 1juta penonton.
BalasHapusfilmnya creepy
BalasHapus