10/09/22

REVIEW - PINOCCHIO

0 View

Menonton Pinocchio seperti menyaksikan pertunjukan boneka kayu, yang dipahat dengan penuh keterampilan, begitu indah. Sayangnya Peri Biru lupa menghembuskan jiwa ke dalam tubuh si boneka. Mata terbuai dibuatnya, namun hati ini nyaris tak tergerak. 

Ditangani oleh sutradara Robert Zemeckis, yang selama empat dekade berkarir memang akrab dengan eksperimen visual, filmnya sudah terlihat memukau sejak menit-menit awal, kala Jiminy Cricket (Joseph Gordon-Levitt) tampak berjalan tak tentu arah di tengah hujan. Jiminy adalah karakter CGI yang amat "hidup". 

Jiminy tiba di kediaman Geppetto (Tom Hanks), seorang pemahat yang tinggal menyendiri, hanya ditemani Figaro (kucing) dan Cleo (ikan). Istri beserta puteranya telah meninggal. Rumah Geppetto dipenuhi jam kukuk, yang tiap berbunyi mengeluarkan figur-figur karakter Disney. Sekali lagi visualnya memikat. Bukan sebatas rumah atau ruang kerja, melainkan bak tempat di mana keajaiban dapat terjadi. 

Keajaiban akhirnya benar-benar terjadi. Boneka kayu yang Geppetto desain berdasarkan mendiang puteranya dan diberi nama Pinocchio, mendadak hidup. Peri Biru (Cynthia Erivo dalam balutan gaun cantik beralirkan cahaya) mengabulkan doa si pria tua dengan memberinya "putera baru". Peri Biru berjanji bakal mengubah Pinocchio jadi anak manusia sungguhan, jika ia bisa bertindak berani, jujur, dan tidak egois. Jiminy ditunjuk sebagai hati nurani Pinocchio guna membantu si boneka kayu mencapai tujuan tersebut. 

Berikutnya, rentetan petualangan yang secara garis besar masih sejalan dengan versi animasinya (dirilis 1940, berstatus animasi kedua produksi Walt Disney), berturut-turut menghadirkan ujian bagi Pinocchio. Tipu daya Honest John (Keegan-Michael Key) yang menggiring Pinocchio menuju perbudakan Stromboli (Giuseppe Battiston) si puppeteer kejam, Coachman (Luke Evans) yang membawanya ke Pleasure Island tempat segala tindakan buruk diperbolehkan di tengah kemeriahannya, hingga monster laut raksasa yang menelan Pinocchio dan Geppetto. 

Sekali lagi, kalau membicarakan visual, film ini tanpa cela. Seringkali film yang mempertemukan karakter nyata dan CGI, punya titik di mana salah satu jenis karakter tampak terpisah dari dunianya. Pinocchio berbeda. Karakter dan lingkungannya menyatu. Seperti tanpa sekat antara realita dengan rekayasa komputer. 

Masalahnya semua itu hanya kulit luar. Di ranah lebih substansial, naskah buatan Zemeckis dan Chris Weltz sejatinya menerapkan modifikasi yang menarik sekaligus relevan. Muncul penegasan bahwa seluruh progres Pinocchio tercapai berkat dirinya sendiri, bukan campur tangan "higher power". Ada pula modernisasi dalam pesan perihal jati diri. 

Zemeckis dan Weltz tahu apa yang mesti dipelajari tokoh utamanya. Keberanian, kejujuran, selflessness. Tapi naskahnya tidak tahu bagaimana mengomunikasikan tiga poin tersebut. Mungkin otak kita bisa menangkap mana tindakan Pinocchio yang mencerminkan masing-masing poin di atas, namun hati akan sulit meresapinya. Penyebabnya adalah penuturan yang buru-buru. 

Pinocchio seperti karyawan yang bekerja sambil dikejar deadline, sebatas menuntaskan checklist, tanpa memahami apa sesungguhnya yang ia kerjakan, juga mengapa ia mengerjakan itu. Baik naskah atau pengarahan Zemeckis merupakan perwujudan nyata dari "melupakan substansi". Itu pula alasan sekuen transformasi Pinocchio dan para anak-anak di Pleasure Island tak semengerikan versi aslinya, biarpun mengandung beberapa elemen visual khas horor. 

Kemudian mengenai jati diri. Di kelompok boneka Stromboli, Pinocchio bertemu karakter baru bernama Fabiana (Kyanne Lamaya), seorang puppeteer sekaligus mantan balerina yang kakinya mengalami cedera permanen. Agar dapat berjalan, Fabiana memakai alat bantu. Fabiana sama seperti Pinocchio. Dipandang "tidak sempurna". Tidak utuh. Film ini berpesan bahwa kesempurnaan dan keutuhan bukan berasal dari fisik, melainkan hati. 

Sebuah pesan sederhana tetapi sangat bermakna. Saya pun menyukai secuil perubahan tersirat di konklusinya, yang senada dengan pesan tersebut. Betapa kesempurnaan tidak melulu persoalan fisik. Sebuah modifikasi yang saya harapkan juga dimiliki The Little Mermaid tahun depan. 

Tapi naskahnya gamang, terjebak di antara tuntutan mengikuti sumber adaptasi dan membawa perubahan. Pinocchio versi film ini lebih mandiri. Dia sanggup memecahkan setumpuk rintangan berbekal kecerdikannya. Tapi kenapa dengan beragam akal dan trik cerdik itu, ia bisa berkali-kali dimanfaatkan kenaifannya? Atau mari kita balik. Bagaimana mungkin bocah senaif itu mampu mencetuskan sederet trik cerdik? 

Pinocchio hanya akan jadi live-action remake yang gagal mengulangi sisi magis animasinya andai tidak ada Tom Hanks. Sang aktor membawa kasih sayang hangat. Doa sepenuh hatinya, teriakan bahagianya, nyanyian mengharukan tatkala dikaruniai putera baru, tiap Hanks mengisi layar, emosi filmnya berlipat ganda. Selain visual indah filmya, Hanks jadi alasan Pinocchio masih layak disimak. Walaupun karya klasik ini, yang luar biasa penting sampai lagunya (When You Wish Upon a Star) dipakai mengiringi logo Disney sebelum seluruh film mereka dimulai, seharusnya mendapat penghormatan yang lebih baik.

(Disney+ Hotstar) 

5 komentar :

  1. Anonim11:24 PM

    Ada akun Letterboxd gak bang?

    BalasHapus
  2. Anonim1:47 PM

    Masih berharap film ini bisa tayang di bioskop

    BalasHapus
  3. Anonim12:27 PM

    film tayang di bioskop saat jam tayang malam, segera tonton ini film....

    BalasHapus
  4. Anonim1:14 AM

    Baru nyadar when u wish upon a star itu lagu disney yg diangkat dr pinokio. Menurutku hampir mirip kartunnya yg tahum 1940 waoww

    BalasHapus