Era 80-an jadi saksi meledaknya popularitas film aksi bertema one man army. Tidak satu pun bintang laga masa itu melewatkan kesempatan membantai puluhan bahkan ratusan lawan seorang diri di filmografi mereka. Walau sempat meredup, The Raid dan John Wick membangkitkan lagi kejayaan trope itu dengan menawarkan modernisasi. Tapi formula dasarnya tak pernah berubah. Perhatian utama bukan terletak pada penceritaan, melainkan seberapa kreatif (dan gila) cara si jagoan melibas habis para musuh.
Sisu pun demikian. Pencapaian terbesar Jalmari Helander selaku sutradara sekaligus penulis naskah bukan soal melahirkan jalinan cerita kelas satu. Kisahnya setipis kertas. Di tengah Perang Dunia II, ketika pasukan Nazi berusaha mencuri emas milik Aatami Korpi (Jorma Tommila), mereka terkejut kala mendapati si pria tua rupanya adalah one man army legendaris yang reputasinya saja mampu membangkitkan rasa takut musuh.
Sangat sederhana. Satu kalimat sudah cukup untuk menjabarkan garis besar alurnya. Tapi tidak dengan ide-ide Helander terkait metode si tokoh utama kala beraksi. Di satu kesempatan, Aatami melempar batu ke arah ranjau, meledakkannya, dan menciptakan kepulan asap sebagai perlindungan. Kemudian saat bergulat di bawah air, ia menyayat leher musuh guna mengisap oksigen.
Pada momen-momen seperti itulah kreativitas Helander tertuang, yang secara bersamaan merupakan cara efektif membangun mitologi si jagoan. Mudah bagi penonton percaya bahwa Aatami adalah prajurit legendaris dengan pengalaman selangit.
Citra di atas semakin meyakinkan berkat penampilan sang aktor. Tommila bak personifikasi dari kata "wibawa" dan "intimidatif". Pesawat Nazi boleh meraung-raung di udara, namun Aatami hanya duduk diam memerhatikan api unggun. Jangankan takut, mendongak pun tidak. Finlandia membiarkannya bebas berkeliaran di medan perang karena tak kuasa mengendalikan Aatami, Jenderal Nazi takut kepadanya, Rusia memanggilnya "koschei" alias "the immortal", dan saya dibuat meyakini kisah-kisah itu.
Berlatar lanskap Lapland yang terlampau indah sebagai panggung pertumpahan darah (seolah berpesan "Bumi terlalu berharga untuk dirusak oleh peperangan"), Helander menyuguhkan kebrutalan inventif, tidak hanya terkait teknik pembantaian Aatami, juga latarnya yang tersebar luas dari daratan, bawah laut, hingga udara. Klimaksnya cenderung lebih generik, sebelum diakhiri oleh penutup "eksplosif" yang memuaskan. Tidak kalah penting, di antara pameran maskulinitas sang jagoan, Sisu bersedia memberi ruang pembalasan yang layak bagi barisan wanita korban kekejaman para cecunguk Nazi.
(Catchplay)
WTF, INI FILM BADASS BANGET, PUAS PUASS PUASSS
BalasHapusJalmari Helander is the best of the f best
BalasHapusterlalu brutal dan full drama itu menyenangkan
BalasHapusfilm khusus untuk nostalgia
BalasHapusAatami Korpi (Jorma Tommila) adalah opa macho maskulin gemes & keren
BalasHapusbenar benar film memacu adrenalin
BalasHapusJorma Tommila, sugar daddy hot daddy
BalasHapusEPIC DRAMATIS
BalasHapusSISU SUSU emang beneran keren
BalasHapusjika masuk bioskop, sudah pasti di babat habis
BalasHapusJorma Tommila is the best
BalasHapusJalmari Helander layak di perhitungkan sebagai penulis & sutradara spesialis drama thriller
BalasHapusLGBT+ nggak heran masuk layar film, normal saja
BalasHapusfilm nggak normal
BalasHapusOMG, Jorma Tommila
BalasHapusnah gi tu mas,,,non netflix,,,mantap
BalasHapuspara cewek nya keren benar-benar kejam
BalasHapusketika nazi hombreng mengacau di tanah emas
BalasHapusAatami Korpi (Jorma Tommila) membuat puas banget cuy
BalasHapusfilm yang bikin ketawa ngakak puas ya film sisu ini
BalasHapusSISU, WTF...
BalasHapusSaya kira Jhon Wick 4 udah yg paling gak masuk akal. Ternyata ada yg lebih diluar nalar
BalasHapus