Sebelum menonton Seni Memahami Kekasih saya sempat mampir sejenak ke gelaran Land of Leisures, di mana orang-orang berdandan semenarik mungkin, para influencer media sosial bercengkerama sambil sesekali berswafoto, barang-barang bermerek dipamerkan, makanan mahal disajikan, musik meriah bergema, semua menunjukkan wajah gegap gempita Yogyakarta yang bahagia.
Kemudian saya menyaksikan adaptasi dari buku Sebuah Seni Untuk Memahami Kekasih karya Agus Mulyadi ini. Di situ nampak wajah Yogyakarta yang lebih sederhana, namun dengan kehangatan berlipat ganda. Wajah Yogyakarta yang membuat banyak manusia jatuh cinta, sekaligus menjadi latar bagi dua tokoh utamanya memadu cinta.
Kalis Mardiasih (Febby Rastanty) adalah gadis dari Blora yang merantau ke Surakarta untuk berkuliah, kemudian bekerja sebagai penulis di Yogyakarta. Sedangkan Agus (Elang El Gibran) merupakan editor bagi tulisan-tulisan Kalis di media Mojok. Berawal dari ikatan profesional, hubungan mereka segera berkembang ke ranah yang lebih personal. Keduanya saling jatuh cinta.
Kalis dan Agus makan malam di angkringan, berbelanja di toko perabot, menembus hujan deras di atas motor butut, berburu buku, lalu mampir ke kos masing-masing. Di dinding kamar kos Agus tergantung pecahan kaca kecil yang dipakai sebagai pengganti cermin untuk bersolek. Bagi orang yang pernah bergulat dengan kehidupan seadanya sebagai mahasiswa di Yogyakarta, Seni Memahami Kekasih terasa seperti rumah.
"Autentik" mungkin istilah yang paling pas. Apalagi naskah buatan Bagus Bramanti menjadikan Bahasa Jawa, lengkap dengan ragam celetukan serta pisuhan khasnya, sebagai bahasa utama. Elang El Gibran dan Febby Rastanty menjaga keautentikan itu, bukan cuma soal bahasa, tapi juga rasa yang masing-masing bawakan sebagai dua manusia biasa yang ingin bersama walau dihadapkan pada banyak hambatan.
Penceritaannya tidak senantiasa mulus. Jeihan Angga selaku sutradara menggerakkan alurnya secepat kilat, yang mungkin dimaksudkan untuk memberi kesan dinamis, namun tidak jarang membuat penuturannya tergesa-gesa. Kekurangan itu untungnya berhasil dibayar lunas oleh Jeihan dalam mengeksekusi banyolan-banyolan di naskahnya.
Lupakan Jeihan Angga versi Scandal Makers (2023) yang tumpul, dan mari sambut kembalinya Jeihan Angga versi Mekah I'm Coming (2019) yang begitu liar mengolah kejenakaan absurd. Dibantu nama-nama yang piawai melucu seperti Benidictus Siregar sebagai Pak RT dan Devina Aureel sebagai Yana, sahabat Kalis, mayoritas humornya mengenai sasaran (beberapa yang meleset masih bisa dimaafkan).
Kita diajak menertawakan takdir misterius yang digariskan Tuhan Yang Maha Bercanda kepada Kalis dan Agus. Banyak hambatan mesti mereka lewati, salah satunya dari dilema yang Kalis rasakan. Dia mencintai Agus, namun ada kekhawatiran bahwa berpacaran bakal menghambat karirnya. Apalagi Kalis telah menyaksikan kegagalan pernikahan Rahayu (Sisca Saras), sahabatnya yang bercerai akibat tindak kekerasan si mantan suami. "Semua laki-laki sama!", ucap Rahayu kala mengetahui Kalis tengah menjalin asmara.
Mungkin tidak semua penonton bakal menyetujui pilihan resolusi konflik yang film ini pakai, dan menganggapnya sebagai tindakan permisif. Bisa dipahami, tapi bagi saya film ini memang menawarkan sudut pandang lain. Sudut pandang yang mengutamakan menjadi "baik" ketimbang berbuat "benar", kemudian coba memanusiakan manusia dengan segala baik dan buruknya. Bukan cuma kekasih, ini juga sebuah seni untuk memahami (dan menjadi) manusia.
Ditambah dengan suara Burung Beo yang ngeselin 😂
BalasHapusWah masnya masih aktif toh. Saya baru saja membaca review masnya tentang film Batas tahun 2011 karena ditugaskan menonton film tersebut di salah satu matkul saya.
BalasHapusSemangat terus, Mas!