Saya membuka ulasan Enola Holmes (2020) dengan mengutip kalimat bernada seksis yang diucapkan Sherlock Holmes di novel The Sign of the Four (1890). Sejak awal, adaptasi seri novel The Enola Holmes Mysteries karya Nancy Springer itu memang bertujuan merombak nilai konservatif dunianya. Enola Holmes 2 lebih lantang meneriakkan empowerment, dalam sebuah sekuel yang mengungguli pendahulunya di tiap lini.
Sebagai penegas, kali ini kisahnya bukan didasari novel milik Springer, melainkan sebuah peristiwa bersejarah, yakni aksi mogok kerja para buruh wanita pabrik korek Bryant & May pada tahun 1888. Salah satu pemimpin gerakan itu adalah Sarah Chapman, yang vokal meneriakkan kesetaran gender. Film ini berpusat pada hilangnya Sarah.
Adik Sarah, Bessie (Serrana Su-Ling Bliss), melaporkan hilangnya sang kakak pada Enola (Millie Bobby Brown), yang kini telah membuka kantor detektif sendiri. Seiring penyelidikan, Enola menyadari ini bukan kasus orang hilang biasa. Terlebih saat muncul dugaan adanya kaitan dengan kasus yang tengah diusut oleh kakaknya, Sherlock (Henry Cavill).
Porsi Sherlock ditambah. Keputusan masuk akal bila dipandang melalui perspektif finansial. Kebintangan Cavill memang diperlukan agar Enola Holmes 2 melebihi, atau minimal mendekati pencapaian film pertama yang mengumpulkan 76 juta penonton dalam empat minggu. Tapi dari sisi kualitas, bertambahnya porsi Sherlock bisa mendistraksi substansi cerita tentang Elona. Tentang wanita.
Untunglah naskah garapan Jack Thorne mampu membawa keseimbangan. Sherlock makin eksis tanpa mencederai nyawa cerita. Sebuah sekuen prison break jadi contoh nyata. Bahkan aktifnya keterlibatan Sherlock justru memperkuat pesan utama naskahnya, bahwa "mandiri" bukan berarti "selalu sendiri".
Berkat didikan sang ibu, Eudoria (Helena Bonham Carter), Enola tumbuh mandiri. Saking mandirinya, ia merasa tak memerlukan bantuan orang lain, termasuk Sherlock. Terlibat percintaan dengan Tewkesbury (Louis Partridge) pun ia ragu. Di sinilah Enola mulai menyadari kekeliruan pikir itu. Menerima uluran tangan Sherlock bukanlah wujud kelemahan. Sedangkan bagi Sherlock (yang juga ngotot bekerja sendiri), interaksi intens dengan Enola, yang punya kepribadian berlawanan, pelan-pelan menumbuhkan kebaikan di hatinya.
Cavill melahirkan versi Sherlock paling hangat di era modern, sementara di tangan Millie Bobby Brown, Enola bakal selalu jadi idola di mata orang-orang yang lelah pada segala tetek bengek sopan santun period drama (termasuk saya).
Melempar berbagai pesan empowerment bukan berarti Enola Holmes 2 melupakan jati diri sebagai kisah detektif. Sebagaimana si protagonis, saya pun merasakan excitement kala jawaban misterinya, yang melibatkan beragam teka-teki serta kode rahasia, perlahan terungkap. Pengarahan bertempo tinggi dari Harry Bradbeer selaku sutradara, memfasilitasi gaya tuturnya yang penuh liku dan twist, menambah keseruan Enola Holmes 2. Sebuah kisah detektif progresif berlatar dunia konservatif, di mana dalam selipan romansanya, si pria mengajari si wanita menari, sementara si wanita mengajari si pria berkelahi.
(Netflix)
First time watching netflix? Hahahaha
BalasHapusGasuka nih film, predictable parah. Mana Moriarty nya di swap race sama gender lagi. 5/10 menurut ane.
BalasHapus