Jurnal Risa by Risa Saraswati. Kenapa mesti ada repetisi kata "Risa" dalam judulnya? Jika ingin membedakan dengan serial Jurnal Risa (2023) buatan Awi Suryadi, bukankah cukup menambahkan "The Movie" di belakang? Mungkin orang-orang di balik film ini berambisi tampil beda, yang akhirnya malah memberi kesan berlebihan, di saat kesederhanaan klise semestinya sudah cukup.
Bukan cuma judul, masalah serupa juga menggerogoti hasil akhir filmnya. Sebuah horor mokumenter yang berbuat terlalu banyak, baik terkait narasi maupun gaya presentasi. Padahal esensi subgenre itu terletak pada kesederhanaannya. Kelahirannya didasari upaya membawa suatu karya sedekat mungkin dengan realita. Jurnal Risa by Risa Saraswati amatlah jauh dari itu.
Alurnya bercerita mengenai para pembuat film yang sedang menyusun dokumenter seputar budaya klenik Indonesia. Gagasan yang menarik, sampai mereka memutuskan untuk mengikuti Risa Saraswati dkk. memproduksi konten penelusuran, dan esensi dari eksistensi tim pembuat dokumenter itu pun lenyap. Tanpa mereka, film ini tetap bisa berjalan tanpa perubahan.
Sekali lagi, naskah buatan Lele Laila berambisi tampil beda sekaligus lebih berbobot dibanding konten YouTube Risa (yang mana tidak perlu), namun berujung melahirkan sesuatu yang sama persis. Intinya, pasca Prinsa (sebagaimana semua pelakon lain di film ini, Prinsa Maandagie memerankan versi fiktif dirinya) selaku salah satu peserta uji nyali memanggil nama "Samex", peristiwa aneh mulai menghantui hidupnya.
Konon Samex adalah hantu yang paling ditakuti oleh Risa. Nantinya usaha membebaskan Prinsa dari gangguan gaib membawa tim Jurnal Risa mengunjungi desa tempat kelahiran Samex. Jangan harap ada eksplorasi mitologi memadai di sana. Bahkan fakta mendasar seperti arti namanya ("Sawarga Malapetaka" bila mengacu pada novel Samex: Sawarga Malapetaka karya Risa Saraswati) pun luput dibahas.
Naskahnya bahkan gagal menuturkan hal sederhana seputar kaitan antara kutukan yang melanda desa tempat Samex berasal dengan gangguan yang Prinsa alami dengan rapi serta mudah dipahami. Alhasil babak puncaknya melahirkan kekacauan, di tengah kegagalan Rizal Mantovani selaku sutradara mengkreasi teror. Sebagaimana deretan jumpscare medioker tak bertaring yang telah banyak muncul sebelumnya, klimaks film ini tersaji minim intensitas.
Saya takkan mempermasalahkan kualitas kamera yang jernih. Realisme mokumenter tidak berbanding lurus dengan buruknya resolusi gambar. Tapi lain cerita dengan pemakaian musik serta efek suara yang terlampau riuh, atau keberadaan sudut kamera "gaib" yang entah berasal dari mana. Semuanya bermuara kembali pada satu poin: upaya berlebihan yang tidak perlu dilakukan.
Jika ada yang semestinya ditambah, itu adalah kemunculan Risa Saraswati yang menghilang di mayoritas durasi termasuk klimaks. Orang yang namanya dua kali muncul di judul malah punya screen time paling sedikit. Sungguh film yang penuh dengan "kebalikan".
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar