REVIEW - THE BOY AND THE HERON
Satu dekade pasca mengucapkan salam perpisahan melalui The Wind Rises yang berpijak kuat pada realita, Hayao Miyazaki kembali, namun dengan sisi bertolak belakang. Bahkan dibanding keajaiban demi keajaiban yang kerap ia lahirkan, The Boy and the Heron merupakan karya paling sureal dari Miyazaki. Perlu menontonnya lebih dari sekali untuk bisa sepenuhnya menangkap curahan personal sang sutradara legendaris.
The Boy and the Heron memang berstatus semi-autobiografi, di mana si protagonis, Mahito (Soma Santoki), dibuat berdasarkan masa kecil Miyazaki. Di tengah Perang Pasifik, Mahito yang berusia 12 tahun kehilangan sang ibu, Hisako, akibat kebakaran yang menghanguskan rumah sakit tempatnya dirawat. Beberapa waktu berselang, Mahito pindah dari Tokyo ke sebuah pedesaan, sementara ayahnya, Shoichi (Takuya Kimura), menikah lagi dengan Natsuko (Yoshino Kimura), adik dari mendiang sang istri yang kini tengah mengandung.
Mahito memakai topeng ketangguhan untuk menyembunyikan luka yang ia pendam. Dia mematuhi segala anjuran Natsuko, padahal Mahito enggan menerimanya sebagai ibu baru karena masih merindukan Hisako (gambaran tubuh Hisako dilalap api terus menghantui mimpinya). Dia pun berjalan tegak meski baru berkelahi dengan teman sekolahnya. Baju Mahito compang-camping, namun wajahnya tak menampakkan rasa sakit. Tapi tidak lama kemudian ia pukulkan sebuah batu ke pelipisnya hingga berdarah.
Miyazaki menggambarkan dunia bocah yang lebih kompleks dari seharusnya akibat kemurnian yang direnggut terlalu cepat, entah oleh perang atau kehilangan sosok ibu. Hati Mahito dipenuhi beragam rasa yang tak semuanya mampu ia tangani. Begitu penuh, hingga ia merasa perlu melukai diri sendiri.
Sampai terjadilah perkenalan antara Mahito dan burung cangak (heron) yang bisa bicara (Masaki Suda). Burung itu membawa Mahito memasuki dunia ajaib tempatnya bertemu dengan sekelompok parkit raksasa pemakan manusia, makhluk putih menggemaskan bernama Warawara, Kiriko (Ko Shibasaki) si nelayan tangguh, dan Lady Himi (Aimyon) si gadis misterius pengendali api.
Berlatar dunia yang masih "sangat Ghibli", dengan barisan karakter imajinatif, serta pengadeganan kreatif (momen saat Mahito mengapung dari dasar air lalu terbangun dari tidur adalah contoh ide jenius Miyazaki) yang dianimasikan secara indah, di mana semburat cahaya matahari yang menembus awan senja dan pepohonan rindang nampak bak anugerah yang kadang lalai manusia syukuri, Miyazaki menyusun kisah mengenai "luka". Kematian mendatangkan luka bagi yang ditinggalkan, sedangkan kehidupan pun tak ubahnya upaya individu mengakrabkan diri dengan luka. Jika demikian, perlukah luka dihapuskan?
Kelak kebenaran di balik dunia fantasi yang Mahito kunjungi bakal tersibak. Sebuah dunia yang tercipta guna meniadakan luka, tapi untuk mendirikannya saja, tak terhitung berapa nyawa telah melayang. Sebuah dunia yang katanya sempurna, tapi para pelikan kesulitan mendapatkan sumber makanan. Melalui utopia yang menciptakan paralel dengan era Kekaisaran Jepang tersebut, Miyazaki bicara mengenai kemustahilan menghindari luka.
Menggunakan narasi yang bergerak cukup abstrak layaknya bait-bait puisi, Miyazaki membawa Mahito memahami bahwa dunia beserta isinya bakal senantiasa terluka. Kematian serta kehilangan pun takkan bisa dihindari, bahkan sejak dini (keguguran digambarkan oleh peristiwa dimakannya para Warawara oleh sekumpulan pelikan). Manusia hanya bisa belajar menerima, kemudian pelan-pelan mengobati luka tersebut.
Apakah petualangan Mahito sungguh-sungguh terjadi, ataukah sekadar proses coping seorang bocah menghadapi duka dengan mengubah penyebab kematian sang ibu menjadi kekuatan sakti pembawa harapan yang menolong banyak makhluk hidup? Jawabannya tidaklah penting. Seperti Mahito, kita hanya perlu sejenak menemui masa lalu, berdamai dengan luka-luka yang ia tinggalkan, sebelum akhirnya melangkah menuju masa depan.
25 komentar :
Comment Page:The Boy and the Heron, kisah delusi halunisasi bocil yang depresi after kehilangan ibunya
Hayao Miyazaki fix adalah penulis dan sutradara yang ODGJ berhasil mengimplementasikan kejiwaan pikirannya ke dalam guratan tulisan dan visual ke layar bioskop, keren
film kartun yang over gore & horror nggak cocok untuk di tonton keluarga
rating film cartoon 21 tahun ke atas, kamikaze adalah jalan ninjaku
film sederhana, nggak perlu seperti disney atau lainnya yang 3D atau di baluti pelangi LGBT+
film ini real gambar nya kartun tv banget, alur cerita itu yang maknyusss banget
PIXAR mana nih...
Disney mana nih...
masa kalah sama film polosan ini
DAMN TOO GOOD
film bundir, nggak ah, SKIP
bullying & depresi sebegitu kejamnya mempengaruhi bocil normal ke transisi menuju sakit jiwa
the boy and the heron : the best cartoon movie ever
jepang kalau film kartun relate dan real sama kehidupan sehari hari, ini film bagus
kegilaan seorang anak dalam mengobati masa lalu, The Boy and the Heron
film sakit
nggak cocok untuk di tonton keluarga
mental illness so sickness
kartun horror siksa fantasy daripada film siksa neraka
dubbing suaranya bagus dan pas
the best banget ini kartun dewasa
WTF OMG GOOD
thanks mas atas review nya
Ada yang tahu alasan dia melukai dirinya sendiri (pelipis kanan) saat di sekolah?
Dan, menurut saya penggalian karakter ada yang kurang pas ya, alasan dia kekeuh menyelamatkan tante (yang menjadi ibu tirinya), padahal sebelumnya kurang begitu akrab dan dekat.
Plus, alasan kakek buyutnya membiarkan balok-balok 13 buah itu diberantakin oleh si raja parkit?
bocil pengen bundir
bocil anggap ibu tiri nya adalah kloning ibunya
kakek buyut cape udah mau bundir juga
ini film menggambarkan depresi & bundir di mata bocil
harakiri made in nippon
Masih bertahan di bioskop
Posting Komentar