04/10/22

REVIEW - THE OUTFIT

0 View

Film gangster tidak pernah jauh-jauh dari racketeering, mengeliminasi lawan, baku tembak di jalanan, dan sebagainya, yang terjadi di tiap sudut kota. Dunia tempat The Outfit berlatar punya segala hal tersebut, hanya saja, kita tak pernah menyaksikannya langsung. DNA Rope (1948) karya Alfred Hitchcock mengalir dalam debut penyutradaraan Graham Moore (sebelumnya menulis The Imitation Game) ini, yang mengubah formula klasik film gangster jadi thriller psikologis berlokasi tunggal.

Chicago, 1956. Leonard Burling (Mark Rylance), seorang penjahit jas asal Inggris yang lebih suka disebut "cutter" mengelola toko di area yang dikuasai oleh gangster Irlandia yang dipimpin Roy Boyle (Simon Russell Beale). Burling dibantu oleh sang resepsionis, Mable Shaun (Zoey Deutch), yang meski memedulikan si pria tua, sulit mencintai pekerjaannya, dan berharap bisa segera meninggalkan Chicago untuk berkeliling dunia. 

"Di mata orang awam, setelan cuma terdiri dari jas dan celana panjang. Tapi keduanya pun terbuat dari empat bahan, yakni katun, sutra, mohair, dan wol. Keempat bahan itu dipotong jadi 38 bagian terpisah. Proses mengukur, membentuk, dan menyatukan bagian-bagian itu melewati tidak kurang dari 228 langkah". Voice over yang Burling ucapkan dengan tenang tapi pasti tersebut membuka The Outfit. Karakter si pria Inggris seketika tergambarkan. Seorang gentleman yang memperhatikan detail, telaten, teliti, dan terpenting, mampu melihat persoalan secara mendalam.

Walau bicara sedemikian panjang, sejatinya Burling lebih sering diam. Termasuk saat tokonya jadi tempat penyimpanan "uang panas" milik para gangster. Setiap hari, Richie (Dylan O'Brien), putera Roy, datang bersama orang kepercayaan ayahnya, Francis (Johnny Flynn), guna mengambil uang di ruang kerja Burling, yang cuma fokus menjahit. Sampai suatu malam, Francis datang membawa Richie yang berlumuran darah, setelah terlibat adu tembak dengan geng lawan, LaFontaine. Di waktu bersamaan, polisi turut berpatroli mencari keberadaan mereka. 

Moore membentuk The Outfit layaknya si protagonis. Tenang, rapi, hati-hati. "Mannered". Kerapian dan keteraturan itu memunculkan kesan yang menghipnotis. Bahkan selepas kedatangan Francis dan Richie, yang jadi awal malam panjang nan berdarah. Latarnya menetap di toko Burling. Satu demi satu masalah terungkap, kecurigaan antar individu meningkat, sementara intensitas konsisten dijaga. 

The Outflit bak setelan berkelas yang lahir dari tangan gentleman dengan craftmanship kelas satu, tidak asal menusukkan jarum dan benang, tapi secara perlahan mengukurnya dengan presisi tinggi. Hasilnya intens. Bahkan beberapa twist yang sejatinya dapat tercium sejak awal pun terasa seru, karena penuturannya menghanyutkan miliknya. 

Tapi Graham Moore bukan gentleman yang kaku, sebagaimana Burling yang tidaklah saklek, mau menyesuaikan tiap setelan dengan karakteristik masing-masing konsumen. Filmnya cenderung serius, membawa persoalan kelam, namun menyisakan ruang bagi selipan humor. Berkatnya, The Outfit tampil dinamis, jauh dari kesan monoton walau hanya berlatar di satu toko yang tak seberapa luas. 

Rylance sempurna melakoni peran sebagai pria tua elegan sarat tata krama, yang nampak naif dan tidak berbahaya. Tapi benarkah? Rylance membawa teka-teki lewat penampilannya. Apakah ia penjahit polos biasa? Apakah kesopanan tutur katanya memang nyata, atau hasil kalkulasi luar biasa? 

(Prime Video US)

4 komentar :