REVIEW - MENDUNG TANPO UDAN
Mendung Tanpo Udan ibarat amalgam dari hidup para mahasiswa Jogja. Entah sudah berapa kali saya menjadi saksi mata, baik dalam perjalanan orang-orang di sekitar maupun diri sendiri. Keunggulannya bukan soal kesegaran atau kebaruan, melainkan akurasinya menggambarkan realita mahasiswa di "Kota Pelajar", khususnya mereka yang lebih banyak belajar langsung dari kehidupan.
Protagonisnya adalah Udan (Erick Estrada), yang jatuh cinta pada Mendung (Yunita Siregar), dan memiliki sahabat bernama Awan (Kery Astina). Penamaan karakter memang bukan kelebihan film ini, namun naskah buatan sutradara Kris Budiman bersama Agit Hemon, Gian Luigi, dan Tony C. Sihombing unggul dalam hal mengolah karakter-karakter itu.
Udah bukan tipikal jagoan film romansa pada umumnya. Bukan pria "kebule-bulean"atau "kearab-araban" yang banyak dielu-elukan ketampanannya. Dia adalah mahasiswa (tua) Jogja kebanyakan, yang punya pemikiran "berbeda" dengan membenci perayaan ulang tahun, pun sering lalai menegakkan kedisiplinan terkait waktu, yang tidak jarang memancing respon "Niat ora?!" dari teman-temannya.
Udan tengah berada di persimpangan jalan. Skripsinya sudah lama mangkrak, tapi ia ngotot mengejar idealisme sebagai musisi. Idealisme berkesenian yang berbenturan dengan kepentingan akademis memang pemandangan wajar di kota ini. Tapi idealisme Udan agak kelewatan. Tatkala lagu buatannya mendapat tawaran tinggi, Udan menolak saat tahu karyanya bakal diaransemen ulang menjadi koplo.
Padahal di titik itu ia sudah benar-benar terhimpit. Kuliah stagnan, kondisi ekonomi menipis, sedangkan kesabaran sang kekasih, Mendung, tak banyak tersisa. Pengorbanan Mendung tidaklah kecil. Ditundanya cita-cita bekerja di perusahaan impian di Jakarta hanya untuk menemani sang kekasih yang tak kunjung berubah. Bahkan Udan menanggap Mendung yang kekanak-kanakan.
Kengototan serta egoisme Udan menjadikannya sosok menyebalkan, dan itu merupakan wujud karakterisasi yang disengaja. Mendung Tanpo Udan tidak menghantarkan proses persatuan dua insan, melainkan perpisahan, dengan pendekatan yang mengingatkan pada (500) Days of Summer (2009) dan On Your Wedding Day (2018).
Jangan menganggap komparasi di atas sebagai spoiler yang akan mengacaukan pengalaman menonton, sebab Mendung Tanpo Udan lebih menyoroti proses ketimbang hasil. Sama seperti Jogja. Sebuah kota yang mempersiapkan individu untuk tampil di atas panggung pertunjukan bernama "realita", dan orang-orang "keras" seperti Udan harus terlebih dahulu "diantemi urip" sebelum dinyatakan siap.
Erick Estrada tidak menyia-nyiakan peluang, dengan menambahkan bobot yang makin menjauhkan Udan dari tipikal protagonis cerita romansa. Letupan rasanya kuat, dan terpenting, organik. Tidak dibuat-buat. Erick berjasa membantu Kris Budiman memproduksi beberapa adegan emosional.
Misal saat Awan berpamitan ke Udan sebelum pindah ke Bandung untuk bekerja (ditinggal sahabat kental yang siap "melangkah" adalah realita yang mesti dihadapi banyak mahasiswa tua Jogja), atau sewaktu Udan mengunjungi sang ibu di Kulon Progo. Pada akhirnya, saat tamparan hidup sedemikian keras dan kita tiba di jalan buntu, orang tua memang selalu jadi tempat mengadu.
Di sela-sela kesehariannya, Udan rutin mampir ke bengkel milik Mas Joss (Bima Trea Setiawan). Uangnya tak cukup untuk menyesap secangkir kopi kafe. Di bengkel, Udan hanya nongkrong, bersantai, berkeluh kesah, sambil sesekali mengobati pilu dengan saling melempar "gojek kere" bersama teman-teman, yang mungkin tidak selalu lucu. Sederhana. Begitulah Yogyakarta dengan segala keistimewaannya.
22 komentar :
Comment Page:sudah lenyap di bioskop
📝
Kalo di kampung ane, Mendung ora udan, mlebu warung ora jajan...nggak ada masa depan....ora nikah, di tinggal kawin sama boss skincare [ending yang membagongkan]
🫥🫥🫥🫥🫥🫥
film nggak jelas banget
horror tragedi simalakama
nggak bisa move on
Kisah Pejantan Melambai
nasib mu mas nggak bisa meraih bintang di sumur kering
drama bagus nggak ada yang nonton
good movie
film jelek banget gue beri skor 9/10
Erick Estrada the best
film realita hidup
emang enak di tinggal kawin
menyedihkan menyesatkan
nangis di bioskop
bertepuk sebelah kaki
Jadul Film
Nggak Minat
Yes Netflix aja deh
Film berkelas
Good Film Terbaik
Bar ndelok ndek OTT, apik kok tapi yowes ngunu tok 😅
Posting Komentar