12/03/24

REVIEW - AMERICAN FICTION

0 View

American Fiction adalah fiksi tentang cara menceritakan realita, dan bagaimana realita dibawa ke medium fiksi. Sebuah proses menuangkan hal nyata ke dalam karya tak nyata, yang masing-masing dibedakan oleh pengalaman tiap pembuatnya serta tujuan di balik pembuatan karya tersebut. Adanya perbedaan-perbedaan itu membuat penghakiman atas karya semestinya tidak terjadi dengan mudah dan asal. 

Thelonious "Monk" Ellison (Jeffrey Wright) adalah pria kulit hitam kelas menengah ke atas. Selain menjadi profesor di Los Angeles, ia pun menulis beberapa novel, yang meski gagal di pasaran namun mendapat pujian akademik. Monk pernah berujar bahwa ia "tidak percaya pada konsep ras", serta menganggap karya literatur yang hanya menjual penderitaan kulit hitam sebagai upaya memenuhi hasrat kulit putih semata. 

Di salah satu kelasnya, seorang mahasiswi kulit putih mengutarakan ketidaknyamanan membahas literatur yang mengandung "N" word di judulnya. Monk menampik penolakan si mahasiswi yang akhirnya memilih keluar dari kelas. Bahkan saat orang kulit putih berpikir memakai perspektif "woke", mereka tetap membungkam minoritas. Ironis. 

Mungkin itu pula alasan karya Monk tidak laku. Berlawanan dengan keinginan Monk, novelnya yang membahas kultur Yunani kuno dipajang di seksi black literature, di saat para pembaca mengharapkan kisah pilu minim kebahagiaan dari "buku kulit hitam". 

Masalah dengan mahasiswi tadi memaksa Monk cuti sementara waktu dan pulang ke Boston, di mana ia: mengunjungi ibunya, Agnes (Leslie Uggams), yang menunjukkan tanda-tanda alzheimer; menemui adiknya, Lisa (Tracee Ellis Ross), yang merasa ditinggal seorang diri untuk merawat sang ibu; bertemu lagi dengan si adik bungsu, Cliff (Sterling K. Brown) yang seorang gay; pula berkenalan dengan pengacara bernama Coraline (Erika Alexander) yang menarik hati Monk. 

Mengadaptasi novel Erasure karya Percival Everett, naskah buatan sang sutradara, Cord Jefferson, begitu cerdik menyusun penokohan. Berbagai informasi yang melandasi karakter mereka (Masalah seluruh anggota keluarga Monk, nasib ayah mereka, dll.) dengan jeli diungkap lewat obrolan kasual yang tak pernah terkesan seperti eksposisi. Alhasil penonton akan benar-benar mengenal karakternya secara organik ketimbang merasa "dipaksa berkenalan". 

Di departemen musik, Laura Karpman merangkai nomor-nomor jazz yang indah, punya rasa, walau tidak jarang bergerak liar. Sama seperti dinamika antar karakternya, juga bagaimana para cast-nya memerankan mereka. Tatkala Jeffrey Wright tampil bak musik jazz bertempo rendah yang meski terkesan tenang bukan berarti tanpa hentakan, Sterling K. Brown ibarat sesi improvisasi yang bergulir liar tanpa kehilangan kepekaan rasa. 

Nantinya, Monk iseng menulis novel yang memenuhi dahaga para pembaca akan kisah pilu orang kulit hitam sebagai bentuk ejekan, yang justru membawanya melewati titik balik kehidupan yang tak terduga. Di situlah American Fiction makin gencar melempar sindiran menggelitik, yang meskipun tajam, tak pernah dipenuhi kebencian. 

Di sudut berlawanan dengan sang protagonis ada Sintara Golden (Issa Rae), penulis novel We's Lives in Da Ghetto yang Monk benci karena dianggapnya cuma memenuhi stereotip kulit hitam di mata kulit putih. Jefferson menghadirkan adegan menarik saat mempertemukan dua penulis tersebut, memberi mereka ruang diskusi yang membantu kita memahami sudut pandang masing-masing. 

American Fiction adalah curahan keresahan yang pantang begitu saja menyalahkan. Monk si kelas menengah ke atas dengan segala privilege yang memfasilitasinya berpikir kritis, Sintara yang ingin mengentaskan diri dari penderitaan yang sudah kenyang ia konsumsi, tak satu pun disalahkan maupun direndahkan. Satu-satunya yang film ini gambarkan bak karikatur adalah orang kulit putih yang mengeksploitasi luka para minoritas atas nama komoditas.

(Prime Video) 

21 komentar :

  1. Anonim9:06 PM

    black power

    BalasHapus
  2. Anonim9:06 PM

    sisi menarik dari seorang dosen

    BalasHapus
  3. Anonim9:06 PM

    wakanda forever

    BalasHapus
  4. Anonim9:07 PM

    Oscar Itu Worth it

    BalasHapus
  5. Anonim9:07 PM

    fiksi fantasy friksi mahasiswi

    BalasHapus
  6. Anonim5:18 AM

    seru saru jika film angkat realita kampus

    BalasHapus
  7. Anonim5:19 AM

    film membagongkan

    BalasHapus
  8. Anonim5:19 AM

    cerdas ini film

    BalasHapus
  9. Anonim5:20 AM

    skor 9.5/10 for this movie

    BalasHapus
  10. Anonim5:20 AM

    alur sederhana mudah dipahami

    BalasHapus
  11. Anonim8:33 PM

    bagus

    BalasHapus
  12. Anonim8:34 PM

    lucu ini film

    BalasHapus
  13. Anonim8:34 PM

    film horror

    BalasHapus
  14. Anonim8:34 PM

    serem banget

    BalasHapus
  15. Anonim8:36 PM

    pengen nangis

    BalasHapus
  16. Anonim8:33 AM

    film bagus nggak tayang di bioskop

    BalasHapus
  17. Anonim8:33 AM

    film bikin ngakak

    BalasHapus
  18. Anonim8:34 AM

    renungan untuk pensiun

    BalasHapus
  19. Anonim8:34 AM

    basi alur nya

    BalasHapus
  20. Anonim7:46 AM

    tragedi cerdas

    BalasHapus