Amar Singh Chamkila adalah biopic mengenai penyanyi legendaris dengan julukan "Elvis dari Punjab", yang juga dianggap kontroversial karena lirik-lirik nakal buatannya, yang menyinggung hal-hal seperti konsumsi narkoba, mabuk-mabukan, hingga aktivitas seksual. Publik mencintai sekaligus membencinya.
Imtiaz Ali selaku sutradara dan penulis naskah (bersama Sajid Ali) coba menggali kenakalan tersebut secara lebih mendalam. Bahwa mungkin saja itu bukan semata hiburan dangkal, melainkan gambaran realita yang paling nyata, dan kematian Chamkila akibat terjangan timah panas juga mewakili represi terhadap kemanusiaan.
Chamkila termasuk salah satu anggota 27 Club. Dia tewas di usia 27 tahun, di puncak karirnya, dalam kasus penembakan yang tak terselesaikan hingga kini. Si istri kedua sekaligus partner duetnya di atas panggung, Amarjot, turut menjadi korban. Kematian pasutri ini dipakai sebagai adegan pembuka, menghadirkan intro menyentak sebelum kita dibawa mundur untuk mengikuti perjalanan karir sang musisi.
Chamkila, atau yang mempunyai nama asli Dhani Ram (Diljit Dosanjh), merupakan kaum Dalit. Orang-orang tak berkasta yang dipandang begitu rendah. Menghabiskan masa kecil di lembah kemiskinan, Chamkila pun kerap menyaksikan beragam pemandangan tak bermoral, yang kelak menjadi inspirasi di balik lirik-lirik sugestif miliknya.
Bersama Amarjot (Parineeti Chopra), Chamkila menyanyikan yang dia lihat, yang rakyat jelata alami, yang tanpa sadar telah melahirkan potret wajah asli manusia. Itulah mengapa masyarakat mencintai Chamkila, selalu membanjiri tiap pertunjukannya, sembari bernyanyi dan menari tanpa henti. Bahkan ia mampu mengumpulkan penonton 10 kali lebih banyak dari Amitabh Bachchan tatkala menggelar konser di Kanada.
Kita selaku penonton pun tak dilupakan. Filmnya cukup banyak diisi adegan Chamkila membawakan lagu-lagunya di atas panggung, disertai lirik guna membantu penonton (terutama yang masih asing dengan Chamkila) memahami seberapa menyenangkan karya-karyanya.
Narasi Amar Singh Chamkila sejatinya tak membawa modifikasi bagi formula biopic, tapi pencapaian naskahnya terkait penggunaan dua linimasa patut diapresiasi. Fase flashback merupakan menu utama berisi perjalanan karir sang protagonis, namun era masa kini yang mengambil latar pasca penembakan Chamkila, di mana rekan-rekan si musisi terlibat obrolan dengan DSP Bhatti (Rahul Mittra) dan para anak buahnya yang mengusut kasus penembakan tersebut, bukan sebatas jembatan dengan penggarapan asal-asalan.
Justru di situlah terselip sebuah pesan penting. Semakin banyak Bhatti mendengar kisah mengenai Chamkila, semakin berubah pula perspektif sang aparat yang tadinya dipenuhi persepsi negatif. Bhatti bersedia mendengarkan dan mengenal Chamkila lebih jauh, sehingga tidak dengan mudah menghakimi. Melalui film ini, Imtiaz Ali berharap penonton bisa melalui proses serupa.
Sayangnya kinerja sang sineas bukannya tanpa celah. Penceritaan yang awalnya mulus menjadi serba buru-buru di paruh kedua, tatkala kuantitas serta kompleksitas masalah mulai bertambah. Momen-momennya tak lagi disusun secara cermat dan terkesan seperti biopic kebanyakan yang hanya bercerita sebagai bentuk pemenuhan kewajiban.
Polesan estetika yang Ali gunakan pun acap kali memunculkan tanda tanya terkait substansi. Keberadaan beberapa sekuen animasi memang menambah variasi visual, tapi pemakaiannya minim esensi. Begitu pula saat foto-foto asli Chamkila ditampilkan di tengah adegan, yang seolah menunjukkan kurangnya kepercayaan diri Ali dalam menciptakan reka ulang.
Tapi Amar Singh Chamkila tetap sebuah biopic solid biarpun masih dihantui ragam kekurangan di atas. Di atas panggung, Chamkila menggunakan citra "sang penghibur" yang mendatangkan kebahagiaan, dan film ini ibarat perjalanan mengintip situasi di bawah panggung, saat seorang bintang menanggalkan topeng dan menampakkan wajah aslinya yang lebih rapuh. Sekali lagi, ini adalah potret realita.
(Netflix)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar