REVIEW - WATCHER
Watcher merupakan thriller psikologis yang klise. Tiap sisi alurnya familiar, termasuk twist di babak akhir. Apa yang Chloe Okuno, selaku sutradara sekaligus penulis naskah lakukan, adalah menggali relevansi dari keklisean tersebut. Modifikasi mungkin tak perlu dilakukan, bila yang diangkat masih kerap ditemui di realita.
Julia (Maika Monroe) pindah ke Bukares, Rumania, guna mengikuti sang suami, Francis (Karl Glusman), yang mendapat pekerjaan baru. Ibu Francis berasal dari sana, sehingga ia fasih berbahasa Rumania, tapi tidak dengan Julia. Setiap hari ia ditinggal sendirian di apartemen yang sempit, tanpa teman, tanpa aktivitas berarti, sementara Francis bekerja. Interaksi hanya terjadi antara ia dan Irina (Mãdãlina Anea) is tetangga sebelah.
Selain kesepian, Julia juga merasakan ketakutan, setelah melihat sesosok pria dari apartemen seberang tengah mengawasinya dari jendela. Bahkan di luar pun Julia merasa diikuti. Kecemasan bertambah, kala terjadi kasus pembunuhan terhadap wanita yang tinggal di dekat tempat tinggalnya. Diutarakan kekhawatiran itu pada Francis, namun si suami menyiratkan ketidakpercayaan. "Maybe he's staring at the woman who's staring at him", ucap Francis.
Menyusul berikutnya adalah rentetan momen-momen yang entah sudah berapa kali kita temui di film-film bertema serupa. Julia terlibat cekcok dengan merekayang skeptis soal ceritanya, obligatory dream sequence, dan lain-lain. Watcher bukan seperti Rear Window (1954) yang memakai teknik rumit perihal membangun tensi. Penyutradaraan Okuno cenderung textbook, misal memelankan tempo saat build up, atau memperdengarkan musik atmosferik.
Tapi semua itu efektif. Watcher takkan membuat jantung kita serasa mau copot, tidak pula membawa terobosan baru di ranah eksekusi, namun gedoran mendadak di pintu, penampakan siluet yang melambaikan tangan dari gedung seberang, pula rasa sesak, karena sebagaimana Julia, kita menghabiskan banyak waktu dalam kamar sempit berwarna suram dengan perabot ala kadarnya, efektif menjaga atensi penonton.
Apa yang membuat Watcher menarik justru subteksnya, ketika secara jelas tanpa harus "berteriak", Okuno melempar isu gender melalui kondisi protagonisnya. Julia teralienasi akibat benturan bahasa. Di meja makan, sewaktu Francis mengundang rekan kerjanya makan malam, Julia cuma bisa terdiam di tengah riuh rendah obrolan.
Pertanyaannya, andai tiada tembok bahasa, apakah situasi Julia membaik? Apakah keluh kesahnya lebih didengar? Mari beralih sejenak ke fenomena yang lebih dekat. Perempuan merasa takut berjalan sendirian, bahkan sebelum matahari terbenam, akibat banyaknya gangguan di ruang publik, dari catcalling hingga pelecehan fisik. Sudah sering ketidaknyamanan dan ketakutan tersebut diangkat, namun tidak jarang, respon yang terkesan menggampangkan, bahkan meremehkan dengan cara menjadikannya bahan bercandaan (terutama dari laki-laki) justru didapat.
Watcher menyentil persoalan di atas. Bagaimana perempuan sebagai korban jarang didengar, bagaimana laki-laki yang tak memahami rasa khawatir yang menghantui tiap hari memandangnya bak angin lalu, atau malah kisah seru. Pula bagaimana pepatah "mati satu tumbuh seribu" berlaku dalam upaya pemberantasan masalahnya.
Satu hal yang jauh dari kesan klise dalam film ini adalah konklusinya. Karakternya mengambil langkah cerdas, yang selama ini sering saya harapakan diambil oleh karakter dari film horor atau thriller. Kalau diperhatikan, langkah itu selaras dengan latar belakang karakternya.
(Shudder)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar