Entah berapa kali saya meneteskan air mata saat menonton Pesantren. Bukan semata karena adegan mengharukan, tapi dokumenter buatan Shalahuddin Siregar (Negeri di Bawah Kabut, Lima) ini merupakan satu dari segelintir film yang mampu menyadarkan betapa kerdilnya saya sebagai manusia.
Tanpa sadar saya kerap menggeneralisasi pesantren beserta para santri. Kolot, konservatif, menolak terpapar modernisasi, dan deretan stigma negatif lain, khususnya perihal cara mereka menyikapi isu gender. Lalu dibawalah saya mengunjungi pondok pesantren Kebon Jambu yang diisi oleh santri laki-laki dan perempuan.
Di suatu malam para santri berkumpul guna membicarakan rencana sebuah acara yang hendak digelar di Kebon Jambu. Konon acara itu merupakan kongres ulama perempuan pertama di dunia. Saat itulah untuk pertama kali kita berkenalan dengan Nyai Hj. Masriyah Amva selaku pemilik pondok. Dia berdiri sejenak, kemudian melangkah masuk melewati santri laki-laki. Seketika saf berisi laki-laki itu terbelah, memberi jalan pada seorang perempuan.
Pemandangan yang sejatinya normal dan sangat sederhana, tapi di saat bersamaan menekankan pokok bahasan utama Pesantren. Benarkah menegakkan ajaran Islam berarti mengamini bahwa derajat laki-laki ada di atas perempuan? Banyak "orang beragama" meyakini hal itu dengan dalih ayat suci. Akibatnya banyak pihak memandang kealiman, dalam hal ini di kalangan Islam, berbanding lurus dengan menjunjung patriarki.
Pesantren membantah anggapan tersebut. Bukan lewat amarah atau protes berapi-api, melainkan ajakan untuk berpikir cerdas. Misal ketika salah satu kiai mengulik ayat yang sering dijadikan "bukti" kalau laki-laki lebih berakal dibanding perempuan. Dibantahnya interpretasi itu melalui perspektif yang memperhatikan konteks sosial suatu masa.
Kaca mata humanis memang selalu film ini kenakan, baik dalam memandang perihal gender, atau saat memotret kehidupan para santri. Mereka tak hanya digambarkan sebagai "pelajar ilmu agama". Sisi manusiawi mereka, yang tiada beda dengan masyarakat awam pun ditampilkan, dan acap kali memunculkan kehangatan. Nampak sewaktu para santri menelepon keluarga di awal durasi, di mana salah satu dari mereka bertanya pada sang ibu, "Kangene uwis?".
Shalahuddin Siregar yang turut merangkap sebagai sinematografer piawai menangkap peristiwa-peristiwa semacam itu. Peristiwa yang apabila disaksikan tanpa konteks mungkin terkesan kurang penting, namun berperan besar membangun emosi tatkala disatukan sebagai narasi yang utuh.
Tapi bukankah keberhasilan itu hanya karena subjek yang dasarnya sudah kuat? Mungkin benar, tapi mengapa tiada sineas lain yang pernah mengangkat kisah ini? Apakah mereka tidak berani? Tidak tahu? Atau menganggapnya tidak penting? Bagi saya, keberanian, kelengkapan informasi melalui riset, serta kesadaran atas isu penting juga wujud kekuatan seniman. Shalahuddin mempunyai poin-poin tersebut.
Satu-satunya celah Pesantren adalah tidak seluruh protagonis mendapat eksplorasi seimbang. Ada beberapa figur yang diberi sorotan lebih. Bibah si pengajar kesenian, Diding si guru agama, Dika yang mengepalai salah satu kamar di pondok, dan seorang santri yang juga juara kompetisi stand-up comedy bernama Dul Yani.
Dika hanya muncul sekilas, sedangkan Diding, walau porsinya cukup banyak, luput ditelusuri ruang personalnya. Dul Yani pun sayangnya baru muncul di paruh akhir. Padahal "santri komika" adalah identitas karakter yang menarik. Latar belakangnya juga menyimpan potensi dramatik tinggi, yang mulai kita pelajari sewaktu Dul Yani melontarkan humor gelap tentang sang ibu, yang amat bahagia dan mencintai pekerjaannya di Arab sampai tak pernah pulang menemui puteranya.
Bibah lain cerita. Dialah karakter paling matang di film ini. Kita tahu impiannya, pula memahami berbagai pergolakan batinnya: anak keluarga miskin yang ingin kuliah, perasaan rendah diri sebagai pengajar kesenian di pesantren yang kurang jago menghafal kitab, dan tentunya, perempuan yang menolak tunduk pada diskriminasi. Bibah mewakili jiwa film ini. Sebuah kisah mengenai individu-individu yang mendambakan kehidupan lebih baik, baik bagi dirinya maupun dunia.
(Bioskop Online)
tidak tayang di bioskop, kecuali special screening
BalasHapusSaya sendiri pernah menjadi santri selama 5 tahun...
BalasHapusWorth to watch nih, bahkan seekor rasyid aja yang biasanya anti film religi bisa ngasih label sangat bagus ðŸ¤
BalasHapusSeekor ☺️
Hapusditunggu review film ireng
BalasHapusHATI SUHITA...PESANTREN ROMANSA
BalasHapusAda adegan kulit skabis gegara kasurnya gak kering2 akibat disiram air beserta orang yang tidur diatasnya, gegara telat bangun sholat malam?
BalasHapusSkor film ini : 8.5/10
BalasHapusbagus ini film, keren
BalasHapusFilm yang jarang dibuat, ini film sukses mengantar kita untuk mengetahui seluk beluk pesantren
BalasHapusdokumenter yang apik, semoga ada dokumenter lainnya di masa datang yang bagus juga
BalasHapusadakah film dokumenter terbaik yang tayang kembali di bioskop
BalasHapusdrama dokumenter yang diacungkan jempol
BalasHapusdokumenter film indonesia adalah yang terbaik jika dibandingkan film lainnya karena multikultur dan multialam yang mendukung
BalasHapusParah nih film keren abis
BalasHapusdokumenter yang menjanjikan
BalasHapus