15/11/22

REVIEW - RODA-RODA NADA

0 View

Terlihat sekelompok grup gerobak dangdut tampil di pinggir jalan-jalan Jakarta. Vokal, gitar, bas, perkusi, tamborin, semua lengkap. Volume pun diset cukup tinggi. Tapi di tengah bising kemacetan ibukota atau suara laju kereta, nada-nada itu acap kali tenggelam. 

Bayusta. Itulah nama grup tersebut, yang dipimpin oleh Ubay. Di usia kepala lima, sudah berpuluh-puluh tahun Ubay bermusik di jalan. Sang istri, Iyus, mengisi posisi vokalis. Beberapa rekan masih bertahan, tapi ada pula yang karirnya makin moncer dan bergabung bersama Soneta milik Rhoma Irama. 

"Dia nggak berkembang", kata Ubay mengomentari kemampuan sang gitaris yang masih bertahan dalam grupnya. Ubay mencintai profesinya. Baginya, grup dangdut keliling yang kini nyaris punah, turut berkontribusi menyebarkan dangdut di kalangan masyarakat menengah ke bawah. Tapi bukan berarti ia mau "gitu-gitu aja". Ubay ingin berkembang. Di situlah terpikir ide untuk merekam album. 

Setelah Balada Bala Sinema (2017) dan Nyanyian Akar Rumput (2018), Yuda Kurniawan kembali menghadirkan dokumenter yang memberi ruang untuk kaum pinggiran agar suara mereka lebih terdengar. Tapi Yuda tidak pernah mengeksploitasi. Baginya kemiskinan (atau bentuk penderitaan apa pun) bukan hal seksi yang bisa diperah demi rekognisi pribadi. Itu pula alasan sang sutradara menghapus momen pertengkaran Ubay dan Iyus (atas permintaan subjek), walau berujung mengurangi dinamika film. Sinema tidak lebih berharga daripada manusia. 

Selama proses merencanakan album, banyak obrolan terjadi di kediaman Ubay. Rumah yang amat sederhana. Bahkan temboknya telah menghitam. Tapi apakah Yuda menjadikan tembok itu sorotan utama? Tidak. Begitu pun saat grup Bayusta memulai proses rekaman mereka di studio ala kadarnya milik Didit. Sebatas ruang kecil dengan peralatan seadanya, termasuk komputer Pentium 4. Kemiskinan sebatas latar. Fokusnya adalah, bagaimana di antara keterbatasan mereka, subjeknya menolak berkecil hati. 

Dan mereka memang tidak perlu berkecil hati. Ubay dan kawan-kawan mungkin bukan orang yang betul-betul melek perihal industri. Meraih ketenaran lewat ajang pencarian bakat dianggap lebih penuh perjuangan ketimbang yang "langsung" masuk dapur rekaman. Tapi mengenai passion terhadap musik, mereka boleh diadu. Poin terbaik Roda-Roda Nada (punya judul internasional The Tone Wheels) selalu muncul kala manusianya berinteraksi membicarakan musik. Para anggota Bayusta adalah subjek yang menarik, sebab obrolan mereka tentang musik cenderung bersifat aplikatif ketimbang teoritis. Penonton bukan disuguhi perspektif ideal atau bahasan textbook membosankan, melainkan realita. 

Sayangnya, Roda-Roda Nada agak bermasalah dalam hal dinamika. Yuda Kurniawan adalah pecinta dangdut klasik. Itu alasannya tertarik membawa kisah Bayusta ke layar lebar. Selain demi mempromosikan karya grup dangdut keliling itu, Yuda pun ingin menuangkan kecintaannya. Kecintaan itu seringkali membuat filmnya bak lupa diri, terhanyut dalam lantunan nada, yang lebih banyak mengisi penceritaan melalui rangkaian montage aksi panggung musisi dangdut daripada dinamika individu. 

Cara Yuda menghadirkan dampak emosi juga tidak selalu sukses. Momen saat Bayusta akhirnya merampungkan album mereka lebih tampak seperti kepalsuan yang dibuat-buat ketimbang realita menggugah. Justru deretan pemandangan sederhana miliknya jauh lebih menyentuh. Misal sewaktu karakternya mendorong gerobak di jalan menanjak. Mereka kelelahan, sampai ada yang rehat sejenak akibat kehabisan napas. Tapi mereka terus tersenyum, menjadikan kelelahan itu sebagai cara bersenda gurau. 

Roda-Roda Nada mungkin bukan karya terbaik seorang Yuda Kurniawan, tapi filmnya meraih pencapaian yang tidak kalah (atau malah lebih) penting dibanding menjadi "mahakarya sinema". Di tengah kebisingan ibukota, ia menjaga agar nada-nada musisi jalanan tidak tenggelam dan terus berputar, bergulir seiring perkembangan zaman. 

(Festival Film Dokumenter 2022)

2 komentar :