Salah satu kritik terbesar yang dialamatkan pada Transformers versi live action garapan Michael Bay adalah karakter manusia, yang alih-alih menambah bobot emosi justru terasa menyebalkan. Dangkal. Bumblebee (2018) dan Transformers: Rise of the Beasts (2023) coba memperbaiki itu, tapi Transformers One menawarkan alternatif solusi. Josh Cooley selaku sutradara mampu mengulangi pencapaiannya di Toy Story 4 (2019), dengan menghadirkan kisah kemanusiaan tanpa karakter manusia.
Kali ini kisahnya memang memindahkan latar dari Bumi ke Cybertron, jauh sebelum pecahnya pertempuran antara Autobots dan Decepticon. Optimus Prime masih menyandang nama Orion Pax (Chris Hemsworth), sedangkan Megatron dikenal sebagai D-16 (Brian Tyree Henry). Sebagai robot yang tak bisa bertransformasi karena lahir tanpa T-cog (transformation cog) sehingga menyandang status "kasta bawah" dan mesti bekerja di tambang, keduanya menjalin persahabatan.
Kita tahu D-16 bakal menjadi jahat akibat "dirusak" oleh kekuatan besar yang nantinya ia dapat. Naskah garapan Eric Pearson, Andrew Barrer, dan Gabriel Ferrari masih kurang mulus menggambarkan transisi itu, tapi setidaknya Transformers One telah mengingatkan bahwa rivalitas Optimus-Megatron bukan semata pertempuran kebaikan melawan kejahatan sebagaimana yang ditampilkan versi live action, tapi suatu benturan ideologi.
Sisi humanis Transformers One datang melalui penokohan keduanya. Bersama Elita (Scarlett Johansson) dan B-127 alias Bumblebee alias BADASSATRON (Keegan-Michael Key), mereka berjuang menghadapi sesuatu yang juga jadi lawan umat manusia di dunia nyata, yakni figur zalim yang melakukan segala tipu daya guna mempertahankan kuasa, termasuk menutupi kebenaran. Ketika Optimus tetap hadir dengan optimisme, Megatron dikuasai amarah membabi buta.
Transformers One memperlihatkan sebuah dunia kelam, yang tak pernah menciptakan inkonsistensi tone kala berpadu dengan banyaknya humor, berkat ketepatan naskahnya dalam menentukan timing sehingga dua hal berlawanan tersebut tidak bertabrakan. Di sisi lain, ia turut menyimpan keindahan. Sewaktu para protagonisnya diam-diam kabur dari Cybertron menuju area bernama "permukaan", mereka terkejut menyaksikan pemandangan di sana. Keterkejutan itu bisa dijustifikasi karena visualnya memang begitu indah.
Keindahan yang terus dijaga hingga saat filmnya diisi gelaran aksi. Josh Cooley seperti mempelajari ilmu Bayhem (di luar lemahnya presentasi drama, kepiawaian Bay mengeksekusi aksi tidak bisa disangkal), memakai banyak shot megah, juga "gerak kamera" dinamis sewaktu para robot saling baku hantam, terutama di babak puncak yang epik.
Keseimbangan. Itulah kunci sukses Transformers One. Menghadirkan aksi seru bukan berarti melupakan penceritaan, begitu pula sebaliknya. Di film ini, transformasi para Transformers bukan sebatas gaya-gayaan, melainkan ekspresi kebebasan. Kebebasan untuk berubah dan memilih menjadi apa pun.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar