29/09/22

REVIEW - SMILE

0 View

Kita kerap didorong untuk memendam emosi negatif. Jika berada di ruang publik bersama orang lain saat tengah bersedih, tersenyumlah agar tidak merusak suasana. Bahkan ketika bersedih dalam kesendirian pun, kita disarankan tersenyum supaya emosi negatif tidak menggerogoti hati.  "Don't be sad cause everything's gonna be okay". Tapi benarkah toxic positivity semacam itu dapat menyembuhkan, atau justru menghasilkan luka berkepanjangan? 

Parker Finn mengembangkan film pendek buatannya, Laura Hasn't Slept (2020), jadi penelusuran tentang trauma, serta upaya merepresinya, yang alih-alih menguatkan, malah menghancurkan. Caitlin Stasey kembali memerankan Laura, pasien Dr. Rose (Sosie Bacon), yang mengalami gangguan kecemasan setelah melihat sosok misterius yang tersenyum ke arahnya. 

Sesi konsultasi itu berakhir tragis. Laura bunuh diri di hadapan Rose. Anehnya, sejak peristiwa tersebut Rose mulai menderita gejala serupa Laura. Dari situlah naskah buatan Finn membawa Rose menjalankan investigasi soal misteri kematian Laura, yang turut membawanya kembali menengok ke masa lalunya sendiri. 

Melalui debut penyutradaraan film panjangnya ini, Finn kentara berambisi ingin menghadirkan horor yang berbeda, sambil tetap melangkah di arus utama dengan tak mengasingkan penonton awam yang mencari teror seru. Finn benar-benar ingin bercerita, walau dalam eksekusinya, upaya itu tak selalu berjalan mulus.

Smile punya lebih banyak layer serta isu untuk dibicarakan ketimbang mayoritas horor arus utama, meski layer-nya tak sedemikian mendalam, sementara caranya membicarakan isu tak seberapa pintar. Bagaimana trauma menyebar dengan mengambil wujud senyuman adalah gagasan tajam sekaligus relevan. "Senyum palsu" tak mengobati apa pun. Kelak naskahnya juga memperkenalkan cara memutus kutukan, yang mewakili kondisi destruktif, kala individu meluapkan kekacauan pikirnya dengan mengacaukan orang lain.

Semua bakal makin efektif, kalau Finn tak berlama-lama berputar di usaha Rose meyakinkan orang-orang di sekitarnya, mulai dari Trevor (Jessie T. Usher) si tunangan, hingga Holly (Gillian Zinser) si kakak, yang bersikap skeptis terhadap cerita si tokoh utama. Bukannya tanpa maksud. Finn hendak menggambarkan kegagalan orang terdekat mendengarkan isi hati individu penderita gangguan mental, namun presentasinya repetitif, pula cenderung draggy, biarpun penampilan solid Sosie Bacon sebagai sosok yang mengalami penderitaan mental selama 24/7, mampu menjaga kestabilan dramanya. 

Dibantu sinematografi garapan Charlie Sarrof, Finn melahirkan horor stylish lewat beberapa camerawork unik, walau pada akhirnya, tetap bergantung ke metode klasik untuk urusan menakut-nakuti: jump scare berisik. Klise, tapi harus diakui cukup efektif, apalagi berkat timing tata suara yang tepat. Mungkin selain fakta bahwa tak seluruh penampil punya senyum seseram Caitlin Stasey, dosa terbesar filmnya adalah mengungkap jump scare paling menyeramkan di trailer. 

Klimaksnya apik (mengingatkan ke ending salah satu horor Inggris paling berpengaruh dari pertengahan 2000-an), sedikit menyentuh ranah creature feature berbalut efek visual mumpuni, pilihan shot disturbing, juga subteks perihal isunya, tentang bagaimana kita mesti berani menghadapi trauma.....walau itu pun tak selalu berjalan sesuai harapan. Karena sekali lagi, menghapus luka tak sesederhana menyunggingkan senyum. Andai durasinya cuma sekitar 90 menit. 

7 komentar :

  1. Anonim8:14 PM

    endingnya keren banget....wajib nonton

    BalasHapus
  2. Anonim8:15 PM

    anjir...disturbing gemes banget lihat kelakuan rose

    BalasHapus
  3. Anonim8:15 PM

    pacu jantung ini film

    BalasHapus
  4. Anonim8:21 PM

    aje gile ada monster nya....

    BalasHapus
  5. Anonim12:39 PM

    keren ini film....gasssss

    BalasHapus
  6. Anonim12:09 PM

    bersambung......

    BalasHapus