REVIEW - QORIN

Tidak perlu menganalisis terlalu jauh. Qorin sudah gagal memenuhi hal paling mendasar, yakni menghadirkan kisah mengenai qorin. Tapi ketika film terakhir yang naskahnya dibuat oleh Lele Laila mempunyai kata "KKN" di judul walau minim memperlihatkan aktivitas KKN, saya tak lagi kaget mendapati kegagalan di atas.

Kali ini Lele bukannya tidak berusaha. Qorin merupakan naskahnya yang paling "bercerita", bahkan dibanding Ivanna yang jadi peningkatan kecil dibanding biasanya. Pun ada pesan luar biasa penting terkandung dalam alur yang bersentral di sebuah pondok pesantren wanita.

Zahra (Zulfa Maharani) merupakan sosok senior teladan di pesantren Rodiatul Jannah. Ibadahnya rajin, lancar menghafal Al-Qur'an, serta patuh pada perintah para pengajar. Bersama Umi Hanna (Dea Annisa) dan Umi Yana (Putri Ayudya), Ustaz Jaelani (Omar Daniel) memimpin pondok selama kepergian Kiai Mustofa (Pritt Timothy) ke kota. 

Zahra bersahabat dengan dua rekan sekamarnya, Gendhis (Naimma Aljufri) dan Icha (Cindy Nirmala). Zahra juga ditugasi membantu proses adaptasi anak baru bernama Yolanda (Aghniny Haque). Beda dengan gadis lain di sana, Yolanda, dengan rambut merah, perangai sinis, serta pisau lipat yang ia sembunyikan, punya sifat pemberontak. Bukannya menaruh perhatian, Yolanda malah mendengarkan lagu di kelas. Lagu Matraman milik The Upstairs. Pilihan aneh yang punya dampak nihil pada penokohan, dan jelas tak sesuai dengan tone filmnya. 

Teror mulai perlahan muncul setelah Ustaz Jaelani memberi tugas aneh untuk memanggil jin qorin masing-masing santri. Tapi di luar dugaan, Qorin tak buru-buru melempar kengerian. Seperti telah saya singgung, Lele berusaha membangun cerita. Struktur "narasi palsu" yang hanya asal menggabungkan jump scare ditinggalkan, dan itu patut diapresiasi. Terlebih naskahnya berani mengusung isu penting nan relevan mengenai pelecehan di latar pesantren. Mengenai kebobrokan figur pemuka agama.

Perhatikan bahwa saya menggunakan kata "berusaha". Bukan "berhasil". Qorin memang berusaha bercerita, namun cerita tersebut gagal tampil mengikat. Ketimbang eksplorasi mendalam, naskahnya sebatas menyentil permukaan. Lele turut menyajikan beberapa subplot yang menyimpan benang merah dengan unsur seksisme, tapi subplot tersebut cuma bersifat "menambah" alih-alih memperkuat narasi utama. Misal kemunculan pacar Icha, Yafi (Yusuf Mahardika), yang tanpa signifikansi, seolah eksis hanya agar filmnya bisa berkata "Lihat, ada cerita tentang seksisme lho di film ini!". 

Jajaran tokoh utamanya mendapat latar belakang. Ada korban pelecehan, korban tipu daya kekasih, hingga individu dengan masalah psikis yang menyebabkan tendensi bunuh diri. Tapi tak satu pun diberi payoff secara layak. Mereka tak berproses. Paling fatal adalah sewaktu karakter dengan tendensi bunuh diri tadi, berujung kehilangan nyawa tanpa sempat dibuat merasakan betapa berharga hidup miliknya. Segala latar tersebut hanya hiasan tanpa rasa. Apalagi sewaktu di sini, "emosi" diartikan sebagai "tangisan meraung-raung yang membuat ucapan karakter mustahil didengar". 

Tapi sebagaimana disinggung di paragraf pembuka, lubang terbesar Qorin adalah kegagalan cerita seputar qorin. Baik penonton yang datang tanpa tahu definisi kata tersebut maupun yang telah membekali diri bakal dibuat bingung dengan pemaknaan filmnya soal qorin. Apakah qorin kembaran yang sama persis? Atau cerminan sisi kelam manusia? Tidak ada aturan jelas, sehingga para qorin tak ubahnya hantu biasa.

Setidaknya pengarahan brutal khas Ginanti Rona mampu memberi nilai plus bukan? Sayangnya tidak. Sesekali momen terornya tersaji apik, contohnya adegan "Assalamualaikum penghuni neraka", tapi Ginanti di Qorin adalah Ginanti yang kehilangan taring. Bukan berarti ia wajib menebar gore di tiap film, tapi memang itulah keunggulannya. Tanpa amunisi andalan, sutradara sehebat dan seberpengalaman apa pun akan kesulitan menghadirkan karya terbaik.