REVIEW - WE GROWN NOW

1 komentar

We Grown Now adalah kisah mengenai hidup. Bahwa hidup semestinya tidak stagnan, dan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, individu tidak boleh takut untuk selalu bergerak, walau mengharuskannya meninggalkan sebuah tempat yang menggenggam banyak kenangan indah. 

Mengambil latar pada awal 90-an di perumahan Cabrini-Green yang menampung banyak keluarga kulit hitam, We Grown Now mengajak penonton berkenalan dengan Malik (Blake Cameron James) dan Erik (Gian Knight Ramirez), dua bocah yang tak pernah luput menghabiskan waktu bersama sebagai sahabat. Kegiatan favorit mereka adalah "jumping", di mana orang-orang berkumpul di lapangan, kemudian berlomba untuk melompat setinggi mungkin sebelum mendarat di kasur. 

Malik begitu ahli melompat, biarpun sang ibu, Dolores (Jurnee Smollett), melarangnya melakukan permainan yang menurutnya berbahaya itu. Dolores adalah tulang punggung keluarga, yang membanting tulang demi dua anak serta sang ibu yang tinggal bersamanya. Dia dihadapkan pada beratnya realita, sehingga wajar jika sudut pandangnya dipenuhi kehati-hatian. "Kita akan terjatuh kalau tidak berhati-hati", ucapnya. Sebaliknya, kepolosan Malik membuatnya berprinsip "jangan takut terbang". 

Baik keluarga Malik maupun Erik hidup dengan kondisi ekonomi pas-pasan, namun suasana kekeluargaan di Cabrini-Green, di mana tiap orang saling mengenal, membuat mereka betah. Minhal Baig selaku sutradara sekaligus penulis naskah menekankan pada perspektif anak-anak, yang berbekal imajinasi mereka, mampu menciptakan dunia fantasi indah di balik kondisi dunia nyata yang tak seberapa cerah. 

Bukan gagasan baru. Sudah banyak film memandang kemiskinan lewat perspektif yang lebih positif, namun keklisean tersebut berhasil ditutupi oleh pendekatan lembut sang sutradara. Ditambah musik bernuansa dreamy garapan Jay Wadley, Baig membuat penonton merasa bak sedang menghabiskan waktu di rumah bersama keluarga tercinta. Damai. 

Jajaran aktor ciliknya, terutama Blake Cameron James yang membawa kompleksitas dalam penampilannya, tampil memukau dalam menangani banyak dialog yang acap kali terdengar terlampau dewasa. Mungkin itu sebuah kesengajaan, karena Baig ingin menggambarkan bagaimana kejamnya kehidupan memaksa anak-anak ini beranjak dewasa lebih cepat. 

Hingga terjadilah sebuah tragedi. Bocah tujuh tahun bernama Dantrell Davis tewas akibat lesatan peluru nyasar ketika terjadi perkelahian antar geng. Sayangnya tragedi ini bukan cerita fiktif. Realitanya, pada 13 Oktober 1992, Dantrell benar-benar mengembuskan napas terakhir. Masyarakat setempat terguncang, Malik dan Erik tak lagi sebebas dulu berlarian di luar rumah, sedangkan Dolores mulai menimbang opsi pergi dari Cabrini-Green yang sejatinya enggan ia lakukan. 

Suatu malam Malik mendengarkan sang nenek, Anita (S. Epatha Merkerson), bercerita tentang masa lalu kala ia bersama mendiang suaminya memutuskan pergi dari rumah yang mereka cintai demi memperoleh kehidupan yang lebih baik dan aman di Cabrini-Green (tersirat bahwa keduanya jadi korban rasisme), dan kini Dolores dan Malik dihadapkan pada proses serupa. Meninggalkan tempat penuh memori bahagia bukanlah akhir dunia selama kita melakukannya bersama orang-orang tercinta. Karena seperti yang We Grown Now sampaikan, "a place is the people". 

(Catchplay)

1 komentar :

Comment Page:
Abhiem mengatakan...

Endingnya kaya masih menggantung. Jadi akhirnya mereka pindah atau enggak ya?