04/10/23

REVIEW - ROAD TO BOSTON

0 View

Dibuat berdasarkan kisah nyata, Road to Boston meredefinisikan "kemerdekaan". Bukan lewat perspektif-perspektif de facto atau de jure, melainkan sesuatu yang lebih bersifat spiritual. Betapa kemerdekaan yang hakiki baru didapat, ketika rakyat suatu negara telah melangkah (atau dalam konteks film ini belari) dengan kaki mereka sendiri. 

Pada Olimpiade Berlin 1936, Sohn Kee-chung (Ha Jung-woo) berhasil menyabet medali emas maraton dengan mencatatkan rekor waktu. Sayangnya pencapaian itu jadi milik Jepang yang kala itu masih menancapkan kuasanya di Korea. Sebuah pengingat bahwa penjajah tak hanya mencuri sumber daya tanah air. Kebebasan membanggakan prestasi sendiri pun turut dilenyapkan. 

Tahun 1947, pendudukan Jepang telah berakhir. 15 Agustus 1945 resmi jadi hari kemerdekaan Korea. Tapi apakah kemerdekaan telah sungguh dimiliki? Meski tak mendatangkan penderitaan layaknya Jepang, militer Amerika Serikat datang mengontrol pemerintahan. Sewaktu Kee-chung dan sahabatnya yang menyabet perunggu di Berlin, Nam Sung-yong (Bae Seong-woo), hendak mendaftarkan keikutsertaan Suh Yun-bok (Im Si-wan) di Maraton Boston 1947, rintangan muncul silih berganti.

Akibat belum sepenuhnya diakui merdeka, delegasi Korea wajib didampingi penjamin, harus membayar biaya jutaan won, bahkan mesti berkompetisi memakai baju bergambar bendera Amerika. Benarkah kemerdekaan sudah didapat?

Naskah buatan sang sutradara, Kang Je-gyu (Shiri, Taegukgi), memang masih berseliweran di area familiar. Sebuah drama olahraga inspiratif mengenai mantan jawara yang hidupnya jatuh (Kee-chung tenggelam dalam alkohol), melatih calon bintang masa depan dari latar belakang ekonomi serba kekurangan, yang nantinya bakal mencapai kejayaan, sementara rakyat senegaranya menyuarakan dukungan sembari berkumpul di depan radio mendengarkan jalannya perlombaan. 

Singkat kata: klise. Tapi Kang Je-gyu punya berbagai cara agar keklisean itu tak berkembang jadi kelemahan. Pertama, seperti telah disinggung, soal subteks kemerdekaan yang ia tanam. Momen saat rakyat Korea berinisiatif mengumpulkan uang demi membiayai keberangkatan Yun-bok dijadikan titik penanda kemerdekaan yang sejati. Di situ, mereka enggan menggantungkan nasib kepada pihak asing, lalu menegaskan kemampuan berdiri dengan kaki sendiri. 

Begitu maraton berlangsung, dua komentator acap kali mengerdilkan Yun-bok dan Korea. Apa itu Korea? Di mana letaknya? Sebagaimana para wartawan sebelumnya, pertanyaan-pertanyaan konyol macam itu kerap terlontar. Di situlah Yun-bok berlari. Membuktikan kehebatan dirinya, membawa kemerdekaan bangsanya. Terjadilah peralihan era. Era Kee-chung digantikan oleh era Yun-bok. Era baru. Era kemerdekaan.

Cara kedua yang sang sutradara pakai untuk menjauhkan keklisean dari Road to Boston adalah metode dramatisasinya. Dia menolak cara murahan. Misal bagaimana musik mendayu-dayu tak seketika menghajar telinga penonton di tengah peristiwa emosional. Tatkala seorang karakter kehilangan orang tercinta, adegan dibiarkan sunyi beberapa saat. Seiring menularnya duka ke hati penonton berkat kekuatan akting pemain, barulah musik pelan-pelan merambat masuk. 

Ya, penampilan jajaran pemain tentu berperan. Keberadaan dua nama senior, Ha Jung-woo dan Bae Seong-woo ibarat jaminan mutu. Tapi Road to Boston adalah "filmnya Im Si-wan". Sempat berisiko terkena typecast berupa karakter psikopat (walau harus diakui ia memang cocok), Si-wan buktikan jangkauan luasnya di sini lewat akting terbaik sepanjang karir. 

Pernah memerankan pelari handal di Run On (2020-2021) memudahkan Si-wan terlihat meyakinkan sebagai jagoan maraton masa depan. Kapasitas akting dramatiknya pun meningkat. Dia tidak asal meledakkan tangis, tapi membiarkan rasa itu merayap perlahan sebelum akhirnya ia ledakkan. Lihat pula kakinya yang gemetar hebat sewaktu mengalami cedera di tengah lomba. Mungkin baginya, Road to Boston juga bentuk kemerdekaan. Kemerdekaan sebagai aktor untuk terlepas dari typecast dan bebas mengeksplorasi peran seluas mungkin.

25 komentar :

  1. Anonim5:24 AM

    Sohn Kee-chung (Ha Jung-woo) sugar daddy

    BalasHapus
  2. Anonim5:40 AM

    Film muka plastik terus, bosen

    BalasHapus
  3. Anonim6:12 AM

    biasa aja B minor

    BalasHapus
  4. Anonim6:13 AM

    film olahraga yang lebay

    BalasHapus
  5. Anonim6:13 AM

    PLOT TWIST YANG MEMBAGONGKAN

    BalasHapus
  6. Anonim6:14 AM

    film LGBT+ selalu bagus ya untuk di nikmati apalagi di layar besar layar bioskop

    BalasHapus
  7. Anonim6:25 AM

    Ha Jung-woo yang berperan sebagai Sohn Kee-chung, Im Si-wan yang berperan sebagai Suh Yun-bok, dan Bae Seong-woo yang berperan sebagai Nam Sung-yong pantas di ganjar piala oscar 2024

    BalasHapus
  8. Anonim6:50 AM

    film drama korea selalu terbaik, kecuali horror

    BalasHapus
  9. Anonim6:50 AM

    film bagus, layar terbatas dan jam terbatas

    BalasHapus
  10. Anonim6:51 AM

    Fans Movie Korean

    BalasHapus
  11. Anonim8:32 AM

    sutradara, Kang Je-gyu keren

    BalasHapus
  12. Anonim8:32 AM

    bagusan film dono kasino indro

    BalasHapus
  13. Anonim8:33 AM

    film perhomoan, skip deh

    BalasHapus
  14. Anonim8:34 AM

    good movie

    BalasHapus
  15. Anonim8:34 AM

    nggak worth it

    BalasHapus
  16. Anonim8:36 AM

    daddy semua cakep

    BalasHapus
  17. Anonim8:37 AM

    keringatan saya nonton film ini, ngos ngosan....

    BalasHapus
  18. Anonim12:27 PM

    patriot movie

    BalasHapus
  19. Anonim12:27 PM

    genre slowburn

    BalasHapus
  20. Anonim12:27 PM

    skor film ini : 9/10

    BalasHapus
  21. Anonim7:10 PM

    Alhamdulillah Im Si Wan ga jadi psyco lagi

    BalasHapus
  22. Anonim8:25 PM

    film flop korea

    BalasHapus
  23. Anonim8:25 PM

    ngantuk

    BalasHapus
  24. Anonim8:25 PM

    nggak dulu

    BalasHapus