Richard Linklater adalah sineas yang fleksibel. Kerap melakukan produksi tanpa naskah yang pasti, juga kecenderungan menanggalkan struktur saklek narasi, jadi beberapa bukti. Tengok pula tema yang luar biasa beragam di karya-karyanya. Sehingga merupakan proses natural saat melalui Hit Man ia membahas soal fleksibilitas. Bagaimana kebakuan semestinya tidak menguasai diri manusia, moralitas, dan hal-hal lain dalam kehidupan.
Kali ini sang sutradara menyalurkan sisi Hitchcockian dalam dirinya, dengan mengadaptasi artikel majalah Texas Monthly berjudul sama buatan Skip Hollandsworth (pernah menulis Bernie bersama Linklater, yang juga mengadaptasi artikel miliknya dari majalah tersebut). Kisahnya bersentral pada keseharian Gary (Glen Powell), seorang dosen psikologi yang bekerja sambilan di kepolisian New Orleans.
Awalnya Gary hanya teknisi yang membantu misi-misi penyamaran guna menangkap tersangka penyewa pembunuh bayaran, namun saat si agen lapangan mendapat skors, Gary terpaksa turun menggantikannya. Gary harus menyamar sebagai pembunuh bayaran, menemui si penyewa jasanya, lalu memancing pengakuan terkait niat pembunuhan supaya polisi mendapat bukti untuk menangkapnya.
Sederhana, tapi protagonis kita punya pandangan lain. Berbasis minatnya terhadap psikis manusia, Gary enggan asal menyamar. Dia ciptakan banyak karakter dalam berbagai persona, yang disesuaikan dengan kepribadian tiap klien. Memuaskan hasrat mereka terkait sosok pembunuh bayaran jadi tujuan Gary, walau tanpa sadar ia pun berusaha memuaskan diri sendiri.
Gary percaya bahwa kepribadian manusia tidak bisa diubah, namun aktivitas menyamar ini mulai memunculkan pandangan lain. Apalagi ia acap kali merasa lebih nyaman menjalani hari sebagai karakter rekaannya. Serupa Holy Motors (2012) buatan Leos Carax, Hit Man menghadirkan observasi mengenai seni peran. Bagaimana akting beserta segala eksplorasinya memunculkan proses belajar. Tentang dunia sekitar, tentang orang lain, dan terpenting, tentang diri sendiri.
Di departemen akting, Glen Powell berhasil menyuntikkan daya hibur melalui eksplorasinya kala mengenakan banyak "wajah". Momen paling memuaskan adalah melihat Gary si dosen kutu buku bertransformasi menjadi Ron si pembunuh bayaran keren yang penuh rasa percaya diri. Akibat persona Ron inilah Gary terlibat hubungan kompleks dengan Madison (Adria Arjona), salah satu klien yang memintanya membunuh sang suami.
Meski menulis naskahnya berdua bersama Powell, Linklater sama sekali tak kehilangan cirinya. Baris kalimat yang mampu menggelitik tanpa terasa memohon tawa penonton, obrolan-obrolan acak yang berguna membangun hubungan antar karakter, hingga kemampuan mengolah interaksi sederhana menjadi situasi yang begitu kuat menarik atensi. Sewaktu babak akhirnya sukses melahirkan cerminan bagi suguhan twisty ala Hitchcockian, hanya saja dalam versi yang lebih ringan.
(Netflix)
Akhirnya nemu film dg tema fresh yg bisa sy nikmati.
BalasHapus