REVIEW - LA LUNA

22 komentar

Bagi sebagian orang, hal paling menyeramkan dalam hidup adalah perubahan. Karena perubahan membawa kebaruan. Muncul hal-hal asing yang mungkin sukar dimengerti, sehingga memancing ketakutan, bahkan kebencian di hati mereka yang sukar membuka pikiran. Pada akhirnya, demi meniadakan perubahan, kontrol sewenang-wenang pun kerap dilakukan.

Di La Luna yang merupakan produksi bersama Malaysia dan Singapura ini, kita dibawa mengunjungi Bras Basah, sebuah kampung konservatif di mana aturan agama ditegakkan secara ketat. Majalah atau produk apa pun yang menampilkan perempuan berpakaian terbuka langsung terkena sensor (foto model perempuan diwarnai memakai spidol agar nampak memakai jilbab). 

Sejatinya tidak seluruh warga nyaman dengan aturan tersebut, hanya saja mereka terpaksa menurut akibat rasa takut pada si kepala desa, Tok Hassan (Wan Hanafi Su) yang memerintah dengan tangan besi. Ketika Azura (Syumaila Salihin), puteri Salihin (Shaheizy Sam) si kepala polisi, berniat menyebar petisi guna mengubah aturan kolot di sana, Tok Hassan langsung menggeledah tas si gadis remaja, kemudian menyita petisi tersebut. Tiada privasi di Bras Basah. 

Harapan akan perubahan muncul sejak kedatangan Hanie (Sharifah Amani), yang dengan berani membuka toko pakaian dalam bernama La Luna, walau ditentang keras oleh Tok Hassan. Dari situlah naskah buatan sang sutradara, M. Raihan Halim, mulai mengeksplorasi permasalahan ketakutan tadi. 

Tok Hassan takut pada segala jenis perubahan, bahkan di saat perubahan itu mendatangkan kebahagiaan bagi masyarakat. Entah keberadaan toko pakaian dalam yang menyulut kembali api asmara di rumah tangga banyak pasutri, maupun kala Ustaz Fauzi (Iedil Dzuhrie Alaudin) hendak mendesain khotbah agar lebih menghibur bagi jemaah. 

Seiring waktu, La Luna milik Hanie turut mengalami perkembangan fungsi. Toko yang melarang laki-laki menginjakkan kaki itu menjadi ruang aman bagi perempuan. Tatkala Yam (Nadiya Nissa) tak lagi tahan atas tindak kekerasan sang suami, Pa'at (Hisyam Hamid), La Luna jadi satu-satunya tempat aman baginya. Alhasil, beberapa laki-laki membenci La Luna, sebab di sana mereka tak lagi memegang kendali. Jadilah film ini sebuah sentilan mengenai terancamnya maskulinitas lelaki. 

La Luna tidak ketinggalan menyelipkan bumbu romansa antara Hanie dan Salihin, dalam kemasan komedi screwball yang bernyawa berkat kelihaian dua pemainnya saat saling melempar banter. Saya sempat khawatir dinamika percintaan keduanya bakal jatuh ke ranah klise (laki-laki jantan menolong perempuan yang ketakutan) sewaktu Salihin datang ke rumah Hanie yang dimasuki seekor ular. Tapi nyatanya momen itu jadi satu lagi amunisi filmnya untuk menyindir maskulintas.

Tentu La Luna masih menyimpan kekurangan, tapi menariknya, ia selalu menawarkan penebusan di saat bersamaan. Misal terkait karakter Tok Hassan yang seiring durasi mulai berubah dari tetua super kolot menjadi sosok yang benar-benar jahat. La Luna tak membutuhkan antagonis sekotor itu untuk dapat menyampaikan pesannya, namun di sisi lain, transformasi Tok Hassan juga melahirkan sindiran baru, yakni tentang individu yang terperosok terlampau jauh ke lubang kegelapan akibat dibutakan kebencian.  

Cara naskahnya menyelesaikan permasalahan pun terlalu bergantung pada elemen kebetulan (Bagaimana jika pertemuan Tok Hassan dan Salihin terjadi di tempat lain?), yang untungnya langsung ditutupi oleh keberhasilan menyuguhkan ending hangat yang terasa membebaskan. 

La Luna sama sekali bukan bertujuan menggugat nilai agama. Pesan yang ia sampaikan amat sederhana, yaitu "terbukalah pada perubahan". Cepat atau lambat perubahan akan datang. Entah modernisasi besar-besaran layaknya yang dialami warga Bras Basah, atau hal kecil seperti saat Salihin menghadapi pendewasaan Azura.  

(Tayang di bioskop 6 Desember)

22 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

kisah upin ipin timeline

Anonim mengatakan...

tayang terbatas nggak seru pasti kalah sama horror

Anonim mengatakan...

wow seru nih, tunggu di netflix aja

Anonim mengatakan...

skip, nggak gue banget

Anonim mengatakan...

cocok nih pas pemilu kampanye

Anonim mengatakan...

film liberal hedon kagak jelas

Anonim mengatakan...

kemunafikan alur cerita mau di bawa kemana, wtf

Anonim mengatakan...

moral amoral hanya milik penguasa cerita

Anonim mengatakan...

bagus film horror lebih lucu lucu ho ta he...

Anonim mengatakan...

nggak akan laku tayang di bioskop siapa pula yang mau nonton

Anonim mengatakan...

naskah buatan Lele Laila dan sang sutradara, M. Raihan Halim sehorror itukah

Anonim mengatakan...

kolor cancut tali wanda coffee shop akar permasalahan berbau asmara

Anonim mengatakan...

pengen nonton, nggak ada putiw, cekak

Anonim mengatakan...

bagus sepertinya ini film, horror banget pastinya

Anonim mengatakan...

wow takut sekali aku mau nonton

Anonim mengatakan...

awal bulan, gajian abis

Anonim mengatakan...

nggak rekomended ini film terlalu powerful extrem prejudice

Anonim mengatakan...

desa paling alim seantero negeri

Anonim mengatakan...

konak kocakkkkkkk parahhhhhhh lucuuuuu full

Anonim mengatakan...

hidup memang konak komedi

Uxfilm mengatakan...

Ini film La Luna tayang di bioskop Indonesia mulai Desember 2023? Tayang di mana, ko bisa dikasih review duluan

Hadi Alkatiri mengatakan...

Baru bisa nonton pas tayang di Netflix. Film Malaysia kedua yg pernah saya tonton. Yg pertama Pendatang (if you count that as Malaysian's, hehe), dan Damn, selain menghibur, film ini bigitu ciamik di ranah teknis seperti pengadeganan khas film2 Romcom sekelas Amelie, hingga divisi musik. Wah, saya beneran menganderestimate perfilman negara satu ini. Meskipun ide ceritanya cukup klise seperti film2 dari negara2 konservatif lainnya, namun film ini cerdas dengan menempatkan dirinya sebagai film komedi dengan sedikit bumbu romansa yg manis