REVIEW - INDIANA JONES AND THE DIAL OF DESTINY
Indiana Jones (Harrison Ford) pernah ditembak sembilan kali, terkena kutukan voodoo, terjebak ledakan nuklir, bahkan bertemu alien, dan selalu berhasil selamat. Dia senantiasa bangkit, tidak peduli bahaya seperti apa pun yang menghalangi jalannya. Setidaknya sampai The Dial of Destiny, di mana sang arkeolog bertemu lawan terberat yang akhirnya meruntuhkan jiwanya: masa tua.
James Mangold menerima salah satu tugas paling menantang di industri film saat menerima tawaran menggantikan Steven Spielberg, dan ia menolak hanya menjadi pengisi kekosongan. Sentuhan personal diberikan dengan cara mengulangi formula Logan (2017), yakni membawa si jagoan ke sisinya yang paling rapuh. Tapi Logan memang figur kelam yang memandang sinis kehidupan, sedangkan Indy tidak demikian.
Pertama kali kita bertemu Indy di tahun 1969, ia baru saja pensiun sebagai dosen, menyesap alkohol sambil meratapi kesendirian. Marion (Karen Allen) menceraikannya pasca kematian putera mereka (nama Mutt yang diperankan Shia LaBeouf tidak disebut) di medan perang. The Dial of Destiny sangat terobsesi mendorong Indy ke lubang penderitaan sedalam mungkin.
Lalu datanglah Helena (Phoebe Waller-Bridge), puteri baptis Indy yang tengah meneliti Dial of Destiny, alat buatan Archimedes yang konon dapat mendeteksi celah waktu. Sederhananya, pemilik barang tersebut bisa melakukan perjalanan waktu. Di sisi lain, mantan anggota Nazi bernama Jürgen Voller (Mads Mikkelsen) juga menyimpan ketertarikan serupa.
Indy dan Voller pernah berkonflik di tengah Perang Dunia II pada tahun 1944, yang dipakai sebagai sekuen pembuka film ini. Di situ teknologi de-aging membuat Ford nampak lebih muda puluhan tahun dengan hasil memuaskan (reaksi negatif rasanya lebih didasari antipati terhadap teknologi). Tapi pada sekuen pembuka itu pula nampak jelas bahwa The Dial of Destiny takkan melahirkan petualangan seseru judul-judul sebelumnya.
Masalahnya bukan usia Ford yang telah menginjak 79 tahun di fase produksi. Benar bahwa pergerakan sang aktor kini jauh lebih terbatas, tapi ia masih meyakinkan sebagai pria tua tangguh. Kekurangan sesungguhnya ada di perihal lebih mendasar.
Seri Indiana Jones rutin menawarkan ide aksi imajinatif, yang kemudian divisualisasikan secara mumpuni oleh Spielberg. Bahkan momen "nuking the fridge" di Kingdom of the Crystall Skull (2008) yang kerap dicemooh itu sejatinya dikemas solid (maneken yang terbakar sedikit demi sedikit adalah pemandangan mengerikan).
Naskah The Dial of Destiny tak diberkahi daya kreasi serupa. Deretan ide aksinya generik serta miskin kreativitas, sementara Mangold gagal mengulangi pengadeganan bertenaga yang jadi ciri khasnya. Semangat berpetualang melintasi ragam fenomena aneh semesta itu telah lenyap. Bahkan di klimaks luar biasa mentah yang seolah terlampau malu untuk menerima keabsurdan konsepnya, sebelum menutup petualangan panjangnya (durasi 154 menit adalah yang terlama di seri Indiana Jones) tanpa pernah mencapai puncak intensitas.
Phoebe Waller-Bridge membawa angin segar melalui penampilan penuh antusiasme miliknya, pun karakter Helena mengingatkan kalau seri ini sudah jauh berkembang dalam menciptakan karakter wanita sejak Temple of Doom 39 tahun lalu memperkenalkan Willie Scott yang serba seksis dan menyebalkan. Walau di sisi lain, penokohan Helena turut membuktikan stagnansi Hollywood yang selalu mengidentikkan karakter kuat (baik pria maupun wanita) dengan egoisme.
The Dial of Destiny menghadirkan momen manis sarat nostalgia selaku penutup, tapi itu dilakukan beberapa menit setelah mengambil salah satu keputusan paling kontroversial sepanjang sejarah franchise-nya. Indiana Jones bukan karakter sempurna. Dia bukan jagoan laga tanpa rasa takut. Tapi menjadikannya pria tua yang diruntuhkan oleh waktu dan kesendirian hingga menyerah untuk melangkah maju atas nama mengikuti tren "realisme" bukanlah keputusan bijak.
21 komentar :
Comment Page:gue udah nonton : PUAS BANGET !!!!!
skor film yang memuaskan : 8/10
film drama tragedy yang memabukkan, slowburn dan kebocilan fantasy
Seneng banget ente dapet jatah komen sbg anonim, langsung sahut2an dg diri sendiri ya tong?
nonton dulu, kemudian komentar
skip, jelek
yang penting teh botol sosro jangan lupa di bawa ketika nonton sambil ngemil di layar bioskop
belum nonton, jangan komentar, mingkem bae tong
thanks mas rasyid atas ulasannya biar cerdas dalam memilih menonton
ngantuk 3 jam nonton film boring
Filmnya cukup memuaskan, langsung to the point', gak bikin Ngantung dan boring, seseru itu
yaah kalau yg nonton gen z mah bakal bilang boring sih...tp kl kami dr gen x yang ikutin dari seri awal puas dan berasa nostalgia lagi
Sebelum saya menonton film di bioskop atau mungkin streaming atau paling bodoh dengan download tidak resmi selalu melihat ulasan baik di Rotan Tomat, Rojer Eberd, Metha Kritik, IEMDEBE, dan ulasan dalam negeri blog mas Rasyid, serta blog om Iza Anwar dan Cinetariz (sayang sudah nggak aktif sekarang). Karena memang ulasan mereka membantu saya dalam menghemat membeli tiket bioskop dan kuota.... Haha. Agak kecewa sih kalau kelanjutan seri Indiana Jones skornya di beberapa artikel kurang baik, paling bagus kayaknya cuma di imdb (skor: 7). Yah kayaknya tetep saya tonton, tapi nunggu platform streaming saja. Makasih mas Rasyid.
maaf, lewat
masuk bioskop : siapin coca cola dino milo popcorn mixed double big size plus siomay french friesh, let's go!!!
Prolog Opening Scene : 20 menit pertama yang membagongkan yang tidak pernah ada pada seri sebelumnya
MANTAB!!!!
ending plot twist yang bikin kepala pusing minta di pijit pakai minyak angin : BACK TO THE FUTURE
Hollywood emang kejam, aktor udah uzur juga masih aja dipaksa buat main film adventure yg banyak adegan aksinya cuma demi menjual nostalgia
Bacot, palingan nyeludupin gorengan dari luar studio
FILM YANG LUAR BIASA DENGAN ALUR CERITA MENARIK NAMUN BISA DI TEBAK
ENDING CERITA : TAK TERDUGA
MILO DINO NYA ENAKKKK BANGET PAS NGEMIL DI BIOSKOP 3 JAM
Posting Komentar