Mungkin Marni: The Story of Wewe Gombel adalah salah satu film paling inkonsisten yang saya tonton dalam beberapa waktu terakhir. Ada kalanya ia tampil hebat, terutama saat aksi yang disusun koreografinya oleh Uwais Team mengambil alih fokus. Tapi tidak jarang filmnya diisi pakem-pakem melelahkan khas horor produksi RA Pictures.
Setidaknya naskah yang ditulis Tisa TS bersama sang sutradara, Billy Christian, masih mau bercerita. Berawal dari kepindahan Rahayu (Hannah Al Rashid) ke sebuah desa bersama dua anaknya, Anissa (Amanda Rigby) dan Aan (Athar Barakbah), penonton bakal berkenalan dengan legenda urban yang menghantui tempat tersebut. Ada kisah yang coba disampaikan, alih-alih sebatas kumpulan penampakan.
Naskahnya juga coba memunculkan kesadaran mengenai berbagai isu, dari gangguan perkembangan anak yang diwakili oleh kondisi Aan, masalah parenting yang dipicu kelalaian Rahayu memberi kasih sayang akibat pekerjaan serta dorongan membuktikan kemandirian, hingga soal pelecehan terhadap perempuan. Presentasinya tak pernah mendalam, tapi sekali lagi, membuktikan usaha naskahnya merangkai cerita.
Marni (Ismi Melinda) si wewe gombel nantinya akan menculik Aan, kemudian Rahayu dan Anissa, dengan bantuan Tama (Reza Hilman) si anak lurah yang alim dan jago silat, berusaha melawan. Sedangkan Shareefa Daanish tampil sebagai pelakon paling mencuri perhatian kala memerankan Irma, perempuan yang menderita gangguan jiwa akibat semasa kecil pernah diculik wewe gombel.
Ceritanya sederhana, tapi memadai selaku materi film horor berdurasi satu setengah jam. Masalahnya Marni bergulir selama hampir 120 menit, sekaligus dipecah menjadi dua bagian. Hasilnya adalah prolog yang dipaksa memanjang sampai dua jam. Luar biasa draggy. Andai dijadikan satu film saja, niscaya presentasinya jauh lebih padat dan intens.
Apalagi memasuki paruh kedua suguhan aksi mulai kerap menampakkan diri. Di sini para hantu bukan dilawan (hanya) memakai kekuatan doa, melainkan jurus-jurus bela diri. Walau memunculkan tanda tanya seputar rules (kadang tubuh sang hantu tidak bisa disentuh, kadang bisa jadi sasaran pukul), aksi brutal nan penuh tenaga arahan Uwais Team membuat saya bersedia mengesampingkan lubang logika tersebut.
Seperti biasa, visi Billy Christian memang kental nuansa barat. Ketimbang dedemit ala Indonesia, wewe gombel di sini beraksi layaknya entitas monster yang jago berkelahi. Kesan serupa muncul tatkala satu lagi hantu yang menghuni rumah Rahayu memperlihatkan wujudnya. Desainnya unik (meski berpotensi menjadi bahan "candaan jorok" beberapa penonton), dengan kualitas efek spesial yang juga apik.
Tapi apa perlunya menampilkan hantu tersebut, yang tak mempunyai kaitan dengan cerita utama? Keluhan serupa muncul ketika sesosok pocong diam-diam melompat di background. Mengerikan, tapi apa fungsi kemunculannya? Apakah kelak akan dijelaskan di film kedua? Entahlah.
Sekali lagi, Marni: The Story of Wewe Gombel memang inkonsisten. Sisi positif miliknya senantiasa diimbangi sisi negatif yang tak kalah menyengat, tidak terkecuali beberapa jumpscare yang alih-alih memancing teriakan ngeri justru menyulut tawa geli.
Buset, Hannah Al Rashid udah keliatan setua itukah dikasih peran jadi ibunya Amanda Rigby? Bahkan pas jadi emaknya Ari Irham di Ratu Ilmu Hitam juga udah "maksa". Casting pemeran di dunia perfilman kita masih PAYAH ya, segitu emohnya masang aktor/aktris yang beneran tua untuk peran utama.
BalasHapusaku agak bingung dgn hantu yg mirip vagina itu.. kok kepikiran utk bikin hantu begitu.
BalasHapus